Laptop si Fulan


FULAN antusias menatap layar laptop. Matanya lekat. Jemarinya kikuk bergerak dari satu tombol ke tombol lainnya. Seolah-olah ada beban berat di setiap buku-buku jarinya. Tidak lama sebaris kalimat terpampang. Seketika ia hapus kalimat itu. Kemudian, ia kembali menulis kalimat lain. Tapi, untuk kedua kalinya ia hapus kembali. Bagai mesin karat, jemarinya tiba-tiba berhenti begitu saja.

Seperti jemarinya, pikirannya ikut berhenti. Seketika, layar putih kembali kosong. Ia seperti sedang berhadapan dengan tembok tebal....

Ini kali pertama Fulan menggunakan laptop. Benda paling berpengaruh abad ini membuatnya nampak asing. Pengalaman ini tidak pernah ia alami sebelumnya.

Di kampung halaman, ia akrab dengan layang-layang, sebidang kebun, sawah, persada luas, dan sepak bola. Jika masuk waktu salat, ia bergegas meninggalkan sungai tempatnya bermain.

"Di sekolah kalau diberi tugas hanya pakai buku tulis. Tidak pakai laptop. Baru kali ini menggunakan laptop." Demikian ia mendaku.

Fulan adalah tipikal anak pelosok. Di desa kelahirannya, nun jauh di pedalaman Sulawesi, teknologi hanyalah berupa kotak-kotak yang ia lihat seperti televisi, kulkas, dan mesin cuci.

Di masjid teknologi itu berupa amplifier dan toa masjid. Di rumah tetangga ia hanya melihat teknologi berupa parabola yang sudah lama tidak berguna. Ketika ia di toko kelontong kalkulator adalah benda canggih yang mewakili kemajuan desanya.

Belakangan orang-orang menenteng benda baru berlayar kecil dan trendi. Mereka sering tepekur berlama-lama menghadap layar kaca yang mungil itu.

Anak-anak seusianya kerap ditemukan duduk di atas deker-deker lorong. Bergerombol tapi seolah-seolah terpacak tembok pemisah. Tepekur menatap layar dengan seksama.

Untuk benda terakhir ini dimulai ketika para sopir mobil datang membawa alat komunikasi baru yang belakangan menggantikan mesin berlayar hitam putih.

Pertama-tama benda itu dipakai terbatas. Para orang tua hanya menggunakannya bertukar kabar dengan sanak famili nun jauh di kota. Sesekali jika ada keperluan ke kota, alat itu dipakai memesan tumpangan mobil. Bagi pedagang, benda itu dipakai memesan barang. Jika ada pesanan yang salah seketika benda itu menjadi solusinya. Dan, tentu benda itu dilakai para sopir mobil yang sehari-hari keluar masuk desa-kota, orang yang paling sering terpapar inovasi teknologi.

Pelan-pelan benda itu kian jamak dipakai. Hampir semua orang membelinya. Bahkan lama kelamaan ia jadi semakin canggih. Kini benda itu dibekali kemampuan internet. Dunia seketika tidak lagi sesederhana kehidupan desa. Informasi cepat bergerak mengubah kenyataan sehari-hari.

Ibu-ibu muda penjaga toko-toko kelontong di pasar lebih sering menatap layar mungil dari pada sekadar ngobrol sesama pedagang di sebelahnya. Anak-anak muda kala senggang habis waktunya berselancar menonton video-video hiburan, bersosial media, dan bermain game. Anak-anak gadis berasyik masyuk mengambil dan menyimpan gambar selfie. Kecuali orang-orang tua, para ibu-ibu dan suami-suami, masih setia berkebun dan menjemur gabah-gabah di pinggir-pinggir jalan.

Tapi, tetap saja sejak perusahan komunikasi masuk di desa Fulan mendirikan tiang-tiang kerangka di puncak-puncak bukit. Benda itu jadi demikian intim sekalipun hanya dipakai sebagai hiburan maya belaka.

Begitulah, selain motor dan mobil, teknologi android mengubah kebiasan hidup desa Fulan. Tidak terasa kehidupan organik desa berganti layaknya kehidupan kota.

Walaupun perubahan itu kian terasa. Tetap saja di sekolah teknologi adalah sesuatu yang demikan jauh di mata Fulan. Guru-gurunya sekarang memang senang menenteng laptop ketika di sekolah. Tapi, tetap saja ia belum tahu apa kegunaan praktis benda itu.

Dulu, kali pertama ia saksikan laptop di sekolah, tidak sekali pun ia melihat gurunya menggunakannya. Di atas meja, benda itu tergeletak begitu saja. Bersebelahan dengan vas bunga. Seringkali bodycovernya yang mengkilap tertutupi debu bekas kapur.

Di kelasnya, kapur dan papan tulis--selain buku gurunya--adalah benda yang paling mencerminkan dunia ilmu pengetahuan. Laptop, di mata gurunya terlebih di mata Fulan, dalam pengalaman ini entah untuk semesta apa.

Hingga akhirnya Fulan beranjak meninggalkan desanya. Ia pergi ke kota menuntut ilmu. Suatu fenomena khas bagi masyarakat pedesaan karena tidak lama lagi, orang seperti Fulan bakal memiliki kebiasan baru. Itu semua akan dimulai dari berubahnya sudut pandang, pemahaman, dan pengetahuan baru. Fulan, seperti warga desa umumnya yang bergerak ke kota, akan menjadi pribadi baru.

Tapi, itu bukannya tanpa risiko. Pendidikan yang ditempuhnya mengandung soal pelik. Di titik tertentu, Fulan akan mulai melihat desanya dengan cara berbeda. Desa bakal ia lihat sebagai suatu hal yang pelan-pelan jadi titik kecil. Desa akan jadi semesta asing. Desa akan mulai ia tinggalkan.

Sebelum itu semua terjadi, Fulan mau tidak mau mesti akrab dengan satu benda yang demikian gandrung dipakai di hampir setiap pekerjaan di kota: laptop.

Laptop, bagi masyarakat kota jadi benda penting. Sepenting parang bagi pekebun, atau cangkul bagi petani. Bagi dua pekerjaan ini, parang dan cangkul seperti di desa Fulan adalah alat yang bisa dipakai hampir di semua keperluan.

Kini, belum lama menjadi mahasiswa, Fulan disuguhi tugas dari kampusnya. Ini berarti Fulan mesti menggunakan laptop. Di kota, terutama institusi pendidikannya, hampir semua aktifitas akademik mesti menggunakan perangkat ini.

Di sinilah soalnya, pengalaman belajar Fulan selama di desa melihat laptop hanya sekadar benda yang akrab dengan gurunya. Kini, benda itu mesti ia pakai. Mesti menjadi bagian langsung pengalaman belajarnya.

Fulan yang dari pelosok, dan teman-temannya yang berasal dari kota, bukanlah generasi yang setara. Infrastruktur pendidikan di kota jauh lebih maju dari desa. Di kota, anak-anak seusia Fulan sejak awal sudah diperkenalkan laptop. Di kelas-kelas, mereka bisa belajar sejarah dari video-video, menyatakan pikiran menggunakan slide presentasi, mengutip pernyataan dari buku elektronik, dan membuat tugas dengan aplikasi khusus.

Singkatnya, anak-anak di kota lebih kreatif dibanding anak-anak desa. Kemampuan operasional atau skill mereka bagai langit dan bumi. Kini, jika mereka masuk ke jenjang perguruan tinggi, keterampilan dan pemahaman mereka bakal menjadi modal pengembangan dalam proses belajar mengajar.

Itulah sebab, sekarang Fulan kelimpungan di hadapan benda bernama laptop. Ia menjadi demikian berjarak. Teknologi untuk kasus Fulan, justru tidak mampu mengefesienkan pekerjaannya. Fulan belum punya bekal apa-apa untuk menggunakan laptop. Ia malah lebih akrab dengan androidnya

Sepupunya yang lebih dulu mengenyam pendidikan di kota dari tadi setengah mendikte mengajarkan bagaimana cara menulis di microsoft words. Fulan bingung dengan beragam menu di atas bar. Ia belum tahu apa kegunaan semua itu.

"Tekan 'control A'". Perintah sepupu Fulan.

Fulan gagap mencari tombol dimaksud.

"Sudah? Baru 'Control C'... Setelah itu 'Control V'".

Fulan terperangah. Seketika layar laptopnya penuh tulisan. Ia senang. Itu artinya ia tidak perlu lagi berpikir panjang.