Langsung ke konten utama

Postingan

Toilet dan Toleransi

Eka Kurniawan Pengarang terkemuka Indonesia saat ini Buku fenomenalnya: Cantik itu Luka Bung, toilet Bung! Di film-film hollywood berlatar kehidupan gangsters, toilet pubs atau diskotik digambarkan urakan. Alih-alih nyaman, toilet versi kehidupan malam Amerika penuh coretan gravity, ungkapan-ungkapan cabul, sampah kondom, sisa muntahan, bekas kencing dan—jika film bisa menghidupkan indera penciuman—sudah tentu bau. Di situ, toilet diberlakukan semena-mena tanpa norma. Dia jadi ”panggung” pelampiasan hasrat tersembunyi manusia. Tentu kehidupan ”belakang” demikian berbeda dari keberadaan toilet di lingkungan elit. Fungsi dan ornamen toilet di lingkungan berada malah jadi representasi paradigma estetis. Bahkan, toilet umum di negara-negara maju dikreasikan dengan pendekatan wacana tertentu: ada yang ramah anak, ramah lingkungan, sampai dibikin mirip dunia galaxi. Semena-mena atau tidak perlakuan atas toilet, dikatakan World Toilet Organization sebagai cermin k...

Badut, Patch Adams, dan Balada Arthur "Joker" Fleck

Poster Film Joker Komedi adalah tragedi tanpa tangis, tragedi adalah komedi tanpa tawa DI SUATU waktu,  ia menyelinap masuk di kamar terlarang. Hanya dokter sungguhan boleh masuk di ruangan bercat serba putih itu. Ia masuk dengan niat tulus menciptakan lelucon.  Ia tanpa segan-segan menyelinap di dalam bangsal penderita kanker otak. Di situ ia memanfaatkan alat-alat kedokteran seadanya sebagai perkakas humornya. Ia mengubah pispot kencing menjadi sepatu raksasa, busa pompa karet menjadi hidung a la badut. Atau, pakaian dokter memeragakan kostum badut yang  melorot. Ulahnya itu membuat ruangan sunyi melompong menjadi riuh penuh canda tawa. Ruangan seluruhnya berisikan anak-anak seketika berubah seperti taman bermain. Untuk beberapa saat mereka melupakan penderitaan penyakitnya. Badut karakter dipilihnya demi menghibur anak-anak yang hampir semuanya berkepala botak. Di balik tingkah lucu, walaupun peluangnya kecil, pria bertubuh gempal ini berkeyak...

Si Pengintip yang Genit dan Perkasa

Assikalaibineng: Kitab Persetubuhan Bugis Inninawa (2007) SAYA kira cukup mudah bagi kita menunjukkan keperkasaan. Apalagi jika anda seorang polisi, maka jauh lebih gampang lagi. Cukup memajang residivis kambuhan dengan tulang kering berlubang karena lahar panas. Setelah ditangkap diintai berhari-hari menggunakan mobil kijang tanpa nomor plat, segeralah ambil gambar. Di foto itu, bakal kelihatan siapa jagoan dan siapa bajingannya. Panorama ini lumayan intimidatif. Terutama bagi penjahat yang masih berkeliaran bebas. Coba bayangkan sebelum didiamkan di dalam sel, mesti foto bersama polisi-polisi berotot plus berambut gondrong. Saya yakin, si bajingan yang jadi bulan-bulanan nanti ini lumayan makan hati. Kecut nian perasaannya. Sudah dihadiahi pelor panas, dijadikan objek selfie-selfie pula. Entah semenjak kapan ada kebiasaan ini. Tapi begitulah ketika selfie jadi tren. Di tangan polisi-polisi berpenampilan preman, residivis kambuhan yang tidak punya daya apa-apa lagi ini...

Makassar Melawan Pembajakan Buku

BAJAK, di KBBI diartikan sebagai ”ambil alih secara paksa, disertai ancaman”. Definisi ini dibubuhi konteks lanjutan berupa ”(tentang pesawat dan sebagainya)”. Contoh ini mengingatkan saya kepada ”Air Force One” (1997), film aksi dibintangi Horrison Ford, orang yang juga sering kita saksikan memerankan Indiana Jones, seorang ahli arkeologi pemburu benda-benda kuno. Tak perlu panjang lebar, ”Air Force One” lumayan fenomenal. Film ini berkisah tentang pembajakan pesawat kepresidenan AS oleh segerombolan teroris. Di film ini Horrison Ford berperan sebagai orang nomor satu Amerika, sekaligus menjadi pahlawan penyelamat pembajakan pesawat. Di film ini, ia berjuang sendirian. Berjibaku melumpuhkan satu per satu pembajak secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Terkesan hiperbola memang, seorang presiden sebatang diri melawan gerombolan teroris bersenjata lengkap di dalam pesawat. Tapi, begitulah Hollywood. ”Air Force One” seringkali ditayang ulang di layar kaca. Sekaligus ja...

Laptop si Fulan

FULAN antusias menatap layar laptop. Matanya lekat. Jemarinya kikuk bergerak dari satu tombol ke tombol lainnya. Seolah-olah ada beban berat di setiap buku-buku jarinya. Tidak lama sebaris kalimat terpampang. Seketika ia hapus kalimat itu. Kemudian, ia kembali menulis kalimat lain. Tapi, untuk kedua kalinya ia hapus kembali. Bagai mesin karat, jemarinya tiba-tiba berhenti begitu saja. Seperti jemarinya, pikirannya ikut berhenti. Seketika, layar putih kembali kosong. Ia seperti sedang berhadapan dengan tembok tebal.... Ini kali pertama Fulan menggunakan laptop. Benda paling berpengaruh abad ini membuatnya nampak asing. Pengalaman ini tidak pernah ia alami sebelumnya. Di kampung halaman, ia akrab dengan layang-layang, sebidang kebun, sawah, persada luas, dan sepak bola. Jika masuk waktu salat, ia bergegas meninggalkan sungai tempatnya bermain. "Di sekolah kalau diberi tugas hanya pakai buku tulis. Tidak pakai laptop. Baru kali ini menggunakan laptop." Demikia...

Merebut Aku Otentik a la Soren Aabye Kierkegaard

Judul: Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri Penulis: Thomas Hidya Tjaya Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Edisi: Ketiga, April 2018 Tebal: XVII+ 178 halaman ISBN: 978-602-424-850-5 Orang-orang berpikir bahwa dunia ini membutuhkan republik, dan mereka berpikir bahwa yang dibutuhkan adalah tatanan sosial baru, dan agama baru—tetapi tak seorang pun pernah berpikir bahwa apa yang sekarang dibutuhkan oleh dunia, membingungkan tapi sebenarnya juga sudah banyak diketahui, adalah seorang Socrates. Anti-Climacus, The Sickness Unto Deatth, Appendix 223 SEANDAINYA Kierkergaard hidup di masa sekarang, ia bakal getol bersuara mengingatkan publik. Seluruh kritik filsafatnya menemukan momentumnya saat ini. Di ranah individu, manusia kehilangan orientasi didera krisis eksistensi. Di ranah sosial, masyarakat menjadi kerumunan. Kerumunan melenyapkan kepribadian individu yang khas, dinamis dan bebas.  Di ranah etika, manusia...