![]() |
Ilustrasi peristiwa Karbala |
KESYAHIDAN Imam Husein ibn Ali di Karbala menandai gugurnya orang terakhir Ahlul Kisa', yakni manusia terpilih dalam peristiwa bersejarah ketika Rasulullah menyelimuti empat orang terdekatnya dengan melafalkan doa khusus.
Di peristiwa itu, Rasulullah menandai siapa-siapa yang disebut Ahlul
Baitnya. Orang-orang yang bakal meneruskan risalahnya dengan bersanding bersama
Al Qur'an, yang barang siapa berpegang teguh kepada keduanya, maka ia bakal selamat.
Kelak, peristiwa ini menandai sebab turunnya ayat 33 surah Al Ahzab: ”Sesungguhnya Allah berkehendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul
Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya. ”
Ummu Salamah, pribadi yang juga menyaksikan kejadian itu, tidak masuk dalam naungan selimut surban (kisa') yang dipayung-lingkarkan bersama empat orang pilihannya.
Rasulullah hanya memeluk sembari menyelimuti Ali ibn Abi Thalib, Siti
Fatimah binti Muhammad, Hasan ibn Ali, dan Husein ibn Ali, sembari menyatakan
kepada Ummu Salamah cukuplah engkau di tempatmu, dan engkau ada dalam kebaikan.
Peragaan ini bukan sekadar peristiwa biasa, melainkan suatu isyarat
berkaitan dengan kedudukan tinggi orang-orang yang ditandainya.
Secara simbolik, pelukan Rasulullah
bermakna informatif berkaitan dengan siapa-siapa manusia pilihan yang
dijaminkan Allah sebagai manusia tanpa cela dan tanpa dosa.
Dari sisi ini, perbedaan mendasar para Ahlul Kisa' dengan manusia lainnya
adalah seperti bunyi ayat 33 surat Al Ahzab: mensucikan kamu sesuci-sucinya. Selain Ahlul Baitnya, setiap
manusia gampang tergelincir menuju limbah dosa. Tidak ada dasar legitim
bersifat kewahyuan seperti Ahlul Bait mendapat jaminan dari Allah Swt.
Itulah sebab, peristiwa berabad lalu di Karbala patut ditangisi. Siapakah
orang yang rela membunuh pribadi yang dijamin Al Qur'an berkaitan dengan
keluhuran jiwa dan kesempurnaan ahlaknya. Pribadi kesayangan Rasulullah yang
paling mirip keperawakannya. Pribadi yang diselimuti Rasulullah berabad-abad
lalu.
Malam Asyura dengan kata lain malam bagi umat muslim sedunia memperingati
gugurnya manusia terakhir Ahlul Kisa'. Orang terakhir yang menjadi sebab
turunnya ayat Tahrir.
ABAD kiwari agama kehilangan elan vitalnya. Di skala global, agama masih sulit mendudukkan dirinya sebagai pandangan dunia yang menyaingi ideologi-ideologi berhaluan pasar.
Kuatnya pengaruh kapitalisme global
dan kembali maraknya pandangan politik kanan, menjadi bukti tidak signifikannya
agama menjadi pandangan dunia alternatif. Kesalahan penafsiran atas teks-teks
kunci berkaitan dengan kehidupan umat, malah menimbulkan dua modus keagamaan
yang sama-sama mendistorsi inti agama itu sendiri.
Pertama, modus agama yang berkecenderungan legal-formalistik yang ditandai
dari upaya menegakkan negara syariat. Modus ini jika bukan mengambil bentuk
negara khilafah, maka umumnya melalui proses legislasi aturan-aturan berbau
syariat. Kedua model ini sama-sama gampang dikenali melalui jargon-jargon
politis berlabel simbol-simbol agama.
Belakangan, secara populer, model beragama secara legal-formal menjadi
pangsa pasar bagi deru derasnya perputaran ekonomi kapitalistik.
Bagi pasar, kecenderungan gerakan hijrah yang menyukai penandaan-penandaan
simbolik agama, merupakan segmentasi menjanjikan meraup keuntungan. Semakin
populis gerakan hijrah menujukkan tingkat religiusitas, semakin terbuka peluang
pasar menyerapnya menjadi kapital.
Kedua, sebab hilangnya semangat transformatif agama karena merebaknya pola
beragama yang mementingkan kesalehan individual. Sejauh agama dijalankan
berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah, rasa-rasanya sudah cukup tanpa harus
terbebani tanggung jawab sosial mengubah ketimpangan tatanan masyarakat.
Agama yang dijalankan dengan cara demikian adalah agama yang kehilangan
visi kolektifnya. Bahkan kehilangan semangat kulturalnya hidup bersama
orang-orang tertindas.
Agama mengutamakan kesalehan personal dan mengurung diri melalui ritual
pragmatik individual secara tidak langsung mendistorsi makna ekopol dari konsep
tauhid dalam kalimat La ilaha ilallah.
Padahal, dalam kalimat itu-- setidaknya menurut Ali Asghar Engineer--
mengandung makna hijrah dari bergerak secara pribadi (laa ilah) menjadi
bergerak bersama-sama (ilallah). Atau bergerak dari diri-individual menuju
diri-sosial.
Kalimat tauhid mengandung konsep sosial-politik
yang berarti berani menegasikan ”ilah-ilah” palsu dalam sistem penindasan
masyarakat. Ia dalam hal ini bukan sekadar pernyataan keesaan tuhan, tapi juga secara
moral politik mau melebarkan pernyataan syahadah itu menjadi sebuah statement perlawanan terhadap kekuatan-kekuatan masyarakat yang tidak adil.
Konsep La ilaha Ilallah dengan kata lain suatu pertanyaan ”politik
kemerdekaan” umat muslim untuk mengatakan tidak ada Tuhan
(berhala-berhala, kedudukan, ras, sistem ideologi, harta dlsb.) yang patut
diindah-indahkan, dipuja-puji, disembah-sembah, selain Allah semata.
Peringatan sepuluh Muharram dengan figur utama cucunda Rasulullah,
merupakan gerakan hijrah yang sebenarnya. Imam Husein sendiri bahkan berkata,
saya berangkat ke Karbala demi menegakkan kembali agama kakekku, Muhammad.
Ia datang bukan demi menyulut peperangan selain menegakkan kalimat
kemerdekaan tauhid seperti Rasulullah kali pertama memproklamirkannya.
Imam Husein dengan kisah epiknya, sampai sekarang bakal menjadi narasi
keislaman memukul habis hipokrisi keagamaan yang melagengkan kebodohan,
keculasan, dan ketidakadilan. Ia persis ujaran Rasulullah bahwa Husein datang
dariku, dan Aku datang dari Husein.
Barang siapa tahu asal usul genetis Imam Husein, seharusnya ia juga mesti
tahu dari mana genetika agama Rasulullah dapat diketahui. Dengan demikian,
melalui pribadi Huseinlah spirit dan inti agama Rasulullah dapat ditemu-kenali.
Terakhir, meminjam bahasa Ali Syariati, epik Asyura tiada lain tiada bukan
adalah konfrontasi revolusioner antara agama versus ”agama”. Pendakuan Ali
Syariati mengenai sejarah agama bukanlah perlawanan atas non-agama. Justru di
sepanjang kehidupan manusia, seteru abadi agama adalah ”agama” itu sendiri. Yakni
perang antara kepercayaan atas satu Tuhan (tauhid) melawan ateisme
(kufr/kafir), kepercayaan atas banyak tuhan (syirik, politeis).