Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label jurnalisme

rumah

Every writer has an address . Setiap penulis harus memiliki alamat. Ungkapan ini saya temukan ketika membaca Catatan Pinggir , Isaac Bahevhis Singger yang mengatakannya di sana. Atau ungkapan lain; seorang penulis pasti memiliki “rumah”. Di sana Isaac menyatakan, penulis, atau orang yang akrab dengan dunia pemikiran, pastinya memiliki suatu latar belakang, suatu lingkungan pemikiran.  Dan “rumah” kata yang ia pilih. “Rumah” biar bagaimana pun adalah penanda sebuah lingkungan. Sebuah habitus. “Rumah” adalah pengandaian dunia ideide, suatu ekosistem yang membangun gagasangagasan dengan konsisten. Suatu proses dialektis yang panjang. Di dalamnya bergerak lintasanlintasan pemikiran. Budaya dialog tumbuh berkembang.  Kritisisme jadi pengalaman bersama, hingga akhirnya menggempal suatu khas; identitas. Seorang penulis memiliki “rumah”, seorang penulis memiliki identitas. Namun, bagaimana cara identitas, sebuah “rumah” terbangun? Isaac membaca sejarah Indonesia ket...

Menulis Kembang Api

Menulis barangkali adalah pekerjaan yang berat. Dalam aktivitas itu ada situasi yang mengharuskan kita untuk membayangkan sesuatu. Di sana ada usaha untuk membangun, menyusun ataupun menata sebuah ide, gagasan. Oleh sebab itulah akhirakhir ini saya kerap kali gagal dalam usaha untuk menulis tentang sesuatu. Dan inilah faktanya; saya belakangan ini mengalami regresi dalam minat maupun menemukan gagasan. Dalam bahasa yang sering saya pakai; saya kehilangan gagasan yang mirip kembang api, kejutan percik api seperti dalam ledakan. Bagaimana saya harus menyebutnya; kejutan percik api dalam ledakan. Di mana kembang api selalu punya daya gugah, memukau dan barang tentu mengagetkan. Kembang  api, kita mafhum, selalu diawali dengan letusan dan diakhiri dengan ledakan. Kembang api, pasca ledakan pertama selalu disusul dengan ledakan yang kedua, ketiga, keempat, dan begitu seterusnya. Hingga akhirnya padam, lenggang kemudian disusul dengan sunyi. Kejutan dalam ledakan. Dan kembang...

Antara Jurnalisme dan Filsafat

Konon sikap jurnalis dan filsuf cenderung berbeda terutama memperlakukan kebenaran. Di tangan   jurnalis kebenaran menjadi pesan informatif. Bagi filsuf kebenaran diberlakukan lebih reflektif. Jurnalis sigap terhadap kenyataan, sementara seorang filsuf justru tenang di hadapan kenyataan. Seorang jurnalis, menjadikan dunia faktual sebagai titik tolak pena dan kertasnya. Sementara bagi seorang filsuf, dunia faktual tidak lebih penting dibanding dunia abstrak-teoritik sebagai dunia kerjanya. Dengan kata lain, kesigapan wartawan menjadikan kenyataan luar (fakta) sebagai sumber berita. Sedangkan dunia dalam (makna) merupakan medan “kabar” bagi pikiran reflektif seorang filsuf. Tetapi apa sesungguhnya hubungan di antara keduanya? Apa sebenarnya sumbangsih keduanya terhadap kehidupan manusia di saat seperti ini? Sikap filsuf dan seorang jurnalis boleh jadi berbeda menghadapi kebenaran. Namun ada kenyataan yang tidak bisa disanksikan: keduanya didorong hasrat yang sama unt...