Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Plato

Menemukan Kembali Bahasa Indonesia

Mari memahami praktik berbahasa era kiwari tidak serta merta representasi kesadaran atas persatuan. Justru sebaliknya akibat cermin ketidaksadaran. Atau lebih berbahaya akibat false consciousness (pemahaman palsu). Atau mungkin trauma kelam masa lalu. Atau juga didorong rasa dendam, bahkan mungkin sentimentalisme sempit. Artinya, bahasa selama ini bukan cermin ilmu pengetahuan. Malah bahasa percakapan yang dipraktikkan sehari-hari hanya cara manusia memanipulasi dirinya yang mengalami hambatan perkembangan kejiwaan. Ibarat teori allegory of the cave -nya Platon, filsuf Yunani purba, kiwari hampir semua bahasa percakapan ditengarai gelapnya perangkap gua, bukan karena “cahaya” di luar gua. Imbasnya, bukan manusia yang “menyarangkan” bahasa lewat praktik pemaknaan, tapi manusialah yang ditawan bahasanya sendiri, bahasa samar dan gelap. Itu sebabnya, manusia terhambat mengetahui kenyataan lewat bahasa temaram yang digunakannya. Kenyataan, hanyalah realitas palsu akibat tak ...

Platon dan Dunia Tanpa Cacat

Ilustrasi pop art wajah Socrates. Socrates adalah bapak sekaligus "guru" para filsuf Ajarannya paling terkenal adalah metode dialektika BARANGKALI teori adalah paras terbalik dari kehidupan nyata. Ibarat paralax, pantulannya berkebalikan dari objek sebenarnya. Dan begitulah Platon. Paras teorinya adalah hasil sublimasi kehidupan masyarakatnya yang dirundung masalah. Platon hidup di masa perang dan huru-hara politik yang lebih parah dari zaman Heraclitus. Sebelum Platon lahir, Athena adalah kota yang baru saja keluar dari gua tribalisme. Tapi juga itu masa-masa yang penuh tirani. Athena akhirnya jadi kota yang terkatung-katung di antara oligarki dan penegakkan demokrasi.  Athena yang gundah juga kota yang mengalami perang berkepanjangan dengan Sparta, negara-kota yang masih menganut tribalisme aristokrasi kuno. Selama dua puluh delapan tahun perang berkecamuk, membuat masyarakat tercabik-cabik. Perang Pelopponesus itu akhirnya membuat Athena menjadi pihak ...

Filsafat Indomie Mi Goreng

Seharusnya siapa pun Anda berterima kasihlah kepada makanan satu ini: Mi Goreng Indomie Instan. Makanan paling instan di jaman serba instan. Ini bukan iklan. Tapi sekadar memfilsafati makanan sejuta umat ini. Makudnya, dari makanan remeh temeh ini, apakah ada sesuatu yang substantif tinimbang sekadar merasai gurihnya minyak sayur dan bumbunya yang asinasin sedap itu. Ya. Kita ingin mencari keugaharian dari makanan seharihari ini. Sesuatu yang utama. Yang falsafati. Lantas, bagaimana caranya menemukan keutamaan dari makanan yang paling banyak dicecap mahasiswa ini. Mari dibahas satu dua tiga hal. Pertama dari cara dibuatnya. Sadarkah Anda bahwa mi goreng ini mengandung kontradiksi? Jika belum, coba Anda membuatnya. Kadang melalui praktik, beberapa hal akhirnya nampak terang. Jika sudah, dapatkah Anda menemukannya? Ya, tepat sekali. Mi goreng ini hanya namanya saja mi goreng, sebab saat Anda membuatnya ternyata dengan cara direbus. Bukankah itu kontradiksi? Sesuatu ...

Sinisme Sang Filsuf

Akhirnya cara menjawabnya harus dimulai dari seorang nama tua: Platon. Platon, yang filsuf itu punya pandangan tentang  Philosopher-King . Tatanan masyarakat baginya harus diatur oleh seorang filsuf. Manusia yang punya kualitas kontemplatif. Seorang filsuf diandaikan sebagai kepala masyarakat. Sang filsuf dengan begitu, dengan kualitas kebaikannya jadi kelas ideal bagi Platon. Boleh jadi,  jika mau sedikit kritis, semesta pemikiran Platon, terutama pemosisian sang filsuf sebagai puncak teratas hirarki sosial, berangkat dari semacam sinisme. Bagaimana pun idealnya sang filsuf, profesi yang lainnya selalu secara hirarkis di bawah posisi sang filsuf. Pertama, konsekuensinya, semesta pandangan Platon masih melihat tatanan terdiri dari kelaskelas. Akibatnya, hanya sang filsuflah sebagai manusia yang mampu menjamin kebenaran, kebebasan, keindahan, dan kejujuran, sedang yang lain hanya bagian yang subordinat. Dari konteks negara kota ( Polis ), yang mengikuti tatanan tiga...

Filsafat itu Dialog

Santo Thomas Aquinas  Frater Dominikan Italia. Imam Katolik, dan Doktor Gereja (Pujangga Gereja). Ia juga adalah teolog, dan filsuf yang sangat berpengaruh dalam tradisi skolastisisme.  Thomas Aquinas juga dikenal karena memadukan ajaran kristiani dengan filsafat Aristotelian.  Karya-karyanya yang paling dikenal adalah Summa Theologiae dan Summa contra Gentiles FILSAFAT sebetulnya adalah dialog. Jadi bukan sekadar aktifitas monologis untuk merenungkan suatu segala, tapi peristiwa dua arah untuk mempercakapkan segala ihwal.  Filsafat sebagai dialog bekerja di dua lapisan sekaligus; intrapersonal dan interpersonal. Di tingkatan pertama, filsafat bergelut dengan "aku yang berkesadaran" di dalam kesadaran itu sendiri, sementara di tingkatan kedua, "aku yang berkesadaran" dengan aku yang lain di luar dirinya. Tingkatan pertama, filsafat dimulai dari permenungan mendalam, sedangkan di lapisan kedua, filsafat bekerja dengan percakapan antara dua subj...

madah duapuluhtiga

Konon, di Yunani purba, tubuh merupakan wakil kebaikan dan keuletan. Ia adalah penanda supremasi manusia. Olimpiade, misalnya,  yang dilakukan selama empat tahun sekali di lereng Gunung Olimpus, merupakan pemujaan terhadap tubuh yang ideal.  Bahkan dalam filsafat, Aristippus, teman Socrates, mengidealkan tubuh sebagai ajaran etika. "Kesenangan tubuh jauh lebih baik dari kesenangan jiwa." Di Yunani sepertinya, tiada jiwa yang ideal tanpa tubuh yang ideal. Itulah  ada adagium yang akrab; m ens sana in corpore sano,   di balik tubuh yang kuat, ada jiwa yang sehat. Di balik seratserat otot yang padu, terdapat jiwa yang utuh. Namun itu di Yunani, suatu masa ketika tubuh ditempatkan sebagai ekspresi atas yang ideal, yang dipuja dan dipuji. Sesuatu yang sempurna. Bagi sebagian orang ada keyakinan tubuh adalah medium kejahatan. Tubuh sudah terlanjur dianggap musuh kemurnian. Tubuh adalah ruang yang gelap dan tak harus dicandra. Dari itu, tubuh dijauhi. Dari...

Antara Jurnalisme dan Filsafat

Konon sikap jurnalis dan filsuf cenderung berbeda terutama memperlakukan kebenaran. Di tangan   jurnalis kebenaran menjadi pesan informatif. Bagi filsuf kebenaran diberlakukan lebih reflektif. Jurnalis sigap terhadap kenyataan, sementara seorang filsuf justru tenang di hadapan kenyataan. Seorang jurnalis, menjadikan dunia faktual sebagai titik tolak pena dan kertasnya. Sementara bagi seorang filsuf, dunia faktual tidak lebih penting dibanding dunia abstrak-teoritik sebagai dunia kerjanya. Dengan kata lain, kesigapan wartawan menjadikan kenyataan luar (fakta) sebagai sumber berita. Sedangkan dunia dalam (makna) merupakan medan “kabar” bagi pikiran reflektif seorang filsuf. Tetapi apa sesungguhnya hubungan di antara keduanya? Apa sebenarnya sumbangsih keduanya terhadap kehidupan manusia di saat seperti ini? Sikap filsuf dan seorang jurnalis boleh jadi berbeda menghadapi kebenaran. Namun ada kenyataan yang tidak bisa disanksikan: keduanya didorong hasrat yang sama unt...

Di Ambang Kenyataan; Beban atau Peluang?

Martin Heidegger, dengan pemikiran ontologinya yang rumit, pernah memaktubkan gejala mendasar dan problematis, pada metafisika Barat- dengan seluruh totalitasnya sudah lupa- terhadap Ada. Di suatu waktu ia berkata, kita lupa terhadap sesuatu yang sederhana namum begitu fundamental; Ada. Yang terlupakan adalah entitas yang mendasari adaan yang lain. Sesuatu yang mengendap pada dasar kenyataan yang nampak, metafisika Barat dengan seluruh tradisinya terjangkiti penyakit yang segera harus dibersihkan dari kategorikategori yang dianggap gagal membaca kenyataan. Demikian sehingga telah membawa manusia melupakan dasar keberadaannya. Semenjak Parmenides sampai Sokrates, Platon hingga Kant; metafisika sebagai filsafat awal, tengah mengalami kecemasan. Filsafat guyah dari sendisendinya. Yang dahulu deskripsi tentang Ada menjadi anasir utama akhirnya harus terpinggirkan. Kemungkinan manusia untuk mendapati dan menggapai Ada; kenyataan sublim, akhirnya mengala...

Dialogi Tafsir atas Masyarakat dan sejarah: Ulasan terhadap Karya Murtadha Muthahhari

Paradigma adalah gambaran fundamental mengenai masalah pokok dalam ilmu tertentu. Paradigma membantu dalam menentukan apa yang mesti dikaji, pertanyaan apa yang mesti diajukan, bagaimana cara mengajukannya, dan apa aturan yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. [1]   Paradigma sesungguhnya mencakup pengertian yang bersifat ontologis yang darinya sebuah objek menjadi fundamental dalam penentuan skala pengetahuan. Pelacakan terhadap status objek yang hendak dikaji pada gilirannya akan mengarahkan persoalan-persoalan pada penisbahan tentang metodologi apa yang pas untuk digunakan. “Paradigma” sebagai sebuah diskursus wacana dan keilmuan, utamanya dipopulerkan oleh Thomas Samuel Kuhn (1922-1996), seorang pemikir Amerika. Walaupun pandangan-pandangannya menyangkut paradigma bernasib marginal dalam ilmu sosiologi, namun di dalamnya terdapat pemikiran besar bahwa ilmu tak pernah terlepas dari konteks dimana ia dimunculkan. Dalam buku yang diterbitkan tahun ...