Langsung ke konten utama

Khotbah


PERTANYAAN. Pertanyaan yang baik adalah sebagian dari ilmu.

Tapi, kiwari, di majelis-majelis keagamaan, yang gandrung merebak di masjid-masjid, mungkin lupa hadis Rasulullah di atas.

Di majelis-majelis itu, pertanyaan yang datang kadang hanya permainan belaka. Atau bisa jadi berupa gimmick semata. Sengaja dipesan entah oleh siapa yang kita tak tahu wujudnya, untuk memancing, untuk merebut perhatian.

Atau, karena ia bakal tersiar di kanal-kanal sosial media, bakal menarik pendapatan adsense.

Pertanyaan lewat secarik kertas itu memang membuat waktu jadi efisien, ia bisa langsung sampai di atas mimbar. Tapi sesungguhnya malah memangkas ihwal yang intim.

Sang da'i tidak bakal tahu siapa sesungguhnya yang bertanya. Ia tak tahu raut muka si penanya. Bagaimana gesture rupanya, intonasi suaranya, gerakan tangannya.

Dengan kata lain, sang da'i tidak bakal menangkap kesungguhan si penanya. Seserius apakah ia mencari tahu.

Dalam kondisi demikian, kita sulit menangkap siapa sebenarnya yang sedang memegang kendali. Di layar kaca, si da'i bagai orang yang sedang memegang kontrol forum. Ia lihai menjawab pertanyaan membangun argumen dengan mengikutkan prasangka. Di atas forum ia-lah pusat perhatian.

Tapi, siapa yang bakal mencari tahu, siapa yang bertanggung jawab berada di belakang panggung. Yang mengendalikan alur masuk pertanyaan. Memilah-milah kertas pertanyaan mana yang layak naik, mana yang sekadar sensasi belaka.

Di majelis keagamaan, lantaran ia bukan forum layaknya pertemuan ilmuwan, tidak ada proses sortir demikian. Siapa saja bisa bertanya, seaneh apapun jenis pertanyaannya.

Malangnya, entah sudah dipikirkan matang-matang, si da'i, yang seharusnya menjadi palang pintu terakhir penyortiran, di banyak kasus juga gagal memilih bijak.

Akhirnya, pertanyaan-pertanyaan bernada sinis, mengejek, melecehkan, mendeskreditkan, jadi ajang si da'i membabat habis semua jenis pertanyaan. Ia berubah seolah-olah mesti bertanggung jawab atas semua pertanyaan dengan menjawab semuanya. Padahal ia lupa, ia punya pilihan, punya pertimbangan yang mana pertanyaan yang ia layak tolak mentah-mentah.

Sampai di sini, majelis-majelis pengajian di layar kaca itu membuat kita curiga, seberapa seriuskah jamaah-jamaah itu berniat memperdalam agamanya. Seberapa bijakkah da'i-da'i itu menanggapi pertanyaan yang kerap melecehkan.

Malah bahkan, pertanyaan-pertanyaan yang datang ibarat memancing di air keruh.

Kiwari dunia layar kaca mengubah segalanya menjadi hiburan. Setiap konten seserius apa pun itu bakal diset seperti pertunjukkan. Ada fokus kamera, sorot layar, pembesar suara, pengaturan cahaya, penonton bayaran...

Itulah sebab, sebagaimana hiburan, di majelis pengajian itu perlu glorifikasi dan kemeriahan. Bahkan ia perlu seorang aktor yang mampu menyedot penonton. Dan jika mesti, ia perlu bermain adegan dramatik agar menjaring nama.

Tapi, karena ia telah menjadi hiburan membuat kita mesti was-was. Mesti bertanya-tanya: sudah semurah itukah agama hari-hari ini? Bahkan, dengan jenis pertanyaan murahan karena salib?


Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...