Langsung ke konten utama

Postingan

Alwy Rachman: Membaca sama dengan Mendengarkan

Eike belakangan ini berusaha merenung-renungkan perkataan seorang budayawan sekaligus sosok penting bagi keberlangsungan pelbagai komunitas Literasi di Makassar, Alwy Rachman, pasca launcing dan diskusi buku Tutur Jiwa karangan Sulhan Yusuf tempo waktu di Dialektika Cafe. Saat itu Alwy Rachman mengatakan membaca adalah mendengarkan, suatu pengertian yang tidak biasa bagi eike. Bagaimana mungkin, membaca yang identik menggunakan indera penglihatan harus diartikan sama dengan mendengarkan, aktifitas yang lebih banyak melibatkan telinga. Kata yang secara literer di pengertian Alwy Rachman, seketika sepadan dengan bunyi. Apakah ini sama berartinya bahwa tradisi literasi yang mendasarkan dirinya pada tradisi tulisan tidak berdampak signifikan terhadap masyarakat tinimbang tradisi lisan? Ataukah membaca sebenarnya tidak seperti pengertian hari ini yang hanya menyasar dimensi kognitif daripada mendengarkan yang lebih radikal menelusup hingga dimensi kejiwaan manusia? Atau jangan-jangan ...

Literasi Sampai Hati!

Tidak ada percakapan seperti belakangan ini yang getol dibicarakan selain dari pada literasi. Sulit dipastikan siapa yang memulainya menjadi percakapan publik sekaligus untuk menandai semenjak kapan literasi menjadi omongan banyak kelompok masyarakat. Namun, selain elit sastrawan dan ilmuwan yang selama ini secara terbatas menyokong pembicaraan ini melalui kelompok-kelompok kecil terbatas, literasi itu sendiri sudah semakin luas dibicarakan di hampir semua level masyarakat selama kurang lebih tiga tahun belakangan ini. Tak bisa dimungkiri, belakangan literasi juga masuk menjadi isu utama bagi kalangan mahasiswa. Walaupun agak fatal dan terlambat, literasi memang mau tidak mau harus didorong ibarat gerbong tua agar mampu berjalan cepat dan berdampak efektif terhadap berubahnya paras pengetahuan kita. Disebut agak fatal menurut pengalaman eike, akibat literasi diberlakukan sebagai tema baru dan bukan senyawa yang mudah menyatu dengan dunia akademik kemahasiswaan. Padahal, liter...

Trinitrotoluena

Belakangan eike sulit mengucapkan kata “sensitif”, apalagi kalau itu ditambahi imbuhan dan akhiran seperti menjadi “ke-sensitiv-an”. Lidah eike sulit mendesiskan bunyi “e” kemudian “i” di waktu yang hampir bersamaan, sekaligus bunyi “a” di akhir katanya. Peralihan bunyi itulah yang membuat lidah eike sulit mengejanya. Tidak mulus, tidak lincah, bahkan. Hal yang sama apabila eike mengucapkan kata “kreatifitas” menjadi “ke-kreatif-an”. Lidah eike seperti sulit diajak “bergoyang” dari bunyi “e”, “a”, “i”yang berubah seketika. Akhirnya eike mencari kata-kata yang mirip gejalanya dari dua kata di atas semisal kata “pemimpin” menjadi sulit ketika diubah ke bentuk “ke-pemimpin-an”, kata “aktif” menjadi “ke-aktiv-an”, atau terma “kritis” berganti menjadi “ke-kritis-an”, atau yang paling sulit eike katakan: “eike cinta je!” Baiklah, yang terakhir itu bukan sulit diucapkan, tapi ah, puki mak ! Betapa kompleks sekaligus rumitnya konsekuensi dan arti dari kalimat yang terakhir itu. A...

Pribumi

Tidak ada pengetahuan yang bebas nilai. Demikianlah yang didakukan aliran sosiologi mazhab Frankfurt. Setiap pengetahuan mencerminkan kebutuhan sosialnya. Kebutuhan praktisnya. Dalil ini sekaligus kritik mendasar terhadap positivisme logis, suatu aliran pemikiran yang berkeyakinan bahwa pengetahuan itu mesti bebas nilai. Harus objektif. Seperti apa yang ditampakkan di dalam kenyataan. Tapi, adakah kenyataan yang sebenarnya-benarnya bebas dari infiltrasi pengetahuan manusia. Dengan kata lain kenyataan yang murni tanpa bias pandangan manusia. Kenyataan objektif yang didamba-dambakan dalam sains modern? Tepat melalui pertanyaan inilah, eike kira pemahaman kita terhadap suatu segala adalah medan yang sarat kepentingan. Ketika kita mempersepsi sesuatu, menilai sesuatu, pengetahuan bukanlah kapas putih tanpa muatan noda. Setiap fakta yang kita terima, sudah dari awal dibentuk oleh keyakinan kita. Kitalah yang menghendaki fakta itu berdasarkan apa yang ingin kita terima. Manusialah yang men...

5 Lagu Mahasiswa-Perjuangan yang Tidak Lagi Akrab di Telinga Generasi Mahasiswa Zaman Now

Tidak bisa dimungkiri, karakter, kecenderungan, dan cara pandang mahasiswa era kiwari jauh berbeda dari dua generasi sebelumnya. Perbedaan ini sangat terasa dari perubahan kehidupan kultural yang mereka lakonkan. Terutama generasi Z, cara mereka menjalani hidup jauh lebih variatif dan unik. Seperti hasil riset dari Tirto.id, jika ditilik, dari segi fesyen, mahasiswa-generasi Z lebih menyukai membeli produk di mal-mal atau pusat-pusat perbelanjaan yang dirasa lebih mewakili selera berbusana mereka. Sehari generasi ini bisa menghabiskan tiga sampai lima jam mengakses internet melalui gawai canggih mereka. Jika hendak memenuhi hajat perut, generasi Z gampag ditemui di tempat makan siap saji semisal KFC, Pizza Hut, atau pun McD. Pilihan liburan dan hiburan generasi Z juga mengalami perubahan. Generasi Z banyak menghabiskan uangnya di tempat-tempat wisata alam semisal gunung atau pun pantai. Mengenai hiburan di bidang musik, generasi Z senang mendengarkan musik-musik pop dari manc...
Sosiologi Marx Sampai sekarang, setidak-tidaknya masih ada empat alasan yang menyebabkan pemikiran Marx masih sering dibenci oleh penganut teori sosiologi konservatif. Empat alasan ini pula yang secara teoritik akademik membuat pokok-pokok sosiologi Marx sulit berkembang sebagai teori dominan selain dari teori-teori lainnya. Pertama karena pemikiran Marx masih dikait-kaitkan dengan komunisme sebagai ideologi. Bahkan bagi penganut teori sosiologi konservatif, pemikiran Marx adalah ideologi komunisme itu sendiri. Akibat dinilai sebagai ideologi, pemikiran Marx tidak jauh berbeda dilihat sebagaimana agama yang secara karaktarestik tidak mampu dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sebagaimana agama, pemikiran Marx yang dinyatakan sebagai ideologi bukanlah proposisi-proposisi ilmu pengetahuan yang dititikberatkan kepada penelitian empirik masyarakat. Walaupun demikian yang ditolak oleh sosiolog konservatif bukanlah eksistensi ideologi dari pemikiran Marx itu sendiri, tapi ciri-ciri ideol...

Sosiologi Waktu: Suatu Tilikan Sederhana

Waktu dalam pendakuan Emile Durkheim adalah cermin dari pengalaman kolektif masyarakat. Sebagaimana fakta sosial, waktu bukan semata-mata dimensi subjektif manusia belaka, melainkan dia dibentuk secara bersama-sama seiring pengalaman masyarakat yang ikut menyertainya. Bahkan, waktu tidak saja dapat mengungkapkan irama aktivitas kolektif masyarakat, melainkan juga sebaliknya mengatur aktivitas kolektif masyarakat di dalamnya. Waktu yang berasal dari kehidupan sosial secara historis-sosiologis memiliki ragam bentuk, terutama yang berkaitan dengan hal ihwal yang prinsipil. Pandangan dunia, sistem religi, sistem ekonomi, sistem pendidikan, serta beragam faktor lainnya adalah hal-hal yang ikut membentuk paras waktu dari masa ke masa, dari satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Waktu reflektif Yunani Kuno Waktu di Yunani kuno identik dengan skolae. Skolae adalah waktu yang dimaksimalkan demi pencerahan akal budi dan jiwa. Bagi masyarakat Yunani kelas atas --selain budak-- w...