Kami tersentak kaget dengan penuturan Muhary Wahyu Nurba yang tidak dibayangkan sebelumnya, tentang kita kejamakan yang kehilangan banyak ruang kontemplatif di era kiwari. “Kita” saat ia berbicara dengan suaranya yang berat itu bukan saja ditujukan kepada peserta KLPI yang sudah menjadi rutin itu. Melainkan juga kepada masyarakat yang dikepung gaya hidup modern. Ya, orang-orang yang gila kerja, gila berbelanja, gila uang, gila jabatan, gila media sosial, gila politik, gila agama, dan entah gila apa lagi (Anda bisa menambahkan sesuka hati Anda di sini). Sebenarnya, apa yang disampaikan Muhary hanya mengulang apa yang sudah banyak disitir scholar ilmu-ilmu sosial. Namun, melalui konteks pembicaraannya dalam kaitannya dengan sastra, terutama puisi, membuatnya memiliki konotasi yang baru, setidaknya menurut kami. “Kita tidak akan lagi melahirkan Jalaluddin Rumi,” Ucap Muhary dalam kaitannya dengan hilangnya ruang permenungan kala ingin melahirkan syair-syair yang bernas. Kita ti...