Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Sigmund Freud

Sosiologi Emosi; Suatu Tilikan Sederhana

Di masa sekarang, emosi begitu gampang diekspresikan melalui pelbagai cara. Salah satu misal paling mutakhir, emosi di era digital sudah lazim diekspresikan melalui beragam emoticon. Dalam interaksi dua arah melalui gawai, dua orang bisa menyampaikan emosinya hanya dengan memilih beragam emoticon yang mewakili dirinya. Emosi, dengan begitu bukan saja sekadar fenomena kejiwaan. Emosi, juga adalah ekspresi kebudayaan. Paul Ekman, seorang scholar ilmu jiwa cum antropolog setelah menyelidiki emosi di beberapa negara, menyimpulkan secara global manusia sejatinya memiliki enam paras emosi dasar: kemarahan, kejengkelan, ketakutan, kebahagiaan, kesedihan, dan keterkejutan. Tidak semata-mata manusia adalah animal rationale, manusia juga disebut homini affectio: mahluk emosional. Itulah sebabnya, Paul Ekman juga menyatakan keenam emosi dasar ini, merupakan formasi emosi yang sudah tertanam secara biologis dalam gen manusia. Jika enam emosi ini disepadankan dalam dua bahasa jiw...

Sang Manusia dan Dua Paras Jiwa

LITERASI sufisme menarasikan kesadaran manusia ibarat puncak gunung es menjulang di atas permukaan laut. Yang tampak di permukaan hanyalah keping kesadaran yang menyimpan parasnya di bawah dasar lautan. Paras tersembunyi di bawah permukaan laut itu, dalam literasi sufisme disebut sebagai jiwa. Jiwa, secara ontologis dinyatakan sebagai pangkal kaki yang menggerakkan paras kesadaran di permukaan. Itulah sebabnya, banyak pendakuan sufisme menaruh kedudukan fundamental terhadap jiwa. Ketika jiwa itu baik, baik pula paras kesadaran di permukaan. Jika jiwa itu buruk, buruk pula penampakkannya. Literasi Quranik, mengamsalkan jiwa sebagai wadah mangkuk terbalik. Di dalamnya, terpancar misykat. Misykat, wadah “ yang Ilahiat ” memancarkan asma nya. Pancaran asmanya disebut  al Qur'an merentang di sepanjang arah ke timur maupun ke barat . Barang siapa mengotori misykatnya, pancaran “ yang Ilahiat ” bakal putus dan terdistorsi. Sebaliknya, barang siapa menjaga  kebersiha...

Chester Bennington dan Beberapa Masalah di Sekitar Kita

Bila mereka berkata Siapa yang peduli bila satu dari banyak cahaya redup? Di langit sejuta bintang Berkedip, berkedip Siapa yang peduli kapan waktu seseorang habis? Bila sesaat itulah kita Kita lebih cepat, lebih cepat Sipa yang peduli bila satu dari banyak cahaya redup?* Dia mati. Kamis, 20 Juli lalu. Tewas di rumah pribadinya, di Palos Verdes Estates Los Angeles. Tak lama setelah itu beritanya viral. Banyak penggemarnya dibuat mendung matanya. Siapa menduga dia mati dengan cara yang tragis: gantung diri. Kabarnya dia tertekan. Ingatan kelam masa kecilnya menyeruak dalam benak. Tumbuh dan berkembang biak bagai kanker. Trauma itu disebutnya begitu menjijikkan. Banyak laporan menyebut ia depresi. Barangkali ia kalah, atau lelah, karena itu ia bunuh diri. Namun, siapa yang tahu pasti? Yang pasti Chester Bennington, vokalis Linkin Park itu, satu dari banyak orang yang mati bunuh diri di tengah keadaan mayarakat yang dikepung ketidakacuhan. Tapi, depresi mem...

Rasa Lapar dan Agresivitas Manusia

Tahun 1950, 32 orang menjadi subjek penelitian tentang pengaruh rasa lapar. Eksperimen ini dilakukan selama 6 bulan oleh Keys dan kawan-kawannya. Tujuannya demi melihat kepribadian seseorang ketika rasa lapar menghinggapi. Selama masa pengamatan, ternyata orang-orang yang dibiarkan mengalami rasa lapar banyak mengalami perubahan kepribadian berupa mudah gusar, sukar berbaur, dan tidak bisa berkonsentrasi.(1) Yang mengejutkan, disebutkan selama mendekati akhir penelitian, perbincangan subjek banyak didominasi oleh makanan dari pada tema pembicaraan lainnya. Bahkan, di dalam mimpi, makanan menjadi bunga-bunga tidur yang paling dominan. Memang kebutuhan biologis salah satu faktor yang paling banyak mendominasi perilaku manusia. Sama halnya kebutuhan terhadap seks dan lainnya, manusia banyak didorong kebutuhan biologisnya untuk menunjang aktivitasnya. Kesimpulan sederhana yang bisa ditarik dari eksperimen di atas, manusia begitu gampang mengalami perubahan kepribadian jika di...

Neurosis dan Praktik Berbahasa

F. Budi Hardiman.  Penulis buku Seni Memahami.  Pengajar Filsafat Setelah membaca sedikit tulisan Menuju Masyarakat Komunikatif-nya F. Budi Hardiman, terbersit dalam benak saya, tanpa dihubungkan kekuatan di luar kesadaran manusia, semua apa yang kita omongkan, ataupun yang sering dituliskan (juga yang sering diperbuat) bisa jadi merupakan hasil dari “sensor diri”. Maksudnya, jangan-jangan hampir semua praktik berbahasa dan tindakan kita merupakan imbas dari penyakit yang tidak kita duga-duga: neurosis. Pengertian ini memang agak melenceng dari yang dibilangkan F. Budi Hardiman mengenai konsep “sensor”, dan di mana konsep itu diberlakukan. Konsep sensor itu sendiri sebenarnya diambil dari pemikiran Sigmund Freud dalam menerangkan pengalaman mimpi yang dialami pengidap neurosis. Budi Hardiman menjelaskan, mimpi yang kerap menjadi “dunia pelarian” bagi harapan-harapan yang tidak terealisasi di alam praksis, selalu terbentuk dan terdistorsi oleh mekanisme ...