Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Nietzsche

Sang Manusia dan Dua Paras Jiwa

LITERASI sufisme menarasikan kesadaran manusia ibarat puncak gunung es menjulang di atas permukaan laut. Yang tampak di permukaan hanyalah keping kesadaran yang menyimpan parasnya di bawah dasar lautan. Paras tersembunyi di bawah permukaan laut itu, dalam literasi sufisme disebut sebagai jiwa. Jiwa, secara ontologis dinyatakan sebagai pangkal kaki yang menggerakkan paras kesadaran di permukaan. Itulah sebabnya, banyak pendakuan sufisme menaruh kedudukan fundamental terhadap jiwa. Ketika jiwa itu baik, baik pula paras kesadaran di permukaan. Jika jiwa itu buruk, buruk pula penampakkannya. Literasi Quranik, mengamsalkan jiwa sebagai wadah mangkuk terbalik. Di dalamnya, terpancar misykat. Misykat, wadah “ yang Ilahiat ” memancarkan asma nya. Pancaran asmanya disebut  al Qur'an merentang di sepanjang arah ke timur maupun ke barat . Barang siapa mengotori misykatnya, pancaran “ yang Ilahiat ” bakal putus dan terdistorsi. Sebaliknya, barang siapa menjaga  kebersiha...

madah tigapuluhsatu

Ludwig Nietzsche barangkali tak pernah menyangka, anaknya, yang ia persiapkan untuk menjadi seorang pendeta, suatu hari nanti akan mencipta kekalutan. Anaknya suatu hari nanti dengan niat yang mengebugebu, bersuara; tuhan telah mati. Sontak seluruh Eropa tersentak, seseorang telah membunuh tuhan. Seseorang telah membuat kalut orang beriman. Tuhan telah mati. Dalam suatu metaforanya: "kemanakah tuhan?" Ia berteriak, "kubilang kepada kalian kita sudah membunuhnya. Kamu dan saya. Semua kita adalah pembunuhnya." Nietzsche orang yang membenci moralitas budak itu, tentu tahu apa konsekuensi perkataannya. Tuhan yang telah mati berarti sama halnya menghapus iman yang mapan tanpa cacat. Tuhan yang dibunuh sama halnya membuat lubang besar dijantung keyakinan religius. Membunuh tuhan berarti meninggalkan segalanya dalam keburaman. Tak ada yang terang yang ditinggal Nietzsche selain kecacatan. Bahkan tak ada yang jelas; sebuah nihilisme. Dan dari lubang yang dit...

madah duapuluhtujuh

Suatu kota bisa jadi ruang yang begitu bising, tetapi barangkali justru asing.   Kota, sudah jadi bagian dari sebuah skema   kemajuan . Sejak suatu tempat tersentuh perencanaan pembangunan, maka di saat yang bersamaan di sana ada maksud untuk membangun keramaian. Tapi keramaian suatu kota, justru bukan dalam arti soliditas yang kolektif, melainkan justru adalah penanda betapa keterasingan adalah suatu hal yang kronik. Suatu kota memang membikin asing. Suatu kota memang tak hendak untuk membangun suatu hidup yang hening. Filsuf Jerman Martin Heidegger pernah menyitir suatu hal yang subtil; keheningan dan kesepian. Kota menurut Heidegger adalah tempat yang tak mampu mencandra keheningan. Justru di desa, tempat di mana langit menjadi ruang yang bersih dari polusi, dan tanah yang lapang dengan ilalang, adalah dunia tempat keheningan akrab ditemui. Keheningan disebutnya adalah kekuatan asli yang khas dari manusia. Sesuatu yang tak pernah mengisolasi diri manusia. ...

madah duapuluh

Layla dan Majnun Kisah cinta legendaris karangan Nizami CINTA, seperti di waktu sekarang, zaman yang sudah tercemar sanasini, tidak seperti Layla dan Majnun melihatnya; sesuatu yang menggelora, sesuatu yang hendak digambarkan bahasa tetapi seperti tak sempat diucapkan dalam kosa kata yang hanif. Juga tidak seperti bagaimana ahli suluk menggambarkan cinta sebagai jalan tanpa pamrih dan absennya ego untuk menuju yang baka. Justru cinta, untuk seperti sekarang kalau tidak ditafsirkan dalam hasrat, malah menjadi hal yang justru mengerikan; pembunuhan. Peradaban seperti yang dibilang Sigmund Freud, Psikoanalisis Austria, ibarat kekang kendali kuda yang diikat kusir. Peradaban di mata Freud tak sekalipun memberikan peluang di luar rasio dapat eksis. Tak ada lini kehidupan lolos dari rasionalitas. Manusia ditundukkan atas inisiasi rasio yang  menjadi cara kerja peradaban. Nietzsche menyebutnya, zaman yang dikerdilkan. Kebudayaan yang memuja formalisme seperti yang diingin...

Manusia

Kuasakah engkau menciptakan tuhan? ...maka diamlah wahai segala tuhan! Tapi, yang pasti engkau dapat menciptakan superman. . Memang manusia mahluk yang tak lengkap. Di balik sejarah, yang tak lengkap itu berusaha dipikirkan, untuk kemudian dirumuskan pada satu pengertian yang umum dan ajeg. Sejarah memang wadah yang bisa kita dalami, di sana manusia selalu disusun dalam pengertian yang esensial; mahluk yang rasional, mahluk sprituil, mahluk kerja dsb. Tentang manusia, dalam sejarah, apa yang telah dirumuskan untuk menambal yang kurang itu memang hanya menyisahkan tekateki, lubang yang tak pernah tertutupi. Manusia bisa saja menciptakan segala hal. Dengan demikian manusia meneguhkan eksistensinya. Eksistensi yang tak utuh itu dalam sistem politik, kebebasan individu dan kolektif dijabarkan, bagaimana kekuasaan harus diterjemahkan untuk kebahagiaan banyak orang. Untuk itu, juga mekanisme ekonomi dirancang, ikhtiar untuk membuat sistem yang egaliter. Demikian budaya dan hukum t...