Tidak ada pengetahuan yang bebas nilai. Demikianlah yang didakukan aliran
sosiologi mazhab Frankfurt. Setiap pengetahuan mencerminkan kebutuhan
sosialnya. Kebutuhan praktisnya. Dalil ini sekaligus kritik mendasar terhadap
positivisme logis, suatu aliran pemikiran yang berkeyakinan bahwa pengetahuan
itu mesti bebas nilai. Harus objektif. Seperti apa yang ditampakkan di dalam
kenyataan. Tapi, adakah kenyataan yang sebenarnya-benarnya bebas dari
infiltrasi pengetahuan manusia. Dengan kata lain kenyataan yang murni tanpa
bias pandangan manusia. Kenyataan objektif yang didamba-dambakan dalam sains
modern? Tepat melalui pertanyaan inilah, eike kira pemahaman kita terhadap
suatu segala adalah medan yang sarat kepentingan. Ketika kita mempersepsi
sesuatu, menilai sesuatu, pengetahuan bukanlah kapas putih tanpa muatan noda.
Setiap fakta yang kita terima, sudah dari awal dibentuk oleh keyakinan kita.
Kitalah yang menghendaki fakta itu berdasarkan apa yang ingin kita terima.
Manusialah yang menarasikan kenyataannya. Dengan kata lain tidak ada kenyataan
yang benar-benar das ding an sich. Yang nyata tanpa persentuhannya dengan pikiran
manusia. Di titik itulah eike berkeyakinan, setiap aktifitas berpikir sudah
selalu mengandung motif bawaan manusia. Ibarat teori kesadaran Sigmun Freud, di
belakang kesadaran, bersembunyi kepentingan hasrat libidinal. Suatu hasrat
untuk memuaskan dirinya. Itulah sebabnya, menurut eike setiap pengetahuan
dengan sendirinya adalah sesuatu yang bersifat ideologis. Kolonialisme eike
kira adalah contoh bagaimana pengetahuan malah justru menjadi kedok untuk
menjajah suatu negeri. Kita pernah mendengar dikotomi Barat yang superior dan
Timur yang inferior. Masyarakat Barat yang tercerahkan dan kehidupan
orang-orang Timur yang tidak berkebudayaan. Atas dasar kebudayaan, pengetahuan
berkepentingan untuk menyesuaikan yang Timur mesti menjadi Barat. Yang pribumi
harus menjadi masyarakat sebagaimana idealitas nilai-nilai Barat. Nampaknya
kolonialisme lebih pas kedengarannya dengan apa yang diistilahkan sebagai westernisasi.
Suatu terma yang pernah banyak disebut-sebut dalam ilmu-ilmu sosial untuk
menandai berubahnya apa-apa yang berbau pribumi menjadi Barat. Apa-apa yang
masih asing menjadi modern. Belakangan kata pribumi menjadi kesohor. Pribumi
menjadi salah satu kata teknis sekaligus magis dalam pidato politik Anies
Baswedan pasca dilantik sebagai gubernur baru Jakarta. Setelah itu publik
gempar, pribumi menjadi gonjang-ganjing. Eike kira, kata pribumi di situ bisa
ditafsirkan dengan bebas. Segala kemungkinan tindakan hermeneutika dari itu
sah-sah saja diterima. Kita bisa memulainya dari keseluruhan konteks pidato
Anies dan melihat apa pesan keseluruhan dari pidatonya. Atau memperlebar
konteks kata itu kepada setting situasi yang jauh lebih besar, sejarah
kolonialisme di bangsa ini misalnya. Atau bisa juga dilihat dari sisi konteks
pertarungan politik sebelum pidato itu dibacakan. Dan, mungkin saja maknanya
juga akan berbeda jika kata itu ditafsirkan seperti Anies memaknai kata itu.
Dengan cara demikian, eike kira semua motif yang digunakan untuk menafsirkan
diksi itu mau tidak mau dipengaruhi oleh beragam sudut penafsiran. Dan, dari
tindakan itu sudah barang tentu secara moral etik berlaku kepentingan sang
penafsir. Dengan kata lain, di balik kegiatan berpikir, atau usaha untuk
mengartikan suatu teks, sang penafsir akan membawa kepentingan teoritik dan
kebutuhan praktisnya itu sendiri. Orang-orang eike kira banyak lupa. Sekarang
Anies diterima atau tidak diterima adalah juga seorang politikus. Kata-katanya
serba licin. Mudah rubuh oleh bahkan kata-katanya sendiri. Artinya tidak ada
yang bisa dipegang dari itu. Kata-kata dari mulut politikus ibarat gerakan
akrobat: bergerak dan berubah terus menerus. Tidak stabil. Itulah mengapa
jangan mudah percaya apa-apa yang diutarakan seorang politikus. Di balik setiap
kata politikus senantiasa digerakkan arus pemikiran tertentu. Dan, tiada
pemikiran yang tidak berpihak. Tidak berkepentingan. Hatta, seluruh pengetahuan
mewakili kecenderungan dunia di mana dia lahir, dibentuk, dan dikemukakan.
Tiada pengetahuan yang tidak berimplikasi secara politis. Dengan kata lain,
untuk apa dan siapa pengetahuan itu diwakili?
Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...