Langsung ke konten utama

Idul Qurban dan Kemerdekaan


AGUSTUS kali ini demikian unik lantaran memperingati dua momentum sejarah sekaligus. Hari raya Idul Qurban dan kemerdekaan Indonesia. Dua peristiwa ini memiliki arti mendalam bagi rakyat Indonesia, terkhusus umat muslim.

Bagi umat muslim Idul Qurban mengajarkan umat manusia arti pengorbanan kepada kaum tertindas. Sementara peristiwa kemerdekaan Indonesia merupakan momen reflektif rakyat Indonesia mengenang dan menginternalisasi perjuangan bangsa ini melawan penjajajahan.

Walaupun berbeda alaf sejarah, dua peristiwa ini sama-sama menarasikan pengorbanan sebagai keutamaan manusia. Bukan saja itu, pengorbanan dalam dua kisah ini juga sama-sama mengisahkan kemerdekaan sebagai nilai kehidupan yang paling penting dan fundamental.

Kepasrahan Nabi Ibrahim-Ismail

Kisah Nabi Ibrahim-Ismail bukan narasi di luar sejarah manusia. Mereka berdua bukan mahluk suprahistoris seperti dalam legenda ataupun mitos. Ibrahim dan Ismail mahluk berdaging yang menandai keberadaan historisnya. Al Quran, karena itu menganjurkan agar kisah kedua manusia agung ini diceritakan terus menerus sepanjang masa. Pertanyaannya, mengapa Al Quran sampai mengabadikan kisah antara ayah dan anak ini?

Ego adalah ”kuda liar” bagi agama-agama. Ia mesti diatur agar manusia tidak jatuh ke dalam kesengsaraan. Tujuan setiap agama mengendalikan ego agar berjalan seiring terang cahaya wahyu. Ego dalam kendali wahyu akan berbuah hasil kepasrahan dan kesetiaan total kepada seluruh perintah dan larangan agama. Kepasrahaan dan kesetiaan, dengan kata lain, adalah inti terdalam praktik agama.

Pengorbanan dalam kisah Ibrahim dan Ismail berakar dari kepasrahan dan kesetiaan total kepada perintah Tuhan. Mereka berdua telah melampaui sekat penjara ego. Jiwa insan mereka telah tunduk sepasrahnya seperti pasrahnya alam semesta terhadap hukum Tuhan. Bergerak tanpa sedikitpun melahirkan sangsi dan protes.

Itulah sebabnya, kisah kedua manusia ini dikukuhkan Al Quran. Sebagai kisah pengorbanan, Ibrahim rela melepas satu-satunya keinginan selama yang telah ia damba-dambakan. Ismail, anak yang ditunggu-tunggunya, juga menunjukan kebaktian pengorbanan tiada bernilai. Baik Ibrahim dan Ismail, sesungguhnya mengajarkan nilai moral puncak: rela melepaskan keinginan yang paling dicintai.

Kesetiaan, kerelaan, dan ketundukkan Ibrahim dan Ismail kepada Tuhannya merupakan tanda manusia merdeka.  Kedua nabi ini, dengan kata lain, adalah contoh bagaimana manusia mesti memerdekakan dirinya dari penjajahan ego. Sebagaimana ungkapan Rasulullah, perjuangan manusia paling dahsyat perjuangan melawan hawa nafsunya. Begitu pula kemerdekaan, kemerdekaan hakiki adalah kebebasan manusia dari perintah hawa nafsunya.

Peristiwa Ibrahim membebaskan prasangka teologis menghancurkan patung-patungg raja Namrud, bukti lain agar manusia selain melawan egonya  jangan sampai terjebak kepada kekuasaan tuhan-tuhan palsu. Kemerdekaan atas tuhan-tuhan palsu diajarkan Nabi Ibrahim masih relevan sampai masa kiwari.

Dalam konteks bangsa-bangsa dunia, tuhan-tuhan palsu sering menjelma ke dalam berbagai bentuk dan dimensi, salah satunya penjajahan politik dan budaya.

Korban Kemerdekaan

Bangsa Indonesia diakui sebagai negara merdeka berkat jasa pahlawan-pahlawannya. Baik tidak tercatat maupun disebut-sebut dalam buku sejarah, pejuang kemerdekaan silam telah mengorbankan seluruh dirinya kepada bangsa ini. Sulit dibayangkan bagaimana besarnya cinta mereka kepada bangsa ini sampai rela berkorban demi kemerdekaan Indonesia. Satu hal bisa dipetik dari pengorbanan pejuang kemerdekaan, yakni kerelaannya melepas apa yang paling dicintainya kepada bangsa ini: nyawa dan segala apa yang mereka miliki.

Pejuang kemerdekaan silam enggan dijajah melalui kepemimpinan politik dan budaya asing. Mereka sadar betul tidak ada kekuasaan patut direlakan selain kekuasaan politik bangsa sendiri. Kesetiaan kepada tanah air sendiri tidak sebanding kerelaan kepada penjajahan bangsa asing. Kemerdekaan hakiki bukan hidup dalam naungan bangsa asing, melainkan bangsa yang dapat menentukan sendiri nasib dan takdir kebangsaannya.

Takdir kebangsaan Indonesia ditandai dari beragam suku, bangsa, dan agama. Secara geografis takdir kita hidup dipisah lautan antar pulau-pulau. Begitu pula di masa depan tidak bisa dielakkann bangsa ini mengalami ledakan populasi akibat bonus demografi. Seluruh takdir ini mau tidak mau melahirkan beragam perbedaan dan keanekaan. Dengan kata lain, sudah takdirnya bangsa Indonesia beragam dan  berbeda satu sama lain.

Tidak akan berubah nasib suatu kaum tanpa kaum itu sendiri mengubahnya. Ini juga merupakan takdir Tuhan bahwa segala hal bisa berganti ketika ada kemauan untuk berubah. Agustus adalah hasil ikhtiar bangsa Indonesia memilih untuk merdeka. 

Rakyat Indonesia silam telah menentukan takdirnya melalui kemampuan mengubah penjajahan menjadi kemerdekaan.  Akan lain ceritanya jika seluruh peristiwa perjuangan Indonesia silam tidak memilih mengubah nasibnya. Kemerdekaan hanya akan menjadi angan-angan belaka.

Sekarang perjuangan Indonesia adalah perjuangan mengelola perbedaan, keanekaan, dan kemajemukan.  Manusia Indonesia harus keluar dari cangkang egonya demi memupuk kemerdekaan atas sesama. Manusia Indonesia harus pandai-pandai berkorban demi kemajemukan status sosial, peran, dan keyakinan agama. Sebagaimana kisah Nabi Ibrahim dan Ismail, atau para pejuang kemerdekaan: rela melapangkan sesuatu yang dinginkan egonya. Memerdekakan diri dari penjajahan ego demi bangsa dan negara.

Telah tayang di Geotimes.go.id


Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...