![]() |
Eka Kurniawan
Pengarang terkemuka Indonesia saat ini Buku fenomenalnya: Cantik itu Luka |
Bung, toilet Bung!
Di
film-film hollywood berlatar kehidupan gangsters, toilet pubs atau diskotik
digambarkan urakan. Alih-alih nyaman, toilet versi kehidupan malam Amerika penuh
coretan gravity, ungkapan-ungkapan cabul, sampah kondom, sisa muntahan, bekas
kencing dan—jika film bisa menghidupkan indera penciuman—sudah tentu bau.
Di
situ, toilet diberlakukan semena-mena tanpa norma. Dia jadi ”panggung” pelampiasan
hasrat tersembunyi manusia.
Tentu
kehidupan ”belakang” demikian berbeda dari keberadaan toilet di lingkungan
elit. Fungsi dan ornamen toilet di lingkungan berada malah jadi representasi
paradigma estetis. Bahkan, toilet umum di negara-negara maju dikreasikan dengan
pendekatan wacana tertentu: ada yang ramah anak, ramah lingkungan, sampai
dibikin mirip dunia galaxi.
Semena-mena
atau tidak perlakuan atas toilet, dikatakan World Toilet Organization sebagai
cermin kebudayaan bangsa. A nation
without clean toilet is a nation without culture, begitu bunyi slogannya.
Toilet,
di panggung sastra diangkat Eka Kurniawan dalam kumcernya Corat-Coret di Toilet. Dengan judul sama, cerpennya ini ciamik menangkap
gelagat perlawanan kaum muda terhadap
orde baru. Ibarat dinding media sosial masa kini, toilet menjadi wahana ”diskursif”.
Coretan komentar saling menyambung mempertemukan kritik, harapan, masukan
orang-orang berbeda.
Jika
mengamati konteks cerpen Eka, toilet di waktu itu ibarat ”medan publik” bebas
dan tanpa sensor. Mengingat kritik di masa orde baru begitu dibatasi, dan
bahkan dibungkam, toilet malah jadi saluran alternatif menyampaikan keluh kesah
yang tidak didengarkan kekuasaan.
Dengan
kata lain, toilet di waktu itu, seperti fungsi toilet di film gangsters
hollywood di atas, menjadi ”kebudayaan” tersembunyi yang diredam, disensor, dan
sering disembunyikan dari pantauan banyak orang.
Seandainya
di masa itu kita ingin melihat pikiran paling jujur dan langsung masyarakat
akar rumput, tengoklah ruang tersembunyi seperti toilet. Digambarkan Eka
Kurniawan, wahana demokrasi tidak ditemukan di gedung parlemen wakil rakyat. Ia
malah terletak jauh di sudut ”kamar belakang”, tempat masyarakat ”membuka”
kemaluannya.
Nampaknya,
itu artinya toilet sering menjadi tempat aman melakukan hal-hal di luar adat
umum. Terutama ketika kekuasaan demikain koersif dan mendalam mengatur seluruh dimensi
masyarakat.
Bukan
saja itu, dalam tingkatan tertentu, kebudayan sosial politik demikian mengikat
dan mengekang, toilet menjadi ruang ”tanpa nilai” perilaku katarsis peradaban.
Kiwari,
perilaku toilet tidak saja disembunyikan. Ia justru dipaparkan gamblang di hadapan
kita. Kritik ala toilet gambaran Eka bermigrasi ke dinding-dinding dunia maya.
Kebebasan toilet diilustrasikan dinyatakan diam-diam dan tersembunyi, kini
banyak ditemukan berlalu lintas di lini
masa.
Dengan
kata lain, kebebasan toilet melalui lini masa dunia maya, menjadi setara di dinding
media sosial.
Di
dinding media sosial, sahut menyahut status-komentar dinyatakan bebas tanpa
palang pintu. Uniknya, ”kesadaran” kerap hilang dalam toilet, juga muncul dalam
dunia maya. Dengan kata lain bahasa tanpa kesadaran kerap mengemuka dan menjadi
tindakan komunikasi di dunia maya.
Bahasa
toilet karena saking bebas, bahasa tanpa basis nilai dan embel-embel normatif.
Ia di saat bersamaan melucuti kepekaan komunikasi. Sebagaimana perilaku toilet,
bahasa toilet kerap memperlihatkan bahasa telanjang, urakan, dan tanpa malu.
Seperti
slogan World Toilet Organization, perilaku toilet atau bahasa toilet diam-diam
wujud kebudayaan suatu komunitas. Bahkan, dia diproduksi besar-besaran melalui
forum-forum akbar, majelis-majelis, diskusi-diskusi, atau percakapan kamar
tertutup.
Di
tempat-tempat itu perilaku toilet berupa ”telanjang”, ”tersembunyi”, ”gelap”, dan,
”pesing”, dialihbahasakan menjadi wacana ilmu pengetahuan, agama, dan politik.
Bahasa
telanjang toilet, ungkapan interaksi yang melucuti ”harga diri” lawan bicara, ”menyembunyikan”
kebenaran dengan praktik ”gelap” informasi, dan dengan tujuan menyebarkan ”bau
pesing” seseorang di ruang publik. Walaupun kerap bahasa toilet meminjam wacana
ilmu pengetahuan, politik, dan bahkan agama, tetap saja ia menampakkan dari
mana sebenarnya datang bahasa toilet.
Itu
sebab, saban hari kerap ditemukan orang-orang berperilaku toilet bersikap arogan
seolah-olah sedang berdiri dan bersuara di atas ”mimbar” kebenaran, yang sesungguhnya letak
kakinya sedang berpijak dan tergenang di atas lantai toilet.