![]() |
Pamflet digital diambil dari aksi solidaritas kekerasan rasial yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya beberapa tempo lalu |
BELAKANGAN problem identitas mencuat ke permukaan. Akibat ulah seorang da'i, kerukunan umat beragama menjadi kritis. Tidak lama, kasus muka “monyet” menambah parah situasi. Dua kasus ini saja sudah lebih dari cukup membuktikan betapa mental megalomania kerap diidap sebagian orang di sekitar kita.
Jika
Anda membuka kamus Inggris-Indonesia, jelas di situ apa arti megalomania:
penyakit gila yang mengkhayalkan dirinya seperti orang agung dan mulia.
Pengidap penyakit ini disebut megalomaniak, yakni orang tertentu yang
menganggap rendah orang, ras, atau bangsa tertentu.
Sejarah
kolonialisme atas negara-negara dunia ketiga sedikit banyak menunjukkan, betapa
bangsa-bangsa yang belakangan merdeka awalnya dijajah karena perasaan
megalomania bangsa-bangsa Eropa.
Dulu,
atau bahkan sampai sekarang, cara pandang seperti ini masih berlaku. Terakhir,
Amerika Serikat yang getol berbicara demokrasi, malah semakin menunjukkan
identitas aslinya dalam rangka menguasai negeri-negeri Asia. Mental
megalomaniak bahkan sering ditunjukkan Trump, orang nomor satu di negeri Paman
Sam itu.
Kembali
ke Indonesia. Studi-studi poskolonial menunjukkan, bekas bangsa-bangsa
terjajah, Indonesia, misalnya, kerap sulit keluar dari peninggalan kebiasaan
bekas negara penjajahnya. Entah itu gagasannya, praktik kebudayaannya, bentuk
pemerintahannya, atau bahkan ideologinya.
Dalam
hal ini kebiasan menjajah yang identik dilakukan bangsa-bangsa Eropa kepada
negeri-negeri koloninya, dilakukan pula bekas bangsa jajahannya. Dalam hal ini,
Indonesia, sebagai bekas negeri jajahan mengulang kembali tindakan yang sama
yang pernah dilakukan bangsa penjajahnya. Lalu, kepada siapakah jajahan itu
dilakukan? Tiada lain, kepada anak-anak bangsanya sendiri.
Bukan
suatu kebetulan jika belakangan diksi monyet kembali diucapkan sebagai penanda
etnis tertentu. Melalui Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer, kita bisa lihat
nama Minke sebenarnya adalah panggilan yang diterimanya dari seorang Belanda
yang berarti monyet. Relasi manusia-monyet (minke) ini uniknya, terulang
kembali di masa sekarang dinyatakan bangsa sendiri dengan mereplika posisi
superioritas bekas bangsa penjajah.
Gagasan
superioritas yang masih bercokol demikian kuat paradoksnya menjadi medan
reflektif bersikap bangsa sendiri. Alih-alih mengedepankan kesetaraan, justru
pasca keluar dari penjajahan, sikap ini semakin aplikatif mewarnai praksis
berkebudayaan Indonesia.
Tidak
mungkin dimungkiri, keadaan bangsa kita “diciptakan” berbeda-beda. Keragaman
ini walaupun sering dianggap ciri khas, masih sulit diterima sebagai kenyataan
sosiologis.
Takdir
bangsa yang berbeda-beda, dengan kata lain, malah direfleksikan dengan cara menganggap
etnis berbeda sebagai “yang lain”. Seperti bekas bangsa penjajahnya dahulu,
perlakuan ini justru lahir akibat cara melihat yang bias.
Relasi
timpang ini tidak akan berakhir selama masih ada perasaan atau cara pandang
megalomania. Cara pandang ini demikian berbahaya karena lahir atas
ketidakadilan itu sendiri. Orang-orang pengidap megalomaniak merasa agung dan
mulia tidak datang dari kebesarannya sendiri, melainkan dihasilkan dari
memproduksi identitas lain dengan cara mengerdilkan dan mencelanya
habis-habisan.
Sikap
begini tidak sulit dikemukakan belakangan ini. Kita dengan mudahnya mencela
pihak lain demi keagungan tertentu. Kita ingin mulia, dengan menghina pihak
lain.
Yang
mengerikan, semua itu dilakukan bukan karena kegilaan. Semua itu nyaris dengan
kesadaran seterang-terangnya. Sejelas-jelasnya.