Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label literasi

Menjadi Pembaca Berkesadaran

Tinimbang menulis, membaca merupakan pekerjaan purba. Umurnya hampir setua manusia. Tiada perlu tulisan jika hanya untuk memaknai sesuatu. Peristiwa alam dengan tanda angin, perubahan suhu, bunyi kicauan burung, pasang surut air laut, konstelasi bintang dlsb., ialah isyarat alamiah memulai ikhtiar pemaknaan.  Membaca tanpa disadari ialah aktivitas di luar kesadaran manusia. Seperti bernapas belaka. Membaca tiada perlu kontrol kesadaran bekerja. Dengan kata lain, membaca merupakan gejala otomatis benak manusia. Mau tidak mau, manusia pasti melakukannya. Sementara tulisan membutuhkan suatu kecakapan. Suatu kesadaran. Berbeda dengan membaca yang dekat daripada alam bawah sadar manusia, menulis mesti dikontrol, dilatih, dan dibiasakan. Di bawah kesadaran manusia, menulis bisa disebut pekerjaan yang di teknologisasi . Syahdan, membaca ialah peristiwa yang diarahkan tanpa sadar. Dilakukan dengan cara bebas, otomatis, dan polos belaka. Sementara menulis adalah aktivitas yang...

Meriwayatkan Makassar dengan Literasi Kenangan Anging Mammiri

---Catatan atas buku Anging Mammiri, Jejak Makassar Tempo Dulu;   karangan Abdul Rasyid Idris Seorang yang menulis sejarah pasti tahu,   ingatan adalah suatu yang mudah menguap. Begitu pendakuan Goenawan Mohammad di salah satu esainya di tahun 2012. Karena itulah, sejarah mesti diabadikan. Ditulis dan diriwayatkan. Mirip origami, ingatan sangat mudah dibentuk, disusun, dibelokkan, atau bahkan silap dihimpit memori yang lain.     Tapi, Abdul Rasyid Idris dalam Anging Mammiri tidak sedang menulis sejarah. Melalui literasi kenangan, Abdul Rasyid hanya sedang melahirkan saudara kembar sejarah. Sebagaimana pendakuan Alwy Rachman di pengantar buku ini, Abdul Rasyid bukan dalam kapasitas menandingi sejarah Makassar sebagai kota, melainkan berusaha melahirkan kembali suatu peristiwa subjektif di era kekinian melalui kekuatan ingatan. Ingatan, dalam Anging Mammiri memang adalah kekuatan yang sebenarnya, yang berada di balik 76 esai Abdul Rasyid Idris. Sebagaiman...

Memerdekakan Kenangan

Kota yang kita lihat memang bisa hilang, tapi sebaliknya, dalam ingatan, kenangan atas suatu kota --penduduknya, gedung-gedungnya, pasarnya, lautnya, dlsb,-- jauh lebih bertahan, dan lebih lekat sebagai suatu "sejarah" bagi generasi yang akan datang. Itulah sebabnya, literasi kenangan, entah terhadap suatu kota mesti menopang ingatan masyarakat yang mudah silap oleh kesibukan dalam lipatan waktu. Terlebih lagi, kenangan yang diliterasikan jauh lebih dahsyat dibanding "lisan   kolektif" yang hanya menjangkau jauh lebih kecil tinimbang literasi yang menghidupkan kehidupan kolektif melalui karya tulis. Kenangan ketika dia diliterasikan, berarti perlawanan pertama terhadap ingatan yang berlahan menjadi lapuk. Di tengah deru modernisme, ketika ingatan banyak diambil memori buatan mesin-mesin canggih, literasi kenangan dengan bentuk karya tulis juga berarti cara kita menghargai masa silam. Akhirnya, siapa pun bisa melupa, ingatan bisa silap, tapi siapa pun t...

Literasi, Riset serta Seni sebagai Basis dan Alternatif Gerakan, Benarkah?

Saya merasa jengkel ketika mendapati tema diskusi: “Literasi, Riset Serta Seni Sebagai Basis dan Alternatif Gerakan”. Tema diskusi ini lahir dari lingkungan akademik kampus. Percik pikiran yang lahir dari masyarakat ilmiah. Apa yang salah dari tema tersebut? Alasannya sederhana: menempatkan literasi, riset, dan seni sebagai alternatif gerakan! Padahal, tidak ada satupun lingkungan ilmiah yang tidak bekerja tanpa mendasarkan literasi dan riset, juga seni sebagai basis fundamentalnya. Dengan kata lain, menulis, memperkaya pustaka, meneliti, dan bergerak dalam seni adalah bukan gerakan alternatif. Dia sebenar-benarnya pekerjaan ilmiah yang harus diutamakan. Artinya ada persepsi yang salah. Atau mungkin tradisi aktivisme selama ini yang melenceng dari “khittahnya”. Menempatkan literasi, riset dan seni sebagai subordinat dalam aktivisme kampus, adalah soal serius. Apalagi jika itu dianggap biasa, maka soal ini jauh lebih serius. Tradisi akademik dan aktivisme kampus sejatinya meru...

Menulis Pahlawan

Mesti dipahami menulis itu bukan tindakan heroik. Atau suatu usaha untuk menunjukan sikap kepahlawanan. Pahlawan atau hero, memang penokohan yang dicitrakan tanpa cela, atau kesalahan. Dengan begitu pahlawan adalah sosok ideal yang mengatasi segala kecacatan. Dalam segala kisah heroik, pahlawan kadang merumuskan dirinya sebagai sosok yang mengatasi masalah dengan cara "sekali pukul", sebab itulah hero selalu dielu-elukan. Selalu dibangga-b anggakan. Menulis, akibat bukan tindakan heroik, maka dia juga bukan tindakan "sekali pukul". Menulis itu berbeda, dia berproses, dilatih, dan dilatih. Karena itulah wajar jika tidak ada tulisan yang "lengkap", "utuh", dan "universal". Menulis dengan itu adalah tindakan merevisi ide, dan menyusun gagasan. Lagi, lagi, dan lagi. Atas semua itu, selalu ada tulisan pertama, tulisan kedua, tulisan ketiga, dan begitu seterusnya, hingga sedikit demi sedikit otot kepenulisan terbentuk secara ala...

Literasi Kenangan Melawan Pusara Waktu

--- terinspirasi dari gagasan Alwy Rachman dalam Anging Mammiri karya  Abdul Rasyid Idris. Bagi penyair, kenangan memudahkan “pekerjaan” kesusastraannya menjadi lebih dinamik. Bahkan kenangan menjadi senyawa aktif untuk menghidupkan bahasa. Penyair, dan pekerjaan sejenisnya adalah orang-orang yang teguh meriwayatkan kenangan sebagai bagian dari kehidupan eksistensialnya. Masa sekarang kenangan mesti direbut dari “memori buatan” alat-alat canggih, semisal gadget. Agar kenangan dapat terus mengabadi, maka tiada jalan lain dengan mengangkatnya sebagai literasi kenangan. Juga, musuh abadi kenangan kadang muncul menjadi berupa sosok-sosok iliterasi. Sosok-sosok iliterasi adalah siapa pun yang hari ini selalu antipati terhadap segala upaya literasi agar dapat terus bergerak dan bekerja sebagaimana fitrahnya. Sosok iliterasi yang paling nyata di era sekarang, selain teknologi memori buatan adalah negara. Kadang negara menjadi tokoh antagonis untuk memberangus ak...

Literasi Kenangan

Barangkali memang ingatan manusia itu terbatas. Sebab itulah teknologi datang. Bagi yang menjadikan media sosial sebagai kehidupan keduanya pasti mengalami; suatu pagi di suatu tempat tiba-tiba sebait penggalan "status" datang kembali, atau sebuah gambar yang benar-benar sudah kita lupakan, tiba-tiba menyeruak mengintrogasi ingatan. Atas itu seketika suatu peristiwa dikenang kembali. Mungkin juga dirayakan kembali. Atau bahkan sudah tidak berarti apa-apa. Tapi, manusia memang mahluk yang selalu merindukan masa silam. Bahkan, dalam perspektif tertentu "sejarah" yang memiliki tiga bilah waktu, senantiasa memproyeksikan masa depan tanpa bisa menghapus sepenuhnya masa lalu. Itulah sebabnya, kenangan sangat penting. Di waktu sekarang, ketika masa depan begitu dipuja, kenangan adalah satu-satunya jalan agar manusia tidak lupa: siapa dirinya. Bagi penyair, kenangan bukan sebatas gejala memori yang menghubungkan ingatan dengan masa lalu, melainkan suat...

Makassar Kota Dunia, Kota Literasi?

Mengimajinasikan Makassar sebagai kota dunia tidak akan cukup jika tanpa melibatkan warisan sejarah yang dimilikinya: literasi. Kota Dunia harus juga diekspresikan sebagai kota yang ramah literasi. Dengan cara membudayakan baca tulis sebagai etika kewargaan, pembangunan perpustakaan di pusat keramaian, atau kalau perlu ada juga pete-pete smart literasi, merupakah sedikit langkah untuk merealisasikan peristiwa itu. Tapi, semua itu hanya menjadi pepesan kosong jikalau pemerintah kota bukan menjadi agen terdepan dalam mewujudkan targetan semacam itu. Artinya, jika mengacu kepada geliat literasi yang mengemuka dan kian masif di kalangan anak muda di lima tahun belakangan ini, dan juga semakin banyaknya komunitas kreatif-literasi di kalangan pemuda, menjadi tanda bagi pemerintah bahwa di tengah masyarakat kota sedang terjadi transformasi sunyi menuju masyarakat yang bercorak literatif. Kepekaan terhadap masyarakat yang bercorak literatif, harus ditunjukkan pemerintah kota ...