Berpikir a la Kiri (Tanggapan Ringkas atas Buku Epistemologi Kiri)

Judul: Epistemologi Kiri
Penulis: Listiyono Santoso, Dkk
Penerbit: Ar-Ruzz Media
Tahun: 2007
Halaman: 360 halaman



Theorea sebagai Praxis

Hakikatnya, pengetahuan melibatkan kepentingan. Ini sifat khas akibat pengetahuan yang manusiawi. Karena itu, pengetahuan selalu terlibat di dalam ekspresi kemanusian. Di Yunani purba, pengetahuan diandaikan sebagai bentuk praxis. 

Theorea, terma yang bergeser dalam horizon sains modern, merupakan cara manusia menggamit idede kebaikan, keindahan, dan kebijaksanaan bagi kehidupan seharihari. Di Yunani purba, akibatnya, jika orang berbicara pengetahuan maka itu sama halnya menyatakan kehidupan kongkret itu sendiri.

Situasi demikian disebut bios theoretikos. Imajinasi alam berpikir Yunani purba mengartikan bios theoretikos bukan penyelidikan asumsiasumsi pengetahuan demi pengetahuan dalam kategori abstrak sebagaimana teori dalam sains, melainkan suatu jalan etik bagi mendidik jiwa. Ini diandaikan sebagai bentuk hidup yang melibatkan pengetahuan demi tercapainya otonomi dan pemahaman merdeka atas perbudakan doxa. Suatu cara manusia memiliki insight, atau dengan kata lain wisdom.

Theorea sendiri merupakan terma teologis yang mengakar dari tradisi agama kebudayaan Yunani. Melalui ritus keagamaan, seorang theoros punya tugas theorea, yakni “memandang” ke dalam dunia sakral yang melibatkan suatu peristiwa katharsis. Peristiwa katharsis adalah cara theoros membebaskan diri dari perubahanperubahan perasaan dan dorongandorongan fana. Akibatnya peristiwa pelepasan ini memiliki kekuatan emansipatoris dalam arti primitifnya.

Jadi, dari pengertian paling awal, aktivitas berpengetahuan selalu melibatkan diri dalam usaha pembebasan. Di situ artinya pengetahuan masih bulat  menyatukan aktivitas berpikir dan berpraktik. Theorea sekaligus praxis

Ontology: Akar Pemisahan Kepentingan dari Ilmu Pengetahuan

Filsafat selalu memandang sesuatu apa adanya. Pengertian ini bermaksud agar manusia memiliki pemahaman yang murni. Pengetahuan sejati, atau yang asali, merupakan dasar dari ontologi. Artinya, suatu pemahaman disebut pengetahuan murni apabila berhasil menyingkirkan prasangkaprasangka dan kecenderungan emosional yang merusak transparansitas pengetahuan itu sendiri.

Dasar pemahaman ini berangkat atas pemisahan antara Ada dan Waktu. Segregasi kategori ini mengakibatkan suatu kriterium pengetahuan jadi dua hal yang berbeda, yakni pengetahuan yang tetap (Ada) dan pengetahuan yang berubahubah (Waktu). Itulah mengapa setiap filsuf selalu menegakkan prinsipprisnsip universal yang ditarik dari prinsip Ada sebagai wujud yang tak tersentuh perubahan.

Akibatnya, dari pengetahuan yang tetap, filsafat selalu mendeskripsikan kenyataan atas sesuatu yang menjadi hakikat di dalamnya. Kriterium yang kelak disebut substansi ini, senantiasa menjadi ihwal yang harus dimurnikan dari perubahan waktu ke waktu. Demikian, substansi akhirnya diposisikan selalu mengatasi waktu, atau dengan kata lain kriterium substansial atas sesuatu harus mampu berlaku di semua kondisi dan waktu.

F. Budi Hardiman menyebut pemurnian atas pengetahuan sejati dari anasiranasir perubahan, sama halnya menyingkirkan dorongan dan perasaan subjektif manusia sendiri. artinya, sikap ini secara tidak langsung adalah usaha penjarakan atas pembersihan dorongan empiris. Sehingga akhir dari proses ini mengakibatkan pengetahuan merupakan hasil “kontemplasi bebas kepentingan.”

Positivisme; Pengetahuan Harus Bebas Nilai

Ilmu pengetahuan modern memandang sains yang etik adalah ilmu yang bebas nilai. Bahkan kebenaran, terlepas dari prasangka moral maupun etika, merupakan apa yang hanya ditemukan dari faktafakta.

Prinsip ini sama halnya yang diturunkan dari cara kerja ilmuilmu filsafat yang menempatkan alam sebagai basis penyelidikannya. Ilmu modern, walaupun berbeda secara metodelogi, tetap membawa kecenderungan yang sama dalam melihat faktafakta sebagai kriterium utamanya.

Mazhab Frankfurt melihat kecenderungan ini sebagai prinsip kerja dari ilmuilmu yang disebutnya tradisional. Ilmuilmu tradisional dibilangkan sebagai teori yang mengandaikan pemisahan total antara nilai dan fakta. Akibatnya, penyelidikan yang diajukan hanya memfokuskan fakta dengan hukumhukum dan metodemetodenya. Dengan cara demikian, pengetahuan menjadi netral tanpa keberpihakan kepada siapasiapa selain atas nama ilmu pengetahuan itu sendiri.

Perlu disampaikan di sini penolakan mazhab Frankfurt terhadap netralitas ilmuilmu tradisional didasarkan kepada tiga asumsi umumnya. Pertama, netralitas pengetahuan atas klaim objektivitas sama halnya melestarikan keadaan yang ada. Netralitas pengetahuan akibatnya tidak sampai kepada pernyataanpernyataan yang mempertanyakan keadaan. Maka, demikian pengetahuan hanya menopang dan menerima kenyataan apa adanya, bukan bagaimana seharusnya. Prinsip seperti ini sama berarti berwujud ideologis.

Kedua, atas klaim universal, pengetahuan tradisional menyisihkan anasiranasir yang menunjukkan partikularitas kenyataan. Dalam konteks masyarakat, ilmu pengetahuan menjadi ahistoris karena mengabaikan proses historis yang hanya dapat disaksikan melalui penelusuran atas waktu.

Ketiga, teori tradisional memisahkan teori dan praksis. Praksis, unsur pengetahuan yang dihilangkan akibat pengetahuan hanya merupakan rangkaian kerja yang bersifat konseptual semata. Di sisi lain, ilmu pengetahuan yang dipisahkan sejak awal dari ikatanikatan etik, tidak mampu melihat jauh implikasiimplikasi sosial teori dalam kenyataan seharihari masyarakat.

Selain dari itu kaidahkaidah ilmiah yang menjadi perhatian utama dari aspek metodelogis, membuat ilmu pengetahuan menjadi satu bangunan teoritik yang menolak pendekatan keilmuan yang lain. Soal ini akan tampak terang jika pasal ini didudukkan dalam konteks pertentangan ilmuilmu yang bersumber dari tradisi Eropa dan Timur.


Epistemologi Kiri: Suatu Alternatif?

Abad modern yang ditandai dengan klaimklaim universalisme, progresifisme, objektivisme, individualisme dan kapitalisme, banyak menyisakan luka sejarah bagi perkembangan manusia kekinian. Kiwari, banyak yang akhirnya melihat modernisme hanya mengulang dekadensi zaman seperti yang semula ditolaknya. Mazhab Frankurt misalnya, menyatakan kemajuan sejarah atas nama Pencerahan hanya menciptakan situasi yang sama seperti saat manusia digerakkan oleh mitos dan takhayul.  Malangnya, di tengah situasi demikian justru secara bersamaan kekuatan ideologis di balik klaimklaim modernisme menjadi kukuh dan tak tergoyahkan. Dalam konteks penolakan, khasanah pemikiran kiri mesti diapresiasi sebagai kritik langsung terhadap kemapanan ideologis yang dominan.

Dalam perspektif epistemologis, pemikiran kiri adalah upaya yang diletakkan ke dalam suatu konteks historis yang membaca kembali seluruh bentuk pengetahuan yang dominan. Sifat ilmuilmu modern atau yang dibilangkan Mazhab Frankfurt sebagai ilmu tradisional, atas seluruh klaim kebenarannya yang menolak berbagai macam pendekatan dan kebenaran yang timbul dari berbagai jenis pengetahuan, melalui perspektif kiri diuji kembali berdasarkan wacana kritis yang dimilikinya.

Demikian, perspektif kiri melalui konteks ini ingin mendekontruksi asumsi dasar pengetahuan ilmuilmu modern dengan melihat atas klaim apa pengetahuan di susun. Apakah ilmu pengetahuan memang disusun atas klaimklaim yang dari awal menjadi kriteriumnya atau memang ada semangat penundukkan di balik semangat berdirinya ilmu pengetahuan.

Kiri juga bisa diartikan sebagai gugatan moral yang kerap menjadi selubung di balik kepentingan pengetahuan itu sendiri. Perspektif Nietzschean melihat bahwa di balik hukumhukum kebenaran justru tidak jarang malah ditegakkan bukan atas dasar ilmu pengetahuan, melainkan atas dasar moralitas. Dengan arti yang berbeda, kebenaran ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah aspek moralitas yang tak ingin tergugat akibat kritisisme yang diajukkan pandangan yang lain.

Dari aspek universalisme, kiri juga berarti kritisisme terhadap penyeragaman ilmu pengetahuan dari aspek, hukum, dan metodeloginya. Kecenderungan ini ditolak, J. F Loytard yang mencurigai bahwa di balik penyatuan ilmu pengetahuan justru melegalkan caracara yang membunuh keanekaragaman paras ilmu itu sendiri.

Itulah sebabnya, Loytard menyerukan perlunya mempertimbangangkan narasinarasi kecil yang mungkin saja memiliki kekuatan alternatif dibandingan ideide besar yang dominan dan hegemonik. Melalui seruan ini, ilmu pengetahuan bukan sekedar kumpulan istilah yang telah diseragamkan melalui bahasa tertentu, namun juga menerima perbedaan bahasa keilmuan lain yang berasal dari tradisi dan kebudayaan yang  berbeda.

Kiri akibatnya seperti yang diajukan Antonio Gramsci adalah bahasa alternatif dalam melawan hegemoni kelas tertentu.Kiri dalam konteks ini berarti pengajuan alternatif dari hegemoni ideide hasil reproduksi lapisan masyarakat yang berkuasa. Pembelahan masyarakat atas kepentingan kelas, juga melestarikan bahasa sebagai kegiatan sosial yang terbentuk dari setting masyarakat tertentu. Sehingga, ilmu pengetahuan yang terpresentasi atas bahasa tertentu juga jadi cerminan kelas tertentu. Maka, penting melihat seberapa jauh ideide hegemonik bekerja atas bahasa yang digunakan dalam praktikpraktik sosialnya.

Syahdan, kiri dalam terma politik merupakan suatu perspektif yang melawan stabilitas pengetahuan tertentu. Walaupun disadari, kiri tidak selamanya identik dengan komunisme dan sosialisme seperti yang banyak orang sangkakan. Kiri dalam cakrawala pikir kita bersama adalah horison pemikiran yang bernada kritis terhadap segala bentuk kekangan pengetahuan, budaya maupun kehidupan sosial.Akhirnya, harus dipahami pula kiri tidak sekedar berarti akibat makna semantik belaka, tapi juga di baliknya ada sejarah kiemanusiaan  yang ingin tegak tanpa ada pretensi ideologis di dalamnya.

Apabila mengacu kepada pemahaman Foucault, pengetahuan hakikatnya dibentuk atas dasar kepentingan tertentu. Penelusuran Foucault terhadap sejarah ilmu pengetahuan Eropa menemukan bahwa kekuasaan selalu menjadi faktor utama dari dibentuk dan dibangunnya ilmu pengetahuan. Akibatnya nilai epistemologis dari ilmu pengetahuan hakikatnya mencerminkan paras kekuasaan itu sendiri. Atau dengan kata lain, dalam konstelasi tatanan sosial, pengetahuan yang menjadi wacana resmi sebenarnya adalah cara kekuasaan mengambil alih kesadaran otonom masyarakat.

Kalau sudah demikian, mungkinkah seluruh aktivitas berpengetahuan manusia bersih dari kepentingan kekuasaan di dalamnya? Ataukah ini hanya soal bagaimanakah menempatkan suatu kepentingan yang berakar dari nilainilai etis dan moralitas tanpa mengabaikan pertatutannya dengan kekuasaan tertentu? Ataukah memang perlu menerima klaim modernisme selama ini bahwa kepentingan pengetahuan hanya satu, yakni demi ilmu pengetahuan itu sendiri?

---

Catatan: Beberapa ide dasar dan sub judul tulisan ini diambil dari buku Kritik Ideologi karya F. Budi Hardiman terbitan Kanisius (1993) dan Epistemologi Kiri karya Listiyono Santoso dkk terbitan Arruz Media (2009)

*Tulisan ini telah disampaikan sebagai pengantar dalam diskusi bedah buku LKIMB UNM