Si Pengintip yang Genit dan Perkasa

Assikalaibineng: Kitab Persetubuhan Bugis
Inninawa (2007)

SAYA kira cukup mudah bagi kita menunjukkan keperkasaan. Apalagi jika anda seorang polisi, maka jauh lebih gampang lagi. Cukup memajang residivis kambuhan dengan tulang kering berlubang karena lahar panas. Setelah ditangkap diintai berhari-hari menggunakan mobil kijang tanpa nomor plat, segeralah ambil gambar. Di foto itu, bakal kelihatan siapa jagoan dan siapa bajingannya.

Panorama ini lumayan intimidatif. Terutama bagi penjahat yang masih berkeliaran bebas. Coba bayangkan sebelum didiamkan di dalam sel, mesti foto bersama polisi-polisi berotot plus berambut gondrong. Saya yakin, si bajingan yang jadi bulan-bulanan nanti ini lumayan makan hati. Kecut nian perasaannya.
Sudah dihadiahi pelor panas, dijadikan objek selfie-selfie pula.
Entah semenjak kapan ada kebiasaan ini. Tapi begitulah ketika selfie jadi tren. Di tangan polisi-polisi berpenampilan preman, residivis kambuhan yang tidak punya daya apa-apa lagi ini jadi mainan sesaat. Di hadapan kamera smartphone ia jadi objek kekuasaan.

Bahkan, di ujung kamera itu untuk membenarkan kerah baju saja ia tak berdaya. Apalagi membereskan sedikit muka bonyok pasca digasak bogem polisi.
Sial betul.
Saya kira ini suatu keadaan unik ketika kejahatan diolah menjadi ajang keperkasaan.
Muhiddin M. Dahlan, lewat esai di Fajar bertarikh 16 Oktober 2019 lalu, kurang lebih menyitir kelakuan ”perkasa” Achmad Fadil Muzakki Syah, anggota DPR fraksi Nasdem, saat pelantikan. Anggota dewan ini, di hari pertamanya bertugas, bukan main, membawa dan berfoto bersama tiga istrinya sekaligus.
Esai Gus Muh menarik. Fragmen Lora Fadil menampilkan tiga istrinya mencerminkan tema besar disebutnya ”dunia ranjang”. Dunia ini kurang lebih merupakan hasil panjang kebudayaan di mana Bugis menjadi salah satu pemasoknya.
Assikalaibineng: Kitab Persetubuhan Bugis ditulis Muhlis Hadrawi terbitan Inninawa pada 2007, disebut di esainya itu, banyak memberikan perspektif adab dan ritus bersenggama dalam ”dunia ranjang” itu.
Menurut Gus Muh inti buku persenggamaan ini berusaha mendudukkan seks sebagai bagian integral ibadah.
”Apa yang Anda bayangkan? Ya, seks bagian yang inheren dengan dunia peribadatan. Seks itu sesuatu yang suci (berwudu). Ia memiliki dimensi spiritualitas. Melakukannya dengan cara yang benar sejatinya mengagungkan proses penciptaan.”
Di buku Assikalaibineng, sepenuturan Gus Muh, menjelaskan prosesi persetubuhan antara lai (lelaki) dan bineng  (perempuan) dengan tahap-tahap yang mencerminkan betapa persenggamaan mesti dilakukan dengan kelembutan dan kasih sayang.

Satu tilikan penting bisa diambil dari buku yang diurai Gus Muh di esainya berjudul Bugis dan Ranjang Indonesia itu. Keperkasaan atau kekuasaan lelaki yang lahir dari kualitas maskulin mesti disterilkan dari praktik kekerasaan. Seks betapa pun sering dipandang kegiatan profan belaka, mau tidak mau mesti dimaknai sebagai kegiatan yang setara (cinta).

Itu artinya, keperkasaan lelaki kerap muncul dalam praktik seks mesti lenyap, bukan malah sebaliknya.
Lalu, bagaimanakah melihat praktik ”kekuasaan” dalam foto Lora Fadil bersama ketiga istrinya? Keperkasaan jenis ini tidak berdiri di kaki-kaki kejahatan. Malah bisa jadi ia ditopang oleh semangat patriarkat yang mengakar kuat di benak lelaki macam Lora Fadil.
Anda bisa sepakat, Lora Fadil adalah tipikal lelaki berprestasi. Ia berhasil ”mengumpulkan” tiga perempuan di bawah satu atap rumah. Malah, ”di atas ranjang,” prestasinya lebih dahsyat lagi.
Prestasi ini persis seperti harapan ”ahli” poligami yang jadi pembicara di forum-forum berjenis ”ayo poligami” itu.
Di ranah politik, prestasinya ya itu tadi, lolos menduduki ”kursi kekuasaan” sebagai wakil rakyat.
Itu artinya, saat Lora Fadil menginjak lantai di Gedung Senayan dengan memboyong ketiga istrinya yang notabene adalah simbol kekuasaan di negeri ini, ia sedang menunjukkan satu jenis keperkasaan maskulin sekaligus.
Dengan kata lain, ia sedang mengembangkan ”ekor merak” keperkasaan menapaki dan menaklukkan dua ranjang sekali kibasan: kekuasaan politik dan seksualitas.
Dua ranjang ini dapat saling mengandaikan. Keperkasaan Lora Fadil mengandaikan barang siapa bisa ”menundukkan” tiga hati perempuan, berarti ia bisa ”merangkul” purnaragam kepentingaan politik. Atau sebaliknya, barang siapa mampu ”menegosiasikan” kekuasaan, itu sama artinya bisa memperistri banyak perempuan.
Tapi, sudahlah. Seperti Gus Muh dalam esainya, saya tidak ingin memperpanjang suasana jadi keruh.
Kiwari, keperkasaan sehari-sehari jadi ajang tanding. Bangsa Indonesia setelah mengalami 32  tahun mati suri mengalami perubahan mendasar atas nama demokrasi. Kekuasaan yang selama ini berpusat dan dikontrol oleh rezim Soeharto, terpecah-pecah, terpencar-pencar, dan terbagi-bagi, kepada siapa saja. Jika politik di masa sebelumnya hanyalah mainan elit ”di atas”, sekarang malah ia jadi konsumsi massal.
Di saat bersamaan, globalisasi abad 21 membuat dunia ibarat kawah mendidih. Kendati ada ekspresi untuk menghentikan laju zaman dengan membangun dinding perbatasan, semua itu tidak menghentikan umat manusia pecah ruah saling bercampur akibat deru deras informasi.
Itu artinya, ketika luberan informasi jadi kian merembes, setiap orang jadi kehilangan garis tepi kebudayaan, politik, dan agama.
Di kawah informasi yang mendidih itu tidak ada lagi Indonesia, Polandia, Spanyol, Amerika, Prancis dlsb.  Dengan kata lain, masyarakat global menjadi era yang sulit dielakkan.
Esai Eka Kurniawan di Jawa Pos 12 Oktober 2019 lalu cukup menarik menangkap perilaku manusia ”saling mengintip” berkat pergeseran zaman yang kian terbuka. Perilaku ”saling intip” kian banyak ditemukan melalui aktifitas maya. Kita hari demi hari makin bebas genit mengintip linimasa satu sama lain; status, hoaks, kisah, petuah, omelan, cibiran, iklan, percakapan, dan segala apa pun.
Uniknya, di kegiatan macam itu, tidak sedikit dari kita sebelum diintip tangkas memasang keperkasaan melalui layar smartphone. Tidak jauh berbeda seperti foto polisi preman itu, hanya saja tanpa muka bonyok si residivis.