![]() |
Poster Film Joker |
Komedi adalah tragedi tanpa tangis, tragedi adalah komedi tanpa tawa
DI
SUATU waktu, ia menyelinap masuk di kamar terlarang. Hanya dokter
sungguhan boleh masuk di ruangan bercat serba putih itu. Ia masuk dengan niat
tulus menciptakan lelucon. Ia tanpa segan-segan menyelinap di dalam
bangsal penderita kanker otak. Di situ ia memanfaatkan alat-alat kedokteran
seadanya sebagai perkakas humornya.
Ia
mengubah pispot kencing menjadi sepatu raksasa, busa pompa karet menjadi hidung
a la badut. Atau, pakaian dokter
memeragakan kostum badut yang melorot.
Ulahnya
itu membuat ruangan sunyi melompong menjadi riuh penuh canda tawa. Ruangan
seluruhnya berisikan anak-anak seketika berubah seperti taman bermain. Untuk
beberapa saat mereka melupakan penderitaan penyakitnya.
Badut
karakter dipilihnya demi menghibur anak-anak yang hampir semuanya berkepala
botak. Di balik tingkah lucu, walaupun peluangnya kecil, pria bertubuh gempal
ini berkeyakinan kesehatan dapat dikontrol dengan pikiran dan jiwa bahagia.
Dengan begitu banyak penyakit dengan sendirinya sembuh karena semangat tujuan
baru penderitanya.
Kisah
ini dapat Anda saksikan melalui peran Robin Williams dalam Patch Adams (1998). Aktor sekaligus
komedian ini, pandai menghidupkan sosok Adams ketika mengawali karirnya sebagai
mahasiswa kedokteran di Medical College of Virginia.
Narasi
utama Patch Adams adalah ungkapan dunia
medis yang tidak manusiawi dalam menangani pasien.
Di
film ini, Robin Williams sering bertingkah lucu. Ia kerap membuat petinggi
kampus ”kebakaran jenggot”. Adams sebagai mahasiswa sekolah kedokteran,
memiliki paradigma berbeda mengenai tata cara menangani pasien. Ia jenius
tapi juga memiliki semangat kemanusiaan yang tinggi.
Film
Patch Adams kisah nyata dari
orang bernama sama dengan judul filmnya. Di kehidupan nyata, pendekatan
kesehatan Adams banyak mengubah kebiasaan kedokteran menangani dan merawat
pasien.
Tahun
1971 bersama teman-temannya, Patch Adams mendirikan Gesundheit! Insitute, yakni
rumah sakit komunitas gratis bagi masyarakat kelas menengah ke bawah.
Yang
unik, selain dokter dan aktivitis kemanusiaan, Patch Adams adalah seorang
komedian. Setiap tahun ia mengorganisir sukarelawan berkeliling dunia
berpakaian badut membawa humor bagi anak-anak yatim, orang miskin, dan kelompok
marginal lainnya.
BADUT
memang diciptakan tidak pernah lucu.
Abad
ke-16 di Eropa, ada sosok Harlequin. Ia figur pemain peran di perkumpulan
teater Italian Commedia dell’arte.
Di atas panggung, Harlequin sering menggunakan kostum kotak-kotak, menggunakan
topeng, dan memiliki sebilah tongkat kecil.
Harlequin
bertingkah gesit, susah diatur, dan nakal. Di Abad 16, peran Harlequin dalam
komedi dianggap mewakili ”setan nakal” alih-alih dikatakan lucu.
Beralih
ke Inggris, saat pertunjukkan drama, Harlequin sering berpasangan dengan Zanni, sosok pelayan badut kecil
dengan versi lebih gila dan brutal. Zanni, karakter ”pekerja” yang mewakili
sosok tanpa aturan dan bertingkah bodoh.
Seperti
Italian Commedia delle’arte ”induk”
pertunjukkannya di Itali, drama di Inggris saat itu banyak memerankan
karakter-karakter berupa orang tua bodoh, ayah serakah, pelayan licik, si
tentara pengecut, atau dokter yang maha tahu segalanya.
Baik
dari karakter pelayan licik, sampai dokter yang sok tahu, tipe sosial mewakili
kepalsuan sifat hipokrit yang sering terjadi dalam masyarakat.
Dalam
khazanah bahasa Inggris, Shakespeare orang pertama menggunakan kata ”clown” (badut) untuk menggambarkan
karakter bodoh dan tolol dalam pertunjukkan perannya.
Karakter
badut macam demikian dalam rentang sejarah tertentu, sering berposisi sebagai
perkakas kritik. Bahkan, jauh di peradaban Mesir kuno, karakter badut seperti
juga cerita-cerita sufistik, kerap menggunakan lelucon satir untuk menguak
kebohongan kekuasaan. Hal ini ekspresi paling mungkin dan aman ketika rezim
kekuasaan sedang sadis-sadisnya.
Berbeda
dari kritik verbal, badut melayangkan kritik menggunakan gestur, mimik, dan
tingkah lucu saat menyampaikan aspirasinya.
Itu
artinya, badut tidak sekadar lelucon belaka. Ia melampui kelucuan dan rasa
humor yang sering kali lebih ”memukul” dari gaya kritik apa pun.
Badut
terkenal di abad 19 walaupun dengan versi berbeda adalah si Charlie yang
diperankan Sir Charles Spencer Chaplin. Charlie Chaplin mengembangkan versi
badut pantomim untuk menggambarkan kepelikan dunia. Lewat tertawa, humor
Chaplin mengajak penontonnya melihat dunia melalui cara berbeda.
Dari
setting masyarakat industri melalui film semisal The Modern Time dan City
Light, Chaplin menciptakan sosok Tramp untuk menunjukkan
kontradiksi-kontradiksi kemanusiaan yang ditimbulkan masyarakat industrial.
Lewat
karakter Adenoid Hynkel, Chaplin memeragakan humor gaya mengejek dalam film The Great Dictator.
Semua
yang pernah menyaksikan tahu, dari film itu, sosok sasaran Chaplin adalah Adolf
Hitler, tokoh penyulut Perang Dunia ke-2.
Humor
Chaplin, humor tanpa kata. Tapi bukan berarti tanpa ”bahasa”. Melalui peran
jenaka, bahasa humornya dapat ditangkap melalui mimik, gerak-gerik, dan
petingkahnya sebagai teks. Peragaan tanpa kata itu berhasil mengaduk sense of humor setiap penontonnya.
HASIL
penelitian di Inggris menunjukkan sangat jarang anak-anak menyukai badut.
Peragaan lucu sering ditampilkan di acara ulang tahun anak-anak itu, alih-alih
dapat menciptakan kesenangan dan rasa lucu, malah hasil riset itu menunjukkan
anak-anak akan ketakutan, cemas, dan menangis.
Dalam
jurnal New Ideas in Psichology,
Frank T. McAndrew menjelaskan hasil riset Sifat-sifat Kengerian. Kengerian,
disebutkan datang karena ambiguitas si badut. Menurut riset itu, orang sering
takut karena sulit bertindak dari apa yang tidak dikenalnya.
Ciri-ciri
fisik berupa mata besar, senyuman aneh, atau jari-jari panjang badut, bukanlah
faktor utama mengapa anak-anak menjadi takut.
Melalui
riset itu, ada pertanyaan diajukan McAndrew tentang profesi apa yang mewakili
rasa ngeri respondennya. Jawabannya mencengangkan. Badut adalah profesi paling
sering membuat orang merasa ngeri.
Rami
Nader, psikolog asal Kanada, memiliki penjelasan serupa McAndrew. Ia
memperkuat temuan McAndrew bahwa kengerian terhadap badut karena ketidakjelasan
badut itu sendiri. Riasan badut jadi sebabnya. Tiada yang mengetahui apa
karakter orang sesungguhnya di balik riasan menor dan kelucuan badut.
Hasil
penelitian McAndrew seperti demikian patut diduga karena pengaruh keberadaan
John Wayne Gacy, seorang peraga badut sekaligus pembunuh berantai. Di tahun
1970-an, ia dikenal sebagai psikopat. Ia sering menjadi badut di acara-acara
ulang tahun anak, dan telah membunuh kurang lebih 33 orang. Di mana Gacy
menguburkan korbannya? Ia mengubur mayat setiap korban di rumahnya di Chicago,
Amerika Serikat.
Imajinasi
dan memori masyarakat Amerika semakin mengerikan ketika Hollywood banyak
merilis film-film bertema badut. Bukannya menampilkan kelucuan, film-film
rilisan Holywood lebih banyak menampilkan kekejaman dan keangkeran.
Tahun
2009 dan 2017 dunia perfilman Hollywood meremake IT, film horor dengan badut Pennywise sebagai tokohnya.
Jauh
sebelum itu ada The Clown at Midnight (1998),
dan Camp Blood (1999). Clown (2014), hingga karakter
pembunuh berantai Twisty the Clown yang muncul di musim keempat serial American Horror Story (2014-2015).
Semua film ini membalikkan kelucuan dan keceriaan badut menjadi kelam dan
menakutkan.
DALAM
salah satu adegan Joker (2019)
warga kota Gotham berbondong-bondong turun ke jalan. Mereka menyeruak ke
jalan-jalan menganggap kota Gotham tidak lagi representatif menjadi
hunian idaman.
Alih-alih
aman, Gotham kota dengan tingkat kriminalitas tinggi. Lapangan pekerjaan sulit,
disparitas ekonomi melebar antara si kaya dan si miskin, transportasi publik
tidak menyenangkan, pendapatan kota menukik turun, dinamika politik perkotaan
tidak stabil, serta elit politik yang rakus kekuasaan.
Massa
aksi turun ke jalan ini memiliki kesamaan ciri. Mereka menggunakan topeng badut
sebagai olok-olok kepada pemerintah kota Gotham. Topeng badut dipilih di saat
persamaan kota sedang menghadapi teror badut yang telah membunuh tiga orang
pelajar di jalur subway bawah tanah.
Joker, adalah kisah transformatif seorang
Arthur Fleck menjelma sebagai badut pembunuh berdarah dingin. Dia adalah cerita
orang pinggiran, kesepian, tak berdaya, korban bully, dan tidak dianggap, yang sekaligus pengidap mental illnes. Arthur memilih jalan hidup ektrem
karena masyarakat yang kehilangan empati.
Joker bukan sekadar film banyak mengedepankan
anasir-anasir psikologis belaka. Poin lain film ini banyak mengetengahkan
satire atas timpangnya masyarakat, dan potongan-potongan kebijaksanaan melalui
sudut pandang Arthur Fleck.
Sebagai
pribadi kesepian tanpa ayah, Arthur hidup bersama ibunya yang sakit-sakitan.
(Melalui teori atheisme, pribadi anak dibesarkan tanpa ayah akan hidup tanpa
pegangan. Ia mudah rapuh dan terbawa situasi. Hilangnya pegangan hidup akan
membuat si anak tidak akan mudah percaya kepada anjuran-anjuran berbau agama).
Hubungan
dua manusia ini selama dalam film tidak sama sekali mencerminkan kejahatan.
Dari kaca mata keluarga, kedekatan Arthur dengan ibunya justru
memperlihatkan kedalaman kebaktian antara seorang anak kepada ibunya.
Walaupun
demikian, Todd Philps, sutradara film ini, menyimpan satu kata kunci
menjelaskan apa sebenarnya terjadi dalam keluarga kecil Arthur.
Lubang
kunci itu adalah panggilan ”Happy” untuk Arthur. Nampaknya, ”Happy” adalah
panggilan konstitutif bagi keluarga Arthur. Mereka tak pernah sama sekali
bahagia. Panggilan ”Happy” Arthur hanyalah kanal saluran atas kelamnya sejarah
hidup ibu Arthur.
Athur
bukanlah anak diinginkan. Ia anak pungut. Itulah sebab dari kecil ia
mendapatkan perlakuan buruk ibunya. Ini juga melatarbelakangi penyakit mental
Arthur yang dibawanya dari kecil.
Di
beberapa adegan sering terlihat Arthur membawa jurnal harian. Kesuraman inti
buku hariannya ini. Banyak catatan hariannya tidak sama sekali membantu
penyembuhan penyakit mentalnya. Masalah semakin runyam ketika psikiater
tempatnya berkonsultasi menyatakan akan tutup akibat pemotongan anggaran.
Bagi
seorang psikolog atau psikiater, jurnal seperti kepunyaan Athur sangat penting
melihat dunia lebih dalam simptom penyakit mental. Lebih jauh, buku catatan
penderita berkelainan mental dapat menentukan perkembangan dan
pendekatan intervensi apa yang layak bagi si penderita. Ia ibarat catatan
medis bagi dunia kedokteran.
Tapi,
ketika Arthur bertranformasi menjadi Joker, jurnal hariannya menjadi inspirasi
kejahatan. Catatan hariannya itu menjadi literasi titik balik ego Arthur Fleck.
Dalam istilah Joker, melalui catatannya, ia mengubah tragedi kemanusiaan
menjadi komedi.
Keluarga
cacat kasih sayang, karut marut norma masyarakat, tidak diterima di dunia
kerja, serta latar belakang penyakit mentalnya, sudah lebih dari cukup bagi
Arthur mentransformasikan benak dan perasaannya menjadi antitesa semua
idealitas normatif dambaan masyarakat Gotham.
Badut
adalah wajah sekaligus kepribadian sosial yang lebih mudah bagi diri Arthur.
Arthur bukanlah siapa-siapa tanpa kostum badutnya. Ia pribadi lemah dan
dilemahkan. Sementara Joker identitas baru melampaui inferioritas watak Arthur
yang simpatik dan pengasih.
Dengan
kata lain, Joker merupakan pribadi mewakili kegoncangan benak dan jiwa terdalam
Arthur. Joker adalah pintu sosialisasi Arthur menyatakan gagasan dan benaknya.
Ia
adalah produk masyarakat kota Gotham sendiri. Ia hasil internalisasi dan
kristalisasi Arthur dari kegagalan harapannya, keinginannya, perasaannya, dan
cita-citanya di hadapan sistem. Yang semua itu di luar kendali dirinya
menghendaki empati dari orang-orang di sekitarnya.
Jika
mengacu kepada teori bunuh diri sosiolog Prancis, Emile Durkheim, pilihan logis
Arthur setelah melalui kehidupan kelam adalah bunuh diri—beberapa adegan
menunjukkan gelagat ini. Tapi. Arthur ”melampaui” pilihan ini. Ia beralih dari
pribadi kalah menjadi optimis, walaupun rasa optimis yang liyan dan ganjil.
Itulah
sebab, Joker merupakan watak berbahaya. Kejahatannya tanpa motif.
Delusional, tanpa perasaan, dan tanpa rasa kasihan.
Seluruh
tayangan Joker berpijak dari kekacauan. Gotham bukanlah kota idaman. Di tataran
makro, diceritakan Gotham mengalami krisis dan dekadensi akut. Struktur dan
norma masyarakat mengalami kerapuhan. Kekacauan di tingkat makro ini melahirkan
tragedi kemanusiaan berupa masyarakat tanpa bimbingan. Serta di puncaknya,
secara diam-diam dan tanpa komando, memobilisasi ledakan emosi warga Gotham di
jalan-jalan.
Di
tengah kebrutalan itulah sosok Joker menemukan momentum kelahirannya. Bagai
seorang anak, ia lahir dari rahim anomie dan patologi masyarakat. Ini sekaligus
menandai kekacauan di tingkat mikro seperti kehancuran psikis Arthur.
Dari
kacamata ini, tidak heran Joker adalah pribadi tanpa emosi dan kognisi yang
baik. Dua fakultas ini telah malfungsi. Ia tertawa tapi menangis, atau menangis
dengan tertawa.
Nilai
kemanusiaan Joker tidak lagi relevan. Ia melihat jauh di keramaian publik, tapi di sana
tidak ada harapan dan pegangan. Ia melihat ke jantung jiwanya, lebih dahsyat
lagi, di sana kosong melompong setelah dihempas masyarakatnya.
Lalu
nilai apa yang relevan bagi Joker? Mungkin nihilisme!
Joker setidaknya memunculkan dua kesimpulan.
Pertama, kota yang salah urus akan menciptakan ”pribadi” masyarakat beringas.
Kedua, di saat bersamaan, entah bagaimana prosesnya, ketidakadilan bertemu
dengan pribadi seperti sejarah Arthur Fleck, akan melahirkan pribadi bengis,
culas, dan intoleran.
--Masalah depresi jangan dianggap enteng. Jika Anda pernah
memikirkan atau merasakan tendensi bunuh diri, mengalami krisis emosional, atau
mengenal orang-orang dalam kondisi itu, Anda disarankan menghubungi pihak yang
bisa membantu.