Langsung ke konten utama

Postingan

Tobat

Semalam Fulan bertanya: bagaimana niat salat tobat? Belum lama ia telaten menulis ulang di buku kecil catatannya. Setelah pulang dari masjid, ia duduk memunggungi daun pintu. Tepekur di atas sofa merekam apa pun. Apa saja ia temukan di mesin pencari. Kata-kata inspirasi, petuah-petuah moral, bacaan doa-doa salat, isi ceramah ustad Abdul Somad.... ....termasuk niat salat Tahajut. ”Niat itu sudah cukup dalam hati”. Saya menimpali. ”Ah...masa?” Ia sanksi. ”Kalau begitu silakan cari di google. Di sana banyak kok.” “Pokoknya, saya sudah memutuskan. Saya ingin tobat. Saya ingin berperilaku yang baik-baik saja.” ”Saya ingin salat tobat!!” Tanpa ada bertanya ia menyatakan sikap. Demikianlah. Tingkah polah Fulan bin Fulan, sebut saja begitu. Membuat saya menarik diri dari perbincangan tak terduga itu. Berusaha berpikir. Merenung. Kadang saya sulit menemukan jalan tengah. Petitih bilang: ” be your self ” jadilah dirimu sendiri. Al Qur'an mengingatka...

Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Peresensi

BELAKANGAN saya mulai menyadari keinginan menjadi peresensi buku. Walaupun niat ini akal-akalan saja, memang. Ya mau bagaimana lagi. Semangat membaca saya angin-anginan. Ini cara bulus belaka agar saya membaca buku. Zaman sekarang, kita harus hidup seperti pelari maraton yang diserang kehausan. Mesti lahap menepekuri buku-buku. Coba pikirkan setiap detik bermunculan penerbit-penerbit buku. Entah legal atau liar, mayor atau indie. Dari moncong mereka kertas-kertas berubah menjadi buku-buku. Puluhan, ratusan, ribuan…. Di gawai kita, buku elekronik lintas melintas. Dunia maya perantaranya. Bergiga-giga fisik buku menjadi sekotak layar smartphone. Pindah kirim mengirim. Dari gawai satu ke gawai lain. Namun, kecepatan perkembangbiakkan buku tidak semelimpah waktu membacanya. Seolah-olah kita dikutuk Tuhan mengalami dahaga berkepanjangan. Kita dikutuk agar mampu meneguk ”mata air” pengetahuan di buku-buku yang serba berlebihan itu. Mirisnya kita dikepung beragam kesibukan. ...

10 Muharram dan Pesan Politik Pembebasan Imam Husein

Ilustrasi peristiwa Karbala KESYAHIDAN Imam Husein ibn Ali di Karbala menandai gugurnya orang terakhir Ahlul Kisa ', yakni manusia terpilih dalam peristiwa bersejarah ketika Rasulullah menyelimuti empat orang terdekatnya dengan melafalkan doa khusus. Di peristiwa itu, Rasulullah menandai siapa-siapa yang disebut Ahlul Bait nya. Orang-orang yang bakal meneruskan risalahnya dengan bersanding bersama Al Qur'an, yang barang siapa berpegang teguh kepada keduanya, maka ia bakal selamat. Kelak, peristiwa ini menandai sebab turunnya ayat 33 surah Al Ahzab: ”Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya. ” Ummu Salamah, pribadi yang juga menyaksikan kejadian itu, tidak masuk dalam naungan selimut surban ( kisa' ) yang dipayung-lingkarkan bersama empat orang pilihannya. Rasulullah hanya memeluk sembari menyelimuti Ali ibn Abi Thalib, Siti Fatimah binti Muhammad, Hasan ibn Ali, dan Husein ibn Ali, ...

Tirani Mayoritas

SEWAKTU domisili di Kupang, NTT, saya sering menjadi korban  bully . Kekerasan rasial dengan mengejek saya Bugis kerap terjadi saat kelahi dengan teman sepermainan. Kelak saya menyadari, etnis seseorang ternyata bisa menjadi bahan kekerasan rasial ketika tinggal di daerah rantauan. Daerah terutama penduduk asli dan pendatang mengalami jurang ketimpangan sosial yang dalam, bisa menjadi faktor pendorong lahirnya kekerasan sosial. Di Kupang, mayoritas orang Bugis berprofesi sebagai pedagang. Di pasar-pasar nyaris sebagian pedagang orang Bugis. Toko-toko kelontong di pinggir-pinggir jalan, jika lumayan besar, bisa dipastikan itu adalah orang Bugis. Secara umum, tidak saja orang Bugis, di Kupang, masyarakat pendatang banyak mengambil peran strategis hampir di semua bidang kehidupan. Walaupun demikian, masyarakat Bugis tetaplah minoritas. Ditinjau dari keyakinan agama, akan lebih banyak ditemukan gereja dibandingkan masjid. Masjid tetap pun ada, namun tidak sebanyak gereja-gere...

Megalomaniak

Pamflet digital diambil dari aksi solidaritas kekerasan rasial yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya beberapa tempo lalu  BELAKANGAN problem identitas mencuat ke permukaan. Akibat ulah seorang da'i, kerukunan umat beragama menjadi kritis. Tidak lama, kasus muka “monyet” menambah parah situasi. Dua kasus ini saja sudah lebih dari cukup membuktikan betapa mental megalomania kerap diidap sebagian orang di sekitar kita. Jika Anda membuka kamus Inggris-Indonesia, jelas di situ apa arti megalomania: penyakit gila yang mengkhayalkan dirinya seperti orang agung dan mulia. Pengidap penyakit ini disebut megalomaniak, yakni orang tertentu yang menganggap rendah orang, ras, atau bangsa tertentu. Sejarah kolonialisme atas negara-negara dunia ketiga sedikit banyak menunjukkan, betapa bangsa-bangsa yang belakangan merdeka awalnya dijajah karena perasaan megalomania bangsa-bangsa Eropa. Dulu, atau bahkan sampai sekarang, cara pandang seperti ini masih berlaku. Terakhir, Ame...

Idul Qurban dan Kemerdekaan

AGUSTUS kali ini demikian unik lantaran memperingati dua momentum sejarah sekaligus. Hari raya Idul Qurban dan kemerdekaan Indonesia. Dua peristiwa ini memiliki arti mendalam bagi rakyat Indonesia, terkhusus umat muslim. Bagi umat muslim Idul Qurban mengajarkan umat manusia arti pengorbanan kepada kaum tertindas. Sementara peristiwa kemerdekaan Indonesia merupakan momen reflektif rakyat Indonesia mengenang dan menginternalisasi perjuangan bangsa ini melawan penjajajahan. Walaupun berbeda alaf sejarah, dua peristiwa ini sama-sama menarasikan pengorbanan sebagai keutamaan manusia. Bukan saja itu, pengorbanan dalam dua kisah ini juga sama-sama mengisahkan kemerdekaan sebagai nilai kehidupan yang paling penting dan fundamental. Kepasrahan Nabi Ibrahim-Ismail Kisah Nabi Ibrahim-Ismail bukan narasi di luar sejarah manusia. Mereka berdua bukan mahluk suprahistoris seperti dalam legenda ataupun mitos. Ibrahim dan Ismail mahluk berdaging yang menandai keberadaan historisnya. ...

Khotbah

PERTANYAAN. Pertanyaan yang baik adalah sebagian dari ilmu. Tapi, kiwari, di majelis-majelis keagamaan, yang gandrung merebak di masjid-masjid, mungkin lupa hadis Rasulullah di atas. Di majelis-majelis itu, pertanyaan yang datang kadang hanya permainan belaka. Atau bisa jadi berupa gimmick semata. Sengaja dipesan entah oleh siapa yang kita tak tahu wujudnya, untuk memancing, untuk merebut perhatian. Atau, karena ia bakal tersiar di kanal-kanal sosial media, bakal menarik pendapatan adsense. Pertanyaan lewat secarik kertas itu memang membuat waktu jadi efisien, ia bisa langsung sampai di atas mimbar. Tapi sesungguhnya malah memangkas ihwal yang intim. Sang da'i tidak bakal tahu siapa sesungguhnya yang bertanya. Ia tak tahu raut muka si penanya. Bagaimana gesture rupanya, intonasi suaranya, gerakan tangannya. Dengan kata lain, sang da'i tidak bakal menangkap kesungguhan si penanya. Seserius apakah ia mencari tahu. Dalam kondisi demikian, kita sulit ...