Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label iman

Agora a la Cafe Dialektika

Singkat saja. Malam ini saya menyambangi Cafe Dialektika. Lumayan jauh saya ke sini, kirakira hampir sepuluh kilo lebih dari tempat saya mangkal. Aktifitas saya belakangan ini hanya berputarputar di sekitar kampus UNM, tapi lantaran ada bedah film, maka saya kemari. Cafe Dialektika sepengetahuan saya digagas oleh anakanak muda yang senang menghabiskan waktu dengan berdiskusi. Mereka kalau saya tidak salah duga adalah mahasiswamahasiswa   S timik   D ipa dan   U nhas yang berkomitmen untuk menghadirkan wadah diskusi yang nyaman. Makanya sudah sering saya melihat kegiatankegiatan mereka yang diupload di dunia maya. Bagi saya, merekamereka ini memiliki kepekaan untuk menjemput kebutuhan intelektualisme anakanak muda dengan menyediakan tempat yang mereka sediakan. Beberapa waktu silam, ketika pertama kali saya kemari, salah satu orang menyebut bahwa tempat ini dirancang tidak sebagaimana cafe umumnya. Perlu diingat kata kafe hanya mengacu kepada beberapa meja kursi...

madah tigapuluhsembilan

“Kehidupan adalah yang mestinya bukan suatu kemalangan dan jalan menuju ketiadaan adalah satusatunya yang baik dalam kehidupan”    Arthur Schopenhauer. Jika ada anak dalam usia muda yang sudah berhenti berdoa,  Leo Tolstoy-lah orangnya. Di usia 16, doktrin religius telah mengecewakannya. Doa ia tinggalkan, puasa tak dilakukannya, juga gereja tak lagi ia kunjungi. Sampai akhirnya di usia 18, keyakinan kristen ortodoks jadi sesuatu  yang ia sebut "doktrin religius yang tak berperan dalam kehidupan." Di usia 18, Tolstoy praktis dalam arti tertentu, menjadi atheis. "Pada usia 18 tahun, aku tak lagi mempercayai apapun yang pernah diajarkan." Tolstoy barangkali gamang. Di usia mudanya, ia membaca filsafat Yunani, pemikiran Voltaire, Schopenhauer, dan juga Kant. Untuk nama terakhir ini, bisa kita katakan adalah filsuf yang memang tak menolak dan tak mengimani tuhan: agnostik. Dan Tolstoy sepertinya juga demikian, "apa yang bisa kupercayai tak bisa kukatak...

Di Akhir Desember

Bagaimana kita harus memahami perbedaan? Utamanya jika diperhadapkan dengan akhir Desember. Seperti biasa, menjelang 25 Desember, hanya soal ucapan bisa mengundang perdebatan soal iman . Dengan itu kita perlu kembali mengartikan apa maksud kehidupan beragama. Dan ini tak begitu mudah, sebab agama bagi kita, bagi sebagian orang, adalah urusan yang menyertakan “prasangka” Prasangka dalam praktik bermasyarakat akhirakhir ini memang tumbuh subur. Persis jamur yang tumbuh di musim penghujan; bermekaran, menelusup masuk tanpa tedeng alingaling. Malangnya, prasangka dengan artinya kecurigaan justru akrab dalam kehidupan kita. Kecurigaan, juga dalam sak wasangka adalah kerukunan yang tanpa moral. Jauh di ibu kota, Jakarta, sebagai contoh, agama menjadi komoditi pengangkut prasangka. Politik direduksi sampai hanya bermakna “suka tidak suka” dan ini artinya kemunduran; kita kehilangan tatanan yang generatif mengikat atas dasar “pengetahuan normatif” Politik dengan maksud demikian men...