Mari memahami praktik berbahasa era kiwari tidak serta merta representasi kesadaran atas persatuan. Justru sebaliknya akibat cermin ketidaksadaran. Atau lebih berbahaya akibat false consciousness (pemahaman palsu). Atau mungkin trauma kelam masa lalu. Atau juga didorong rasa dendam, bahkan mungkin sentimentalisme sempit. Artinya, bahasa selama ini bukan cermin ilmu pengetahuan. Malah bahasa percakapan yang dipraktikkan sehari-hari hanya cara manusia memanipulasi dirinya yang mengalami hambatan perkembangan kejiwaan. Ibarat teori allegory of the cave -nya Platon, filsuf Yunani purba, kiwari hampir semua bahasa percakapan ditengarai gelapnya perangkap gua, bukan karena “cahaya” di luar gua. Imbasnya, bukan manusia yang “menyarangkan” bahasa lewat praktik pemaknaan, tapi manusialah yang ditawan bahasanya sendiri, bahasa samar dan gelap. Itu sebabnya, manusia terhambat mengetahui kenyataan lewat bahasa temaram yang digunakannya. Kenyataan, hanyalah realitas palsu akibat tak ...