Yang hilang belakangan ini saya
kira adalah keagenan yang dimiliki setiap orang. Keagenan saya kira penting. Di
situ “aku-diri” mengaktual. Dengan kata lain, keagenan adalah sifat otonom “aku-diri”
untuk bebas menentukan pilihan-pilihannya. Namun, rasa-rasanya menjadi agen
yang sadar diri di waktu ketika menguatnya tekanan kelompok menjadi agak riskan
akibat tidak adanya penghargaan terhadap individu. Orang-orang akan merasa kurang enak jika tidak mengikuti pilihan-pilihan kelompok
yang sering kali mengeliminasi hak-hak pribadinya. Ya, kebanyakan dari kita masih khawatir jika
merasa berbeda. Takut jika memilih jalan yang berlainan dari kebanyakan. Barangkali
ini akibat telah lama kemerdekaan individu disingkirkan dari pemahaman kita. Kita
lebih sering diingatkan tentang kebaikan kelompok, keutamaan bersama, dan juga
kemuliaan kelompok, tinimbang keberadaan individu. Bahkan, telah lama hidup
kita dibentuk oleh kokohnya sistem. Kuatnya otoritas, dan ajegnya kebersamaan. Sehingga yang terjadi
adalah jika ada kecenderungan-kecenderungan yang berbeda bermunculan maka akan
mati sebelum berkembang. Seakan-akan diri kita tidak memiliki arti sejauh
menjadi diri pribadi. Kita hanya disebut bermakna jika diri kita diartikan sebagai
bagian dari kawanan. Tubuh diri kita mesti menjadi bagian tubuh kawanan. Tubuh masyarakat.
Mentalitas kawanan saya kira merupakan watak pribadi yang menjadi ciri umum
kita. Kebanyakan kita bagai kawanan anjing-anjing yang hanya mengikuti insting
alam untuk hidup berkelompok. Di luar dari itu, jika kita seorang diri, kita
malah merasa terasing, merasa bukan apa-apa. Tanpa daya. Makanya, eksesnya
terhadap kehidupan kita, hampir semua yang kita miliki adalah ciri khas kelompok;
selera, minat, hobi, cara berpikir, atau bahkan hidup kita sendiri.
rasa-rasanya kita belum bisa menjadi pribadi yang otonom. “Aku-diri” yang
berani memilih cara sendiri, pilihan sendiri. Bukankan kita ini dilahirkan
sendiri-sendiri. itu artinya hidup kita punya jalan dan caranya sendiri. Otak
kita tumbuh sendiri, di kepala kita sendiri. makanya, seharusnya keunikan diri
kita juga harus dihargai. Kemerdekaan individu. Dengan begitu tanggung jawab
menjadi jelas artinya. Secara etis segala konsekuensi moral mau tidak mau menjadi
tanggungan kita sendiri. Bukan tanggungan kelompok. Menjadi aneh rasanya, jika
kita mau disebut individu yang bertanggung jawab tetapi sebelumnya kita tidak
diberikan ruang untu memilih sendiri. Bagaimana mungkin seseorang harus
dimintai tanggung jawabnya jika dia tidak memiliki kebebasan? Maka itu semuanya
harus dimulai dari diri pribadi. Seorang yang sadar diri. Dari situlah keagenan
muncul. Yakni rasa keharusan untuk bertindak. Mau melakukan sesuatu dengan
kemerdekaannya. Dan mau bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya.
Chester Bennington dan Beberapa Masalah di Sekitar Kita
Bila mereka berkata
Siapa yang peduli bila satu dari
banyak cahaya redup?
Di langit sejuta bintang
Berkedip, berkedip
Siapa yang peduli kapan waktu
seseorang habis?
Bila sesaat itulah kita
Kita lebih cepat, lebih cepat
Sipa yang peduli bila satu dari
banyak cahaya redup?*
Dia mati. Kamis, 20 Juli lalu.
Tewas di rumah pribadinya, di Palos Verdes Estates Los Angeles. Tak lama
setelah itu beritanya viral. Banyak penggemarnya dibuat mendung matanya. Siapa
menduga dia mati dengan cara yang tragis: gantung diri.
Kabarnya dia tertekan. Ingatan
kelam masa kecilnya menyeruak dalam benak. Tumbuh dan berkembang biak bagai
kanker. Trauma itu disebutnya begitu menjijikkan. Banyak laporan menyebut ia
depresi. Barangkali ia kalah, atau lelah, karena itu ia bunuh diri. Namun,
siapa yang tahu pasti?
Yang pasti Chester Bennington,
vokalis Linkin Park itu, satu dari banyak orang yang mati bunuh diri di tengah
keadaan mayarakat yang dikepung ketidakacuhan.
Tapi, depresi memang soal kejiwaan.
Soal individual. Hanya saja, tidak ada soal sekarang yang bisa dicabut dari
konteks sosialnya. Kalau begitu, bagaimana depresi itu bisa terjadi dan
kemudian langgeng, tidak semata-mata soal pribadi. Mengingat bentuk kehidupan
mutakhir, depresi tidak bisa tidak dicabut dari konteks sehari-hari era kiwari.
Itu artinya, depresi, seperti juga
bunuh diri, adalah konsekuensi kehidupan sosial yang diancam sepi dan boyak.
Banyak sebab seseorang atau
masyarakat mengalami depresi. Mutakhir, media sosial semakin totaliter jadi
sebab asal muasal depresi. Juga sebelumnya adalah kekosongan di antara
meregangnya relasi sosial yang disebabkan individualisme dan syakwasangka. Situasi kultural yang
mengakibatkan kekeroposan pemaknaan atas jati diri, juga merupakan biang keladi
terjadinya depresi.
“Totalitarianisme” media sosial
dapat diasalkan kepada fenomena masyarakat yang sehari-harinya bersinggungan
dengan dunia virtual. Media sosial telah menjadi semacam jaringan sistem yang
mengintervensi di hampir seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Bahkan,
pengalaman atas ruang dan waktu
kehilangan nilai ontologisnya akibat diringsek habis oleh apa yang
disebut Jean Baudrillard sebagai simulakrum.
Dampak nyata simulakrum, selain
mengubah kenyataan menjadi pencitraan, juga memberikan dampak negatif berupa
terganggunya tatanan sosiopsikis masyarakat. Akibat besarnya kesenjangan antara
dunia citraan dengan realitas yang sebenarnya, orang-orang yang terjebak
simulakrum akan sulit membedakan antara kenyataan dengan fantasi. Imbas dari
itulah seringkali terjadi banyak gangguan mental. Contoh dari semua itu adalah
menguatnya individualisme naif yang dinyatakan dengan merebaknya budaya selfie
dan narsistik.
Dari sisi lain, kekosongan dalam
relasi sosial dibilangkan Emile Durkheim, seorang sosiolog Prancis sebagai
peristiwa anomali. Yakni hilangnya peran sumber-sumber nilai untuk memberikan
pemaknaan terhadap kelangsungan hubungan antara individu. Di situasi ini,
agama, norma-norma, dan juga etika, menjadi mandul mengawal agenda-agenda
perubahan masyarakat.
Jalin kelindan beragam nilai
kebudayaan, juga melahirkan ekses negatif berupa hilangnya otonomi atas “aku”. Manusia di hadapan kebudayaan yang cair,
dibuat sulit menentukan jati dirinya. “Aku” otonom ihwal yang sulit dicapai.
Itulah sebabnya, krisis eksistensial melanda. “Aku” sebagai basis kendali
kehilangan pusat dan keseimbangan di tengah deru “massa-budaya”.
Mengacu kepada Sigmund Freud, orang-orang yang depresi juga besar
pengaruhnya akibat kehilangan objek yang dicintai. Kehilangan cinta juga berarti
hilangnya hubungan kebermaknaan di antara dua person. Dengan kata lain, raibnya
cinta sama artinya dengan hilangnya “saluran” yang “emansipatif” dan
inspiratif.
Itulah sebabnya, pembebasan secara
emansipatif, membutuhkan cinta sebagai kekuatan pendorongnya. Kekuatan
inspiratifnya. Pembebasan emansipatif tanpa cinta bakal membuat seseorang
menjadi tiranik. Sebaliknya cinta tanpa pembebasan justru mengubah manusia
menjadi budak.
Hilangnya hubungan kerelaan atas
nama cinta juga mengakibatkan kesepian. Lubang yang ditinggalkan kesepian tidak
jarang membuat orang akhirnya berduka. Tenggelam dalam dislokasi perasaan yang
mengancam jiwanya. Dan kemudian larut di dalamnya.
Barangkali, akibat kedukaan, dan
hilangnya perhatian antara sesama membuat orang-orang yang depresi menjadi
lebih rentan. Tidak ada tempat untuk berbagi, tiada wadah untuk saling bertukar
pengalaman. Terisolasinya masyarakat lantaran individualisme naif, menjadi
salah satu sebab mengapa persoalan depresi menjadi masalah yang tidak kalah
penting.
Dengan konteks demikian, situasi di
atas sama dengan keadaan alienatif yang dialami seorang individu karena
keterasingan dari dan terhadap sesamanya. Karena itu situasi ini jauh lebih
berbahaya, oleh sebab, selain depresi yang menyebabkan hilangnya kontrol
terhadap kesadaran, alienasi yang dialami seseorang juga berakibat keterasingan
dari dirinya sendiri melalui dirinya itu sendiri.
Itulah sebabnya mengapa penting
membangun relasi kebermaknaan sesama anggota masyarakat. Menghidupkannya dengan
cara membangun perhatian dan kesetiaan berbasis nilai kemanusiaan tinimbang
ikatan yang dibentuk moral masyarakat kapitalistik era kiwari. Melalui itu,
hubungan dialogis dapat terbangun lebih dari sekadar sarana interaksi yang
bersifat kebendaan dan instrumentalistik. Lebih jauh daripada itu, agar supaya
kebudayaan manusia tidak semata-mata hanya bersifat produktif semata, tetapi
juga reflektif-kontemplatif.
Di sisi lain juga penting melihat
hubungan relasional yang memerdekakan individu dari kekuatan di luar dari
dirinya berupa institusi masyarakat yang sering kali menjadi rezim totaliter.
Dengan kata lain, individu tidak ditotalisasi oleh rezim intitusi untuk
menemukan kreatifitas dan kebebasannya yang berbasis keagenan yang dipunyainya,
begitu juga sebaliknya, agar masyarakat tidak dikontrol secara sepihak oleh
superioritas keagenan individu.
Tegangan dan tekanan yang terlalu
besar dari tirani masyarakat, berupa misal intervensi nilai-nilai kolektif
terhadap individu, sedikit banyak akan membuat keagenan individu berupa
kebebasan dan kreatifitas menjadi sulit berkembang, atau bahkan akan mengalami
pemenjaraan. Namun, kemerdekaan individu bukan berarti segalanya di dalam
masyarakat. Kemerdekaan individu juga mesti mempertimbangkan tegangannya
terhadap sistem nilai yang dikandung di dalam masyarakat itu sendiri agar
terbangun alam kehidupan yang seimbang.
Syahdan, depresi tentu dapat
dihindari apabila tekanan-tekanan sosial dapat dimerdekakan melalui basis-basis
emansipatif dan edukatif yang dimiliki masyarakat itu sendiri. Basis
emansipatif dan edukatif berupa misal, komunitas bakat dan minat, kelompok
kreatifitas kepemudaan, organisasi kemahasiswaan, sampai lembaga study club,
dapat menjadi saluran pembebasan dari sirkulasi sosial-psikis-mental yang
seharusnya bekerja dengan baik dalam tubuh masyarakat itu sendiri.
---
*Petikan dan terjemahan dari lagu
One More Light, Linkin Park
---
Telah terbit di Kalaliterasi.com
Gabo dan Kisah-Kisah Penculikan-nya
Membaca karangan fiksi sudah pasti
akan mendorong pembacanya merasakan betapa kejadian-kejadian yang
dibacanya bukan seratus persen dari kenyataan yang sedang dan sudah terjadi.
Dengan kata lain, apa yang ditemuinya hanyalah hasil akal-akalan sang
sastrawan. Bermain-main dengan imajinasi: itulah makna sastranya. Namun apa
jadinya jika ada laporan berupa karya nonfiksi yang mengandung unsur-unsur
sastra? Dengan kata lain suatu hasil dari kerja jurnalisme? Itulah sebabnya,
ketika membaca Kisah-Kisah Penculikan
(News of a Kidnapping) karya Gabo –nama panggilan Gabriel Garcia Marquez-
seolah-olah membaca karangan sastra. Padahal, karya ini merupkan karya
jurnalisme Marquez yang dikerjakannya selama tiga tahun bersama dua asisten
yang membantunya –Luzangela Artega seorang jurnalis yang membantunya dalam
melacak fakta-fakta sulit yang detail, dan Margarita Marquez Caballero, sepupu
dan sekertaris pribadinya ketika mengelola transkip dan memverifikasi
bahan-bahan kasar rumit, yang dikatakan Marquez bakal menegelamkan mereka. Saya
berkeyakinan karena latar belakangnya juga sebagai seorang sastrawan (di masa
hidupnya Gabo juga seorang reporter), sehingga membaca karya tangannya ini
seperti didorong dengan motivasi yang sama ketika membaca karangan fiksinya. Saya
seakan-akan terbenam dalam alur penceritaan jurnalistiknya yang seolah-olah
hasil rekaan imajinasinya. Dengan dorongan inilah sehingga saya dapat
menghabiskan seluruh laporan Marquez yang diterjemahkan dan diterbitkan penerbit
Circa di tahun 2016 kemarin –News of a
Kidnapping sendiri pertama kali terbit di tahun 1996 dan setahun kemudian
dengan versi Inggrisnya. Kisah-Kisah
Penculikan –disebutkan Marquez adalah karyanya “yang paling sedih dan sulit
dalam hidupnya”—adalah cerita 10 warga
Kolombia yang diculik oleh kartel Madellin (pimpinan Pablo Escobar, seorang
gembong narkoba di era 80 dan 90-an) yang di antaranya delapan jurnalis dan tiga
lainnya merupakan tokoh politik, salah satu di antaranya merupakan anak
presiden. Dengan tujuan politis, Pablo Escobar sebagai dalang utama dari
penculikan ini menginginkan suatu cara agar Kolombia tidak meneken perjanjian
ekstradisi dengan Amerika Serikat. Kisah yang dituliskan dengan akses terhadap
tokoh-tokoh penting yang jarang dipunyai seorang reporter sekaliber Marquez,
dibangun dengan pendekatan yang hampir sama dengan teknik metafora,
penyingkapan karakter, dan penggunaan teknik penceritaan seperti dalam karya
fiksinya, dan semua itu tidak ditemukan dengan sekali dua kali pengalaman
reportase. Buku ini juga mengetengahkan dengan gamblang bagaimana keadaan
politik yang dialami warga Kolombia tidak semata-mata dunia yang terpisah dan
bahkan mendapatkan tegangan dan intervensi yang intensif dari kelompok-kelompok
penyelundup obat bius. Apalagi dengan kehadiran Pablo Escobar, musuh nomor satu
Kolombia saat itu, membikin keputusan-kepustusan politik mau tidak mau harus
ikut memperhitungkan keberdaan orang-orang semacam Escobar. Khususnya Medellin,
tempat yang dinyatakan sebagai kawasan paling berbahaya di Kolombia, bahkan
dunia, yakni akibat betapa banyaknya kasus-kasus pembunuhan yang terjadi di
sana, dan dengan nama Escobar yang “harum” akibat kedekatannya dengan
masyarakat tingkat bawah, membuat pihak pemerintah dalam mengambil jalan ketika
hendak memutuskan menyelamatkan para sandera menimbulkan perhitungan yang
mendalam. Di balik kisah semacam itulah Marquez menggambarkan bukan saja
peristiwa ketika para sandera mengalami penculikan, tapi juga saat-saat ketika
ia menerangkan betapa rumitnya kecemasan, kesabaran, kepusingan, kehati-hatian,
dan waktu yang dilalui pihak pemerintah –terutama presiden dengan timnya—saat
menentukan langkah-langkah antisipasi yang mesti diambil di tengah-tengah
konstelasi politik yang terjadi. Kehebatan Marquez juga nampak ketika dia
memiliki “keleluasan” dalam menggambarkan pihak penculik di saat menjalankan
tugas mereka ketika menjaga sandera selama berbulan-bulan. Dan, tentu bagaimana
dia menuliskan betapa peliknya perasaan manusiawi yang dialami penjaga para
sandera di tengah-tengah tugas berat mereka. Terutama terhadap pihak-pihak yang
disebutnya protagonis, kisah yang ditulisnya ini dikerjakannya bersamaan dengan
perasaannya yang disebutnya frustasi akibat “tahu bahwa tak satupun dari mereka
yang akan menemukan tempat di koran lebih dari sekadar cerminan pudar tentang
horor yang harus mereka tanggung dalam kehidupan nyata”. Dari semua itu
rangkaian wawancara yang dilakukannya merupakan “pengalaman manusiawi yang
memilukan hati dan tak terlupakan”. Pelajaran yang paling berharga dari
jurnalisme Gabo ini adalah menyadari betapa di saat membaca hasil kerjanya yang
luar biasa ini, saya masih bisa menangkap hampir secara utuh kejadian yang
sudah lampau terjadi melalui narasi yang dibangunnya. Ikut tenggelam dalam
suasana psikologis para korban, dan melihat sisi manusiawi yang lain dari
seorang penjahat sekaliber Pablo Escobar dan gerombolan kartelnya.
---
*sebagian kutipan yang ada dalam tulisan ini diambil dari tulisan Marquez yang menjadi pendahuluan dari bukunya yang diterjemahkan dan diterbitkan penerbit Circa
Narasi Imajinasi-sains Nirwan Ahmad Arsuka
Bagaimana
mungkin dunia pada hakikatnya adalah narasi?
Tapi,
begitulah yang dibilangkan Nirwan Ahmad Arsuka di suatu diskusi menjelang
ramadan di Cafe Dialektika yang digelar Paradigma Institute Makassar. Dunia
jika dikuak intinya, tiada lain adalah narasi. Segala sistem pengetahuan
manusia, entah itu filsafat, kosmologi, atau bahkan sastra, dibangun di atas
sebuah narasi. Melalui “lidah” manusia, alam semesta mewujudkan dirinya melalui
kisah.
Atau dengan
kata lain, sepanjang manusia menciptakan narasi tentang hidupnya, maka
sebenarnya itu adalah cara alam semesta mengungkapkan dirinya di hadapan
manusia.
Suatu
puitika-kah ini?
Meminjam
kategori waktu Heidegger tentang destitute
time, manusia di sepanjang sejarahnya selalu berusaha untuk
menemukan orisinalitas dirinya di hadapan alam semesta yang melingkupinya.
Segala upaya ilmu pengetahuan, yang juga dikatakan Nirwan sebagai percakapan
dengan semesta, merupakan bentuk dasariah manusia menemukan relasi eksistensial
antara dirinya dengan seluruh eksistensi yang mengitarinya.
Sesungguhnya
apa yang dikatakan Nirwan sebagai percakapan dengan semesta merupakan pemapatan
atas sejarah panjang manusia ketika mengekspresikan dirinya. Di dalam waktu,
dengan waktu, dan melalui waktu, manusia “menyelam” di antara dan di dalamnya.
Mencari hubungan kebermaknaan di antara relasi yang mereka ciptakan sendiri
melalui konfirmasi dan afirmasi terhadap alam semesta demi menunjang
kehidupannya.
Diperantai
imajinasi, dimulai dari pemikir paling awal, sejarah kebudayaan manusia
bergerak di antara pemahaman bahwa alam semesta memiliki archetype berupa
air, udara, api, atom, hingga kebudayaan modern menyebutnya gelombang, demi
mencari hakikat alam semesta di dalam kebudayaannya.
Dengan kata
lain, percakapan dengan semesta adalah pekerjaan yang sudah dan sedang
berlangsung hingga kini.
Kekuatan
imajinasi, belakangan banyak ditemukan di setiap kebudayaan-kebudayaan
masyarakat. Dimulai dari peradaban kuno Sumeria hingga abad modern, imajinasi
adalah kekuatan paling fondasional yang membentuk kehidupan bersama.
Kaitannya
imajinasi dalam narasi, dikatakan Nirwan juga dimiliki oleh masyarakat Sulawesi
Selatan dengan epos I
la Galigo-nya. I la Galigo
dalam konteks masyarakat Sulawesi Selatan merupakan satuan pengetahuan
kosmologi manusia Bugis untuk mengidentifikasikan dirinya dengan alam semesta.
Melalui I la Galigo,
alam semesta diimajinasikan dan diposisikan sebagai sistem penjelas bagi
keberlangsungan kehidupan masyarakat Bugis-Makassar.
Itulah
sebabnya, Nirwan mengatakan, peradaban yang tidak ditopang dengan narasi lambat
laun akan berbalik punah. Tidak ada peradaban di mana pun tanpa narasi sebagai
inti fondasionalnya.
Kebudayaan
yang ditopang dengan pendidikan jika mesti direvolusi, dikatakan Nirwan juga
mesti menempatkan narasi sebagai faktor utama agar manusia dapat bergerak maju.
Bahkan Nirwan menyatakan bahwa kemampuan membuat dan memahami narasilah yang
mesti dikembangkan di dalam sistem pendidikan. Melalui narasi, manusia
diberikan peluang untuk mengembangkan imajinasinya. Bahkan, melalui imajinasi,
manusia mampu menemukan dan menciptakan kenyataan baru demi mengatasi
hambatan-hambatan yang dialaminya.
***
Malam itu,
diskusi yang dikemas untuk memberikan apresiasi terhadap bukunya yang terbit
beberapa tempo yang lalu, banyak menarik perhatian anak-anak muda Makassar yang
banyak berkiprah dalam dunia literasi dan filsafat.
Salah satu
yang menarik dari pokok diskusi Nirwan adalah konsep tiga dunia (Three Words) yang
diperkenalkan Karl Popper di tahun 1978. Pidato yang dibacakan di Universitas
Michigan itu membentangkan tiga tingkatan tatanan dunia secara ontologis
berkenaan dengan dunia pengalaman manusia.
Berdasarkan
pemahaman Karl Popper, dunia
pertama adalah dunia fisik manusia yang terbentang di dalam medium
ruang dan waktu. Segala apa yang tampak secara fisik merupakan bagian dari
dunia pertama. Dunia
kedua adalah dunia mental yang dimiliki manusia dalam perasaan dan
dan proses berpikirnya. Sementara dunia
ketiga adalah dunia objektif segala hasil pemikirian manusia berupa
tamsil dari dunia seni, teknologi, filsafat dan agama.
Ketiga dunia
ini disebutkan Popper saling berinteraksi dan saling memediasi sebagaimana
misalnya dunia pertama hanya bisa berinteraksi dengan dunia ketiga melalui
dunia kedua. Itu artinya, peran mediasi bahasa, yang dinyatakan sebagai
objektifikasi mental manusia dari dunia kedua dan dunia objektif dunia ketiga
sangatlah mendasar.
Itulah
sebabnya Nirwan sangat menekankan betapa pentingnya sastrawan, atau orang yang
bergerak dalam dunia bahasa banyak-banyak menggunakan pendekatan dunia ketiga
ketika mengeksplorasi karya-karya pemikirannya. Dengan mengeksplorasi dunia
ketiga, akan banyak memungkinkan bahasa selain menjadi medium pemaknaan, juga
mampu memberikan kesan lahiriah yang bukan saja retoris estetis, tetapi juga
mengandung kedalaman makna yang berbobot.
Hubungan
dialektis, menurut Nirwan adalah kunci dari interaksi antara kategori-kategori
yang bersifat fisikal dengan dunia imajinasi ketika ingin menghasilkan dunia
ketiga, dunia objektif dalam pemikiran Karl Popper. Dengan kata lain, Nirwan
mengatakan dunia yang baik adalah dunia yang senantiasa dibangun dengan
imajinasi yang senantiasa berkembang untuk jauh lebih luas dari
kenyataan.
Dari hubungan
semacam inilah, yakni ketika setiap imajinasi berkembang lebih jauh dari
kenyataan yang terjadi, maka perubahan dimungkinkan terjadi.
Gairah untuk
menaklukkan kenyataan melalui imajinasi, dinarasikan Nirwan sebagaimana Karaeng
Pattingalloang di beberapa abad lalu ketika ingin memesan bola dunia dari
Keluarga Bleau di tahun 1644 dari dataran Eropa yang tidak pernah dibayangkan
pembuatnya sekalipun. Dalam kasus Karaeng Pattingalloang, imajinasi tentang
bola dunia yang belum pernah dipikirkan menduduki posisi yang sentral ketika
“mengintervensi” dan “menciptakan” kenyataan baru.
Dengan kata
lain, imajinasi yang dipercakapkan Nirwan bukan sekadar sekumpulan gambaran
konseptual tentang sesuatu yang dipunyai manusia tentang kenyataan tertentu,
melainkan upaya pelampauan kenyataan untuk mendorong terjadinya kenyataan baru
dengan cara memperkarakan batasan-batasan yang selama ini diciptakan sendiri
oleh umat manusia.
Artinya, kalau
bisa dikatakan tidak ada yang tidak mungkin selama itu mampu dimajinasikan
sejauh alam pikiran manusia. Bukankah kenyataan selalu dimulai dari narasi?
---
Terbit juga di Kalaliterasi.com
The Heart is a Lonely Hunter, Carson Mc Cullers
Nasib
adalah kesunyian masing-masing. Chairil Anwar
Di New York Café, Jake Blount,
dengan mulutnya yang sering kali berbau gin atau bir, bakal menemukan pendengarnya
yang paling setia: Dari mulutnya dia sering kali membicarakan dunia yang tidak adil,
pikirannya, sistem kapitalisme di mana pun selalu membuat orang-orang mengalami
kehidupan yang terlunta-lunta. Membaca The Heart is a Lonely Hunter adalah
membaca kisah orang-orang yang kesepian. Hidup di suatu kawasan yang
terpinggirkan. Kehidupan masyarakat di kepung pabrik-pabrik. Perbedaan ras, dan
pekerjaan yang menyita waktu tidak lebih dari 12 Dollar. Begitulah kisahnya.
Segalanya di mulai dari jiwa-jiwa kesepian yang saling berinteraksi di sebuah kafé
kecil di pinggiran kota. Kisah orang-orang yang terkucil dari lingkungannya. Suara-suara
yang sering kali dipinggirkan begitu saja. Jake Blount seorang sosialis yang
tidak diketahui asal usulnya, Biff Brannon sang pemilik kafe yang ditinggal
istrinya yang mengalami kesepian kasih sayang, John Singer sang bisu yang kerap
dianggap orang paling tenang tempat semua orang merasa dipedulikan, Mick Kelly
gadis 12 tahun yang tumbuh dengan gaya tomboy dan tidak pernah jauh dari dua
adiknya, Spiros Antonapoulus si Yunani yang gila, dan Benedict Copeland, dokter kulit
hitam yang hidup di masa yang salah. Setiap jiwa adalah pemburu-pemburu
kesunyian. Carson Mc Cullers menarik siapa pun yang membaca novel ini dengan
tanpa terhindari dari jiwa yang selama ini terabaikan. Kita barangkali merasai
sehari-hari tak ada yang luput dari pembicaraan, setiap kepala memilih
mengutarakan semua isi kepalanya. Mengatakannya berulang-ulang, kepada semua
orang. Tanpa henti-henti. Akhirnya semuanya sesak, dan setiap orang merasa
telah menemukan kehidupan yang mampu menyelesaikan persoalan. Namun tanpa kita
sadari tidak semuanya berharga. Di titik itu, saya merasa lebih baik bisu
seperti nasib yang dialami John Singer. Lebih banyak mendengar dibanding berbicara. Karena itulah sosok seperti
Singer menjadi semacam pusat bagi orang-orang yang ditimpa kesepian. Seperti
Mick Kelly, seorang gadis yang merasa Singer adalah orang yang tepat ketika ia
ingin menyampaikan setiap maksud yang terpendam di kepalanya. John Singer yang
bisu bagi Jake Blount dan Benedict Copeland yang memercayai dunia mesti
dibersihkan dengan setiap ide di kepala mereka, adalah ceruk dalam yang bisa
diisi oleh benda apa saja. Tanpa suara ketika setiap benda masuk ke dalamnya. Juga
bagi seorang seperti Briff Brannon, orang semacam Singer merupakan jenis
manusia yang layak dijadikan seorang pendengar setia. Tapi ketika setiap orang
menemukan pendengarnya masing-masing, tidak seluruhnya mampu mengusir setiap
kesepian yang dialami masing-masing. Setiap pembicaraan yang dilakukan seperti
menelan sendiri maksudnya dengan akhirnya meninggalkan kekosongan yang masih
menganga. Pada akhirnya tidak semua bisa menemukan suatu pegangan. Semua pada
asalnya harus menemukan sendiri “suara” dari dalam yang selama ini tergeletak
entah di mana. Novel ini telah
menceritakan pertemanan atau mungkin semacam persahabatan yang ganjil antara
orang-orang yang dirundung soal, yakni orang-orang yang membutuhkan perhatian
ketika mereka memberikan perhatian kepada yang lain. Tidak semua yang
memberikan perhatian seolah-olah adalah orang yang nampak bijak, tapi di balik
perhatian masing-masing bersembunyi soal yang tak gampang untuk dibicarakan. Selalu
ada bahasa yang sulit diucapkan. Walaupun novel ini bukan novel politik, tapi
sesungguhnya ada bagian-bagian kecil dari obrolan yang mengikutkan pandangan
politik atas suatu nasib umat manusia. Apalagi jika itu ditemukan dari tokoh Dokter
Copeland yang sampai-sampai mencita-citakan pembebasan kaum negro dengan
memberikan nama anak keduanya tokoh komunis dunia, Karl Marx. Juga seorang
Blount, pekerja paruh waktu di komedi keliling yang memiliki
pandangan-pandangan sosialis yang akut. Namun tetap saja, betapa pun dunia
dihardik dari pikiran-pikiran yang kalut, kabut kesepian masih saja menjadi
tembok pemisah antara setiap orang. Juga setiap tokoh di novel ini. Seperti
dalam kutipan sinopsisnya kisah orang-orang yang merasa bersinggungan satu sama
lain tapi tidak tidak terkait dan menyerah pada kenyataan atas kesendirian yang
dirasakan. Jiwa yang terasing, tak didenagr dengungnya, juga keberadaannya. Nasib
memang kesunyian masing-masing, kata Chairil Anwar.
Langganan:
Postingan (Atom)