Langsung ke konten utama

Tobat


Semalam Fulan bertanya: bagaimana niat salat tobat?

Belum lama ia telaten menulis ulang di buku kecil catatannya. Setelah pulang dari masjid, ia duduk memunggungi daun pintu. Tepekur di atas sofa merekam apa pun. Apa saja ia temukan di mesin pencari. Kata-kata inspirasi, petuah-petuah moral, bacaan doa-doa salat, isi ceramah ustad Abdul Somad....

....termasuk niat salat Tahajut.

”Niat itu sudah cukup dalam hati”. Saya menimpali.

”Ah...masa?” Ia sanksi.

”Kalau begitu silakan cari di google. Di sana banyak kok.”

“Pokoknya, saya sudah memutuskan. Saya ingin tobat. Saya ingin berperilaku yang baik-baik saja.”

”Saya ingin salat tobat!!”

Tanpa ada bertanya ia menyatakan sikap.

Demikianlah. Tingkah polah Fulan bin Fulan, sebut saja begitu. Membuat saya menarik diri dari perbincangan tak terduga itu. Berusaha berpikir. Merenung.

Kadang saya sulit menemukan jalan tengah. Petitih bilang: ”be your self” jadilah dirimu sendiri. Al Qur'an mengingatkan: dalam diri Rasulullah terdapat contoh yang baik. Anjuran pertama mengajak kita jangan jadi orang lain. Jadilah dirimu sendiri.

Bagi agama, diri yang baik adalah menjadi ”orang lain” sebagaimana diri Rasulullah. Ia-lah sebaik-baiknya tauladan.

Self, diri, aku, jiwa, merupakan semesta misterium. Banyak sudah telaah analisis, kritis, bahkan menyangsikan apa "diri" itu sebenarnya.

Tapi, bagaimana cara menemukan jawaban yang baik. Tentang ”aku” yang ”bukan orang lain”. Dengan ”aku” yang ”identik” seperti Rasulullah.

Inilah soalnya. Alam kebebasan menganjurkan ”diri” berhak menentukan sendiri siapa dia. Bahkan, ”diri” jangan dibiarkan berdiri tanpa kaki pijak ”kesadaran”. Walaupun kiwari, di layar kaca, idola bagai prototype menyedot perhatian ”diri” keluar dari kemandiriannya.

”Diri” apa pun itu namanya, sebisa mungkin harus mampu memperjuangkan ontentisitasnya. Dia wajib mengenal siapa dia sebenarnya. ”Diri” jangan sampai tergiur—meminjam analisis Heidegger—pesona ”das man”. Kesadaran kerumunan yang mengahalau jalan menuju keinsafan diri.

Dengan kata lain, ”diri” terang Heidegger, sepatutnya masuk ”ke dalam” kedalaman eksistensi. Bagaimana caranya? ”Das sein” harus bertanya apa makna menjadi ”ada”. Apa artinya ”berada”?

Tapi, siapa yang mau? Eksistensi manusia dikepung kesibukan. Waktu luang kini kehilangan dimensi pembebasannya. Waktu, era kiwari sudah menjadi kategori, dipilah-pilah, dibagi-bagi. Dari jam demi jam. Hari demi hari. Bulan demi bulan. Tahun demi tahun.

Singkatnya, waktu kehidupan sudah jadi mekanik. Jadi jadwal. Menjadi rutinitas.

Itulah sebab, manusia era kiwari sulit ”mendalami” waktu. Ia hanya mengapung-apung di permukaan realitas. Kesadarannya kian jadi mesin. Ia jadi tonggak yang kehilangan permenungan.

Padahal, dalam al Qur'an, Tuhan bersumpah atas nama waktu. Merugilah orang-orang yang tidak mampu menghayati waktunya. Menyelami ”aliran” nikmat yang hanya ”sekali” terjadi.

Barangkali itulah yang ingin dilakukan Fulan. Ia menolak dilahap waktu. Ia memilih memerdekakan waktu melalui kegiatan produktif. Agak milenial memang. Gawainya sulit lepas dari pengisi daya. Ia mencatat, menghafal, mendengar ceramah....

Datang suara azan. Ia bergegas ke masjid. Berjalan kaki.

Sampai akhirnya datanglah pertanyaan itu. Bagaiamana cara bertobat? Apa niat salatnya?
Seumur-umur salat tobat belum pernah saya lakukan. Itulah sebab, jawaban saya diplomatis. Niat sudah cukup.

Tapi, ia butuh redaksi lengkap....




DALAM diri Rasulullah terdapat tauladan paling baik. Begitu al Qur'an mengingatkan. Barang siapa ingin meneguk mata air keteladanan, Rasulullah-lah hulunya.

Rasulullah, dengan kata lain tidak sekadar manusia. Ia karakter, pemikiran, nilai, dan sekaligus akhlak.

Bahkan, Rasulullah adalah pusat pencarian segala ”diri”.

Ia ibarat ka'bah kesadaran. Satu-satunya di dunia tempat berpulangnya segala macam pengembaraan.

Barangkali dalam arti ini-lah tobat sesungguhnya. Kita bukan diimbau mencari keteladanan lain. Jalan pulang kita jelas. Siapa diri sebenarnya, dengan kata lain adalah ”diri” kepunyaan Rasulullah.

Itu artinya, ”jadilah dirimu sendiri” bisa jadi adalah ilusi modernisme. Kita diimbau menegakkan ”keakuan” tapi tanpa tauladan. Jika pun itu dibangun di atas pondasi kesadaran. Walapun pada akhirnya, ”keakuan” dalam ”jadilah dirimu sendiri” membuat ”diri” kita lebih bebas.

Sampai di sini, pernyataan pertobatan Fulan jadi tidak sederhana lagi. Ia bukan sekedar pengertian, apalagi pernyataan. Ia lebih dari itu.

Tobat, tidak seperti banyak orang belakangan melakukannya. Ia tidak selamanya lurus dan lapang. Ia demikian jadi jalan terjal, berliku, dan panjang.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...