Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Ali Syariati

Eksistensialisme Ali Syariati: Tafsir Kebebasan Manusia di Era Kenormalan Baru

Tulisan ini terdiri dari lima partisi yang mendedah filsafat eksistensialisme secara umum berdasarkan pemikiran Jean Paul Sartre, dan eksistensialisme Ali Syariati yang dilihat dari filsafatnya tentang manusia. Pada dua bagian akhir, akan dipaparkan korelasi filsafat eksistensialisme dengan keadaan pandemi saat ini dengan mengajukan eksistensialisme Ali Syariati sebagai salah satu solusi alternatif bagi masyarakat untuk dapat bertindak secara optimistik tanpa melanggar konsensus-konsensus protokol kesehatan. Itu artinya, dengan eksistensialisme Ali Syariati korona bukanlah penghalang yang mesti dikhawatirkan secara fatalistik sekaligus dihadapi dengan sikap yang berlebih-lebihan. Versi rekaman esai ini dapat didengarkan di sini (1) JEAN Paul Sartre, salah satu tokoh filsafat eksistensialisme, dalam tulisannya Existensialism is Humanism , merumuskan apa itu filsafat eksistensialisme. Eksistensialisme bukan ajaran yang menganjurkan pesimisme, tidak bermutu, dan tidak be...

Agama atau "Agama"?

Ketika Ali Syariati mengomentari pengertian agama yang dinyatakan Emile Durkheim sebagai semangat kebangsaan dan kolektif masyarakat yang ditransformasikan ke dalam simbol-simbol, ritus, dan tradisi keagamaan, sosiolog abad 20 ini juga menunjukkan dua kategori agama yang sering tampil dalam sejarah masyarakat. Bahkan menurut Ali Syariati, di antaranya, dua kategori agama ini sering mengalami pertentangan dan perlawanan. Dengan kata lain, pertentangan yang sering dihadapi agama bukanlah entitas di luar dirinya sendiri, melainkan antara agama melawan agama. Sebagai seorang sosiolog, Ali Syariati meradikalkan pembagian agama berdasarkan fungsi kritik dan transformatifnya di dalam masyarakat. Artinya, sejauh fungsi normatif agama tidak memberikan kontribusi dan mendorong perubahan sosial, maka agama itu menjadi paham yang dekaden dan disfungsional. Selain itu, fungsi kritik dan transformatif dari agama, secara teoritik akan memberikan perbedaan fondasional terhadap paham-paham ya...

Ilmu atau Ideologi?

John Locke (1632-1704) Filsuf berkebangsaan Inggris Bapak liberalisme, terkenal dengan konsep Tabula Rasa-nya ILMU dan ideologi dua hal yang berbeda, walaupun keduanya bisa saling berkelindan. Ilmu ditelusuri dari fakta-faka, ilmiah, dan sifatnya mesti objektif nan bebas nilai. Sementara ideologi justru berbeda, berkebalikan sifatnya, bisa bukan atas fakta-fakta, sifatnya nonilmiah, dan bertendensi subjektif. Pengertian umum ini kadang masih diyakini ilmuwan Barat akibat konteks sejarah pemikiran yang mendasarinya. Dominannya cara pandang saintis yang merelatifkan pandangan-pandangan metafisika, sedikit banyak membuat antinomi ini masih berlaku hingga sekarang. Sebagai contoh, agama yang sebagian besar dibangun dari pandangan metafisis tidak dimungkinkan untuk dijadikan optik atas suatu soal akibat sifatnya yang tidak ilmiah. Bahkan, kecenderungan metafisika yang dimiliki agama disamakan sebagai ideologi yang alih-alih mampu dipertanggungjawabkan sebagai ilmu yang ...

Rausyanfikr atau Ilmuwan?

Rausyanfikr bukan terma yang sepenuhnya tepat disinonimkan dengan istilah free thinker, atau dalam terjemahan Inggrisnya yang disebut intellectual. Selain secara genetis dua istilah ini lahir dari alam pikir dan cara pandang yang berbeda, Dr. Ali Syariati, seorang sosiolog abad 20, menyebutkan beberapa kategori perbedaan di antara keduanya. Pertama, rausyanfikr (orang-orang yang tercerahkan) berbeda dari ilmuwan yang menemukan "kebenaran" tinimbang "kenyataan". Dalam hal ini, "kebenaran" berbeda dari "kenyataan" yang mana "kenyataan" sering kali hanyalah apa yang sering tampak dipermukaan. Sementara kebenaran adalah capaian atas sesuatu yang "digali" di dalam selimut kabut "kenyataan". Seorang rausyanfikr banyak mencurahkan pikiran-jiwanya untuk menemukan kebenaran lebih dari hanya gejala-gejala faktuil. Kedua, ilmuwan bekerja atas dasar menampakkan fakta sebagaimana adanya. Sikap etis ini membuat seora...

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...