BAJAK, di KBBI diartikan sebagai ”ambil alih
secara paksa, disertai ancaman”. Definisi ini dibubuhi konteks lanjutan berupa
”(tentang pesawat dan sebagainya)”. Contoh ini mengingatkan saya kepada ”Air
Force One” (1997), film aksi dibintangi Horrison Ford, orang yang juga sering
kita saksikan memerankan Indiana Jones, seorang ahli arkeologi pemburu
benda-benda kuno.
Tak perlu panjang lebar, ”Air Force One”
lumayan fenomenal. Film ini berkisah tentang pembajakan pesawat kepresidenan AS
oleh segerombolan teroris. Di film ini Horrison Ford berperan sebagai orang
nomor satu Amerika, sekaligus menjadi pahlawan penyelamat pembajakan pesawat.
Di film ini, ia berjuang sendirian. Berjibaku melumpuhkan satu per satu
pembajak secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
Terkesan hiperbola memang, seorang presiden
sebatang diri melawan gerombolan teroris bersenjata lengkap di dalam pesawat.
Tapi, begitulah Hollywood.
”Air Force One” seringkali ditayang ulang di
layar kaca. Sekaligus jadi salah satu film berkesan di benak saya.
Barangkali, semenjak film ini tayang, banyak
film bertema pembajakan dibuat Hollywood. Tidak main-main, beberapa film bahkan
berani mengambil Gedung Putih–titik paling ketat penjagaannya di
AS–sebagai tempat paling sering dibajak–pendekatan yang belum mampu
diadaptasikan sineas tanah air.
Terlepas dari itu, perlu dicermati mengapa
konteks kata ”bajak” KBBI mengambil contoh peristiwa ambil alih paksa pesawat,
bukan yang lain. Mengapa bukan kapal laut, kereta api, atau bahkan sebuah bus?
Mungkin memang, peristiwa fiksi semacam ”Air
Force One” sering kali ditemui di dunia nyata. Di negara-negara dengan penerbangan
padat berskala internasional, pembajakan pesawat sering terjadi. Terakhir
memori dunia mengacu peristiwa 9/11 kejadian pengeboman gedung kembar WTC yang
diliputi pro dan kontra itu.
Itulah sebab, konteks seringkali jadi latar
belakang arti suatu kata. Dengan kata lain, suatu peristiwa sekaligus berfungsi
membuat kata jadi terang.
Tapi, walaupun begitu, definisi paten dan
demikian normatif, jadi tidak efektif. Terutama bagi kasus-kasus di luar
kerangka definisi baku.
Pembajakan, kata kerja dari ”bajak”, dan
”pembajak” sebagai pelaku, hanya disebutkan diikuti konteks dalam dunia
penerbangan. Tiada faktor lain yang membuka peluang konteks lain dapat muncul.
Di KBBI, konteks lain itu justru ditulis hanya sebatas ”(…dan sebagainya)”.
Saya kira inilah soalnya.
Di Yogyakarta pembajakan tidak terjadi dalam dunia penerbangan. Malah, ia
terjadi dalam semesta suci ilmu pengetahuan. Dalam dunia berisi para pekerja
buku berupa penulis, editor, proof reader, lay outer, desainer, percetakan, sampai pedagang
buku. Suatu konteks yang tidak dicontohkan dalam KBBI saat ini.
Sekarang, menurut pengakuan Muhidin M. Dahlan
dalam bincang-bincang Makassar Melawan Pembajakan Buku di Kopisentris (16/10),
sudah sejak setahun lalu pekerja buku di Yogyakarta bergerak melawan
mafia-mafia pembajak buku. Di Shopping Center, pusat penjualan buku di
Yogyakarta, hampir semuanya menjajakan, dalam istilah Gus Muh, buku-buku repro.
”Bahkan, sebelum buku cetakan ori beredar,
lebih dulu buku bajakannya terpampang di etalase-etalase toko buku di
Shopping.”
Pendakuan Gus Muh, sapaan akrab Muhidin M.
Dahlan ini mencengangkan. Terutama bagi yang pertama kali mendengarnya. Apalagi
tambah Gus Muh, penerbit macam Basabasi sampai menarik ribuan bukunya dari
toko-toko buku di Pasar Shopping.
”Pembajak itu menghadang di tahap akhir.
Mereka memotong mata rantai proses percetakan buku.”
Gus Muh memberikan gambaran ada 15 tahap
sebuah buku bisa sampai dinikmati pembaca. Dimulai dari proses kreatif penulis
sampai di percetakan, semuanya menjalani proses panjang memakan waktu dan
tenaga tidak sedikit.
Semua proses itu bahkan bisa disebut proses
yang ”berdarah-darah.”
Saya kira, metafor yang ”berdarah-darah” ini
tidak sekadar kiasan. Ia memang harfiah. Pekerja buku bahkan bisa sampai
diserang penyakit lantaran bekerja rodi mengawal satu naskah buku betul-betul
sempurna sampai bisa dinikmati pembaca.
Lalu apa soal dari pembajakan buku,
sebenarnya? Bukankah buku bajakan jadi solusi bagi mahasiswa berkantong kere,
misalnya? Bukankah buku bajakan jadi medium percepatan dialektika pengetahuan,
tinimbang buku asli yang masih lama naik cetak? Bukankah buku bajakan jadi
alternatif sebaran ilmu pengetahuan jadi jauh lebih luas? Bukankah semua itu
merupakan dalil melawan sistem distribusi ilmu pengetahuan yang semakin hari
tidak berpihak kepada pembaca kelas bawah?
Buku bajakan bukan soal ”murah-atau tidak”,
bukan soal memperluas akses buku-buku, bukan juga mengenai percepatan sebaran
ilmu pengetahuan. Apalagi soal alasan melawan sistem yang tidak memihak. Malah,
dalih semua ini secara kontradiktif membunuh sendiri argumentasinya.
Bagaimana mungkin buku dapat lebih murah jika
di pasaran buku repro malah merusak konsensus pasar. Mereka murah karena tidak
sama sekali mengeluarkan royalti bagi pekerja buku yang berjibaku menset
seluruh tetek bengek mulai dari ide penulis sampai biaya produksi percetakan.
Bagaimana mungkin dikatakan percepatan ilmu pengetahuan jika perputaran buku
penerbit berhenti di gudang-gudang hanya karena buku-buku repro merampas tempat
di etalase toko-toko buku?
Bagaimana bisa ini disebut melawan sistem
distribusi bisnis perbukuan mahal, sedangkan di belakang tindakan pembajakan
itu sendiri bersembunyi taipan-taipan buku repro. Di Yogya, taipan buku bajakan
disebut Gus Muh sudah sampai bisa berkali-kali umrah dari keuntungan membajak
buku-buku.
Ada satu alasan dikemukakan Gus Muh, yang saya
kira, jauh lebih sederhana dari sejumlah alasan mengapa pembajakan buku mesti
dihentikan: hak cipta.
Para pembajak buku kasadnya adalah para
pencuri. Masih lebih lunak pengertian bajak diberikan KBBI. Di KBBI disebutkan
pembajakan jika ada unsur terang-terangan disertai pemaksaan. Pembajak mengapa
demikian jahat karena menggunakan pemaksaan, perampasan, bahkan menyertakan kekerasan
sebagai cara mengambil alih.
Tapi, pembajak buku bukan saja jahat,
malah itu tindakan bejat sekaligus bangsat. Pembajakan dilakukan tanpa
sepengetahuan pihak penulis dan penerbit. Bahkan ia dilakukan tanpa ada unsur
paksaan.
Berbeda dari sebelumnya, pembajakan buku-buku
di Yogya sudah dilakukan terang-terangan dan massal. Ia tidak lagi dilakukan
dan diedarkan sembunyi-sembunyi. Kini kebejatan itu bahkan dibenarkan oleh
pembeli buku repro dengan dalih yang sudah dikemukakan di atas.
Di sisi lain, pembajakan buku sudah
memanfaatkan kemajuan teknologi percetakan. Soesilo Toer di forum yang sama
mengemukakan ada hubungan mengapa pembajakan begitu massif. Ia mengatakan jika
saja mesin-mesin percetakan tidak seperti sekarang, pembajakan buku juga akan
memiliki jalan cerita berbeda.
Di Makassar, temuan-temuan sederhana mengenai
pemanfaatan mesin percetakan mengindikasikan sudah ada perencanaan
sebagaimana pembajakan di Yogya. Berdasarkan amatan sederhana selama ini,
besarnya pangsa pasar buku repro di Makassar jadi sebab utama mengapa sudah ada
pihak yang ingin mengadaptasikan percetakan repro di Makassar.
Jalan cerita ini dimulai dari kampus sebagai
arena buku repro dipasarkan. Kampus secara tidak langsung menjadi medium
pembajakan menjadi langgeng. Ada satu dua kasus bagi mahasiswa-mahasiswa
Makassar yang menyeberang ke Yogyakarta demi menempuh pendidikan lanjutan,
menjadi ”agen-agen” penyalur buku repro ke beberapa toko-toko buku di Makassar.
Dari proses di atas-lah ide mengenai
”memiliki mesin cetak sendiri” timbul di benak sebagian mahasiswa
Makassar.
Tapi, terlepas dari itu, perkataan Soesilo
Toer masih bisa ditepis selama tidak ada keinginan pasar yang lebih menyukai
buku repro. Artinya, selama edukasi berkelanjutan mengenai pemberhentian
pembajakan, terutama bagi percetakan liar, terus digalakkan, dapat menghentikan
laju produksi buku-buku bajakan.
Dengan kata lain, mesin hanyalah mesin jika
tidak ada peluang niat jahat pelaku pembajakan.
Di Yogya, dalam suatu obrolan bersama Gus Muh
di Paradigma Ilmu, perlawanan atas pembajakan buku sudah sampai ke pihak
kepolisian. 12 penerbit yang tergabung dalam Konsorsium Penerbit Yogya,
berdasarkan perkataan Gus Muh ikut menggandeng 15 pengacara untuk
memperkuat gerakan perlawanan pembajakan buku.
Ketika melihat alur perjalana buku-buku repro,
kedudukan Makassar menjadi kota ”penadah” dari hulunya yakni di Yoyakarta. Itu
artinya, berbeda dari Yogyakarta, bagi Makassar, sasaran perlawanan terhadap
buku repro ditujukan kepada pihak pembaca, perpustakaan komunitas, kampus, toko
buku, dan pihak lain yang berposisi di sisi hilir penikmat buku repro.
Soesilo Toer, yang datang ikut mendukung
deklarasi Makassar melawan pembajakan buku, bahkan memberikan pernyataan keras.
Di forum yang diinisiasi Toko Buku Intuisi bekerja sama dengan Dialektika
Warung Buku dan Paradigma Grup, defenisi pembajakan dengan sekali pukul ia katakan
sebagai benalu.
”Pembajak buku itu benalu. Ia hidup dari
tenaga dan pikiran orang lain.”
--Telah tayang di Kalaliterasi, 18 Oktober 2019