Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label politik

Menyoal Negara Islam

Pasca pidato Jokowi dalam peresmian Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara  di Tapanuli Tengah, Sumatra Utara, tentang pemisahan politik dengan agama, akhir Maret lalu, berakibat banyak reaksi. Tiba-tiba diskursus hubungan agama dan politik, atau agama dan negara menguat kembali. Sesungguhnya perdebatan ini berakar panjang dalam sejarah Indonesia. Mulai dari memanasnya perdebatan Soekarno dengan M. Natsir, dalam sidang BPUPKI, piagam Jakarta, hingga pada sidang Majelis Konstituante pasca kemerdekaan.  Secara umum wacana relasi agama dan negara terbelah menjadi dua kubu, yakni nasionalis sekuler dengan nasionalis agama. Mengapa mesti negara Islam    Apabila menelisik asumsi-asumsi agama sebagai dasar negara, berangkat dari pengalaman historis Rasulullah ketika mendirikan negara-kota Madinah pasca hijrah. Pendasaran ini bukan saja menjadi ideal type bagi kelompok muslim yang ingin mendirikan negara agama, melainkan juga ditopang dengan sejumlah ayat-ayat y...

Histrionic Personality Disorder dan Cuitan Sang Mantan dan Demokrasi

Sebenarnya banyak hal bisa dituliskan. Bisa saja salah satunya soal pilkada di beberapa daerah di Tanah Air. Termasuk pilkada Jakarta yang banyak menyedot perhatian. Yang menarik dari pilkada Jakarta, selain karena Jakarta adalah ibu kota Indonesia sehingga apa pun yang terjadi di Jakarta bisa menjadi “meriam” atas peristiwa yang bakal terjadi di Indonesia, juga karena Jakarta menyu guhkan calon kontroversial yang sudah membuat gempar hampir semua umat muslim di Tanah Air.  Selain itu, dua kandidat lainnya juga tidak kalah penting mengapa pilkada Jakarta selalu mengisi ruang wacana masyarakat Indonesia. Keduanya adalah tokoh nasional dan atau bakal menjadi tokoh nasional. Perlu dicatat, kata tokoh di sini mengandung arti yang relatif. Tergantung dari sudut pandang apa orang melihatnya. Pasca hari pencoblosan semua tegang. Jakarta menunggu hasil siapa yang bakal terpilih. Bahkan hampir semua orang tidak berani mengambil kesimpulan siapa bakal peroleh suara terbanyak. Beberap...

Menggeledah Motif-Motif Berpikir Masyarakat Sibernetik

Berpikir, harkat manusia. Itulah sebab, berpikir menandai keunikan manusia. Tiada yang menyerupainya. Itulah juga, manusia diyakini mahluk bermartabat. Berpikir membuat harkat tegak. Bekerja meneruskan ide-idenya, manusia bermartabat. Tiada zaman seperti sekarang menempatkan harkat manusia serendah-rendahnya: era sibernetik. Selain kemajuan pencapaian kebudayaan manusia, secara paradoks, zaman sibernetik, diam-diam mensituasikan cara berpikir manusia menjadi lebih dramatik. Bagaimana itu mungkin? Pertama, era sibernetik menengarai dan menopang perubahan konfigurasi interaksi manusia. Kedua, mutakhir, era sibernetik mau tidak mau membuat jalinan komunikasi semakin kompleks dan sulit diantisipasi. Ketiga, imbasnya, motivasi berpikir ikut berubah seiring pertukaran informasi dari beragam budaya dan kebiasaan. Keempat, peralihan dunia nyata secara virtual, mengubah antara “yang nyata” dan “yang semu” tak dapat lagi dibedakan secara esensil. Akhirnya, belum pernah ad...

madah lima

Politik memang kisruh yang berkepanjangan. Dalam politik selalu mengandaikan antagonisme. Tanpa itu, politik hanya peristiwa yang hampa dan lurus tanpa kritik.  Politik dengan demikian adalah proses jalin kelindan kekuasaan yang saling tumpang tindih, menyilang, menyeberang dan sulit untuk padu. Sebab dalam politik kepentingan menjadi tujuan tanpa akhir di mana di dalamnya negoisasi dan komunikasi menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. .  Tetapi bagaimana jika politik yang penuh dengan negoisasi itu justru adalah perlintasan dialog yang tanpa katalog? Atau politik yang tanpa arah? Suatu peristiwa berkepentingan tanpa disertai perhitungan tanpa etiket. Politik  tanpa etiket adalah politik tanpa gagasan. Tak bisa dibayangkan jika politik demikian akhirnya banyak menyedot kepentingan dari kesepakatan tanpa maksud. Jika memang sedari awal tak ada bangunan yang sama untuk dinegoisasikan. Atau sedari awal memang tak ada kesepakatan yang tak ingin dibangun. Barangkali...

catatan empat

Minggu ini, perempuan, kekuasaan, dan harta menjadi tema tontonan yang menghebohkan. Bahasa rasul itu memang terjadi dan tak jauh dari penyebaran pemberitaan saat ini; penetapan tersangka calon kepala polisi RI oleh KPK dan beredarnya fotofoto panas yang mirip pimpinan KPK juga turut Putri Indonesia.  Apa lagi ini? Masalah siapa lagi ini? Tibatiba awal tahun kita dibawa kepada situasi politik yang ituitu lagi; kekisruhan yang membuat daftar panjang bagaimana penyelenggaraan pemerintahan selalu ditandai dengan intrik dan taktik. Politik memang medan yang antagonis. Bahkan politik sudah merupakan skenario yang disiapkan ceritanya sedari awal; siapa sutradaranya, pemeran utamanya, tokoh kuncinya, kapan cerita harus didramatisir, kapan penjahatnya kalah dan menang, dsb. Politik dengan skenario yang sudah diatur memang adalah panggung yang awalnya minim dialog; mulanya disiapkan diamdiam, kemudian, riuh rendah suara mulai mengisi dialog para pemerannya hingga akhir cerita....

Perang

Saya sulit membayangkan hidup di tengahtengah masa perang; bangunanbangunan yang runtuh, jalan yang lenggang, desing peluru ketika melubangi tembok, bombom dengan kekuatan luluh lantah, jerit tangis dari tubuh saat dirangsek martil berkekuatan dahsyat. Serta harihari panjang tanpa kepastian. Perang di manapun peristiwanya, pasti melibatkan dua pihak yang bersitegang. Di manapun kejadiannya pasti menyisihkan yang lemah, pasti menundukkan yang kerdil. Dalam perang sudah tentu ada pihak yang menanggung derita. Dalam perang yang menanggung derita selalu ada dominasi, di sana apa yang hendak ditundukkan tahu bahwa kemerdekaan adalah perkara yang tidak bisa datang sendiri, justru di saat peranglah, arti penting kemerdekaan punya maksud perebutan. Di Palestin, perebutan itu sudah berumur panjang. Hingga akhirnya perebutan itu berbuah sengketa. Dan apa yang paling memilukan sekaligus membuat rasa marah dari sebuah sengketa, jika perebutan lahir dari sebuah agama. Dari itu, yang ada ...

politik identitas

Masalah identitas dalam berkehidupan berbangsa akhirakhir  ini m enjadi hal yang problematis. Hal ini semakin rumit ketika ruang sosial menjadi medan terbuka dari segala bentuk intervensi. Semenjak ruang kehidupan dipenuhi dengan keragaman kelompok, maka identitas sebagai modal sosial bisa menjadi nilai yang bermuatan ganda. Dalam hal ini, kaitannya dengan upaya konstruksi sosial, identitas bisa mempersatukan perpecahan kelompok atau sebaliknya, justru membelah persatuan masyarakat, apalagi dalam kaitannya dengan era globalisasi saat ini. Politik identitas Bice Maiguasha, seorang doktor ilmu politik, pernah menuliskan bahwa globalisasi sebagai ciri kemajuan memiliki dampak terhadap mengemukanya kelompokkelompok di bawah negara yang massif dalam menunjukkan aspirasi akan hal identitas politik. Hal ini dapat ditandai dengan kemunculan kelompokkelompok yang mengidentikkan diri atas ikatan etnosentris keagamaan, gerakan feminisme maupun masyarakat adat. Dalam hal pengak...

Politik

Ada asumsi tentang politik, seingat saya dari Herman Broch, bahwa politik berarti merawat komunitas. Ini artinya politik paralel dengan kehidupan kolektif, yang di dalamnya sudah pasti punya misi edukasi, kerja membangun. Juga dalam komunitas sudah tentu mensyaratkan adanya pusat. Kolektivitas berarti "kita" sebagai pusat. Dalam "kita" berarti ada peneguhan terhadap identitas, terhadap simbol, untuk dijadikan garis batas terhadap yang lain. Namun, dalam masamasa yang penuh dengan eufimisme, politik bisa bermaksud lain. Politik justru berarti mengkerdilkan pihak yang berada di seberang. Kita menjadi emoh terhadap yang lain, sementara identitas kelompok adalah sanjungan yang berdiri atas kesadaran tanpa argumentasi. Di sinilah politik berubah haluan menjadi mitos. Mitos, seperti kita tahu adalah pengetahuan yang tak punya asal usul, sejenis kesadaran yang tak memiliki basis kenyataan tetapi diyakini dan diteguhkan kebenarannya dari otoritas yang berlangsung...

Hingar Bingar Politik

Apa yang marak terjadi jika kita berada di tengah-tengah sebuah parade sirkus? Ilustrasi yang dimungkinkan untuk kita bayangkan pada situasi seperti itu adalah pemandangan tentang hewan-hewan yang mangut pada pawang, aktraksi-aktraksi ekstrim, loncatan-loncatan akrobatik, serta polah badut-badut gemuk yang mengundang tawa. Lebih dari padanya kita dibawa pada suasana yang melampaui: decak kagum penonton, kembang api yang semarak serta gemerlap hingar bingar. Sirkus adalah tontonan yang memang menghibur. Namun apa jadinya jika suasana perpolitikan selayaknya penyelenggaraan sirkus, tetapi bukannya menghibur, melainkan justru  tontonan yang sungguh membosankan.  Politik sejatinya adalah penyelenggraan kekuasaan  publik  dalam rangka untuk menetapkan tujuan dari suatu kebijakan. Dengan tujuan untuk mengikat kepentingan bersama untuk memenuhi hak-hak dari seluruh masyarakat. Dalam hal ini , selama politik dijalankan atas etika pemenuhan hak-hak publik , mak...