Tidak ada percakapan seperti
belakangan ini yang getol dibicarakan selain dari pada literasi. Sulit
dipastikan siapa yang memulainya menjadi percakapan publik sekaligus untuk
menandai semenjak kapan literasi menjadi omongan banyak kelompok masyarakat.
Namun, selain elit sastrawan dan ilmuwan yang selama ini secara terbatas
menyokong pembicaraan ini melalui kelompok-kelompok kecil terbatas, literasi
itu sendiri sudah semakin luas dibicarakan di hampir semua level masyarakat
selama kurang lebih tiga tahun belakangan ini.
Tak bisa dimungkiri, belakangan
literasi juga masuk menjadi isu utama bagi kalangan mahasiswa. Walaupun agak
fatal dan terlambat, literasi memang mau tidak mau harus didorong ibarat
gerbong tua agar mampu berjalan cepat dan berdampak efektif terhadap berubahnya
paras pengetahuan kita.
Disebut agak fatal menurut
pengalaman eike, akibat literasi diberlakukan sebagai tema baru dan bukan
senyawa yang mudah menyatu dengan dunia akademik kemahasiswaan. Padahal,
literasi sebagai suatu tradisi keilmuan adalah pekerjaan yang inheren dalam
dunia perguruan tinggi. Dengan kata lain, dua kemampuan dasar dari literasi,
yakni kemampuan mengolah informasi bacaan dan mengolah tulisan, adalah
pekerjaan utama dalam dunia pendidikan tinggi.
Riset, seminar, workshop, diskusi,
pembukuan, penerbitan, dan pengabdian adalah kerja ekslusif yang hanya
ditemukan dalam dunia pendidikan tinggi yang kesemuanya ditopang oleh literasi
sebagai modal utamanya. Disebut ekslusif karena bukan dalam dunia lain-lah
kerja-kerja diskursif itu ditemukan. Itu artinya, sebenarnya literasi adalah
pemahaman dan kebiasaan yang khas dari pendidikan perguruan tinggi.
Dikatakan agak terlambat karena
seharusnya mahasiswa-lah garda paling depan yang menyuarakan literasi sebagai
pekerjaan pokok pendidikan. Mahasiswa jika dilihat dari profesinya, adalah
kelas masyarakat yang paling mungkin menunjang literasi untuk dikampanyekan.
Selain disebabkan literasi yang sebenarnya adalah pekerjaan utamanya, juga hampir keseluruhan waktu mahasiswa itu sendiri melibatkan literasi untuk
menunjang kerja-kerja ilmiahnya.
Beberapa hari lalu, eike diundang
suatu organisasi kemahasiswaan untuk membicarakan peran literasi dalam
membangun gerakan mahasiswa. Menurut eike agak naif dan sekaligus ambisius jika
melihat keterkaitan tema dengan realitas faktual tradisi keilmuan mahasiswa
hari ini. Kenapa disebut naif, karena alasan di atas tadi, bahwa masih mengandaikan
literasi sebagai bukan bagian dari pengalaman menjadi mahasiswa. Dalam konteks
ini, literasi hanya dianggap sebagai penunjang, ibarat serabut akar yang bukan
akar tunggal.
Artinya, literasi hanya dipahami
secara teknis-metodelogis, bukan tradisi hidup yang membentuk pengalaman kultural
perguruan tinggi.
Padahal, yang diharap literasi
harus menjadi sebagai kebiasaan yang mendarah daging. Analoginya sepenting
oksigen yang mau tidak mau menjadi kebutuhan biologis tubuh agar dapat bertahan
hidup.
Eike mengatakan cenderung ambisius
karena tidak sebelumnya melihat prasyarat-prasyarat materialnya untuk dikatakan
literasi sebagai salah satu faktor dalam menentukan maju tidaknya suatu gerakan
kultural kemahasiswaan. Sudah sejauh apakah sarana dan prasarana yang selama
ini menunjang agar literasi menjadi kebiasaan bagi mahasiswa. Sudah tersediakah
buku-buku, hasil riset, hasil diskusi, video-video inovasi, film dokumenter,
makalah, jurna-jurnal, dlsb., yang memudahkan mahasiswa ketika membutuhkan
data-data berkaitan dengan tugas-tugas akademiknya?
Dalam kesempatan itu, eike katakan
saja, bahwa literasi adalah gerakan mahasiswa itu sendiri. Dia tidak bisa
dipahami sebagai hanya penunjang yang bergerak di luar dari pengalaman gerakan
mahasiswa, melainkan inti atau substansi yang melekat atau bahkan, ya itu tadi,
gerakan itu sendiri.
Itu berarti, literasi dalam skema
gerakan mahasiswa harus menjadi gerakan berbasis kultural. Dia mesti bergerak
dari bawah dan hidup dari bawah. Dia mesti lahir dari rahim kehidupan
sehari-hari mahasiswa itu sendiri.
Itulah sebabnya, eike kurang lebih
dari tiga tahun lalu berusaha sebisa mungkin mengkampanyekan literasi sebagai
isu kolektif untuk siapa pun agar mau memahami betapa pentingnya membaca dan
menulis.
Namun, bukan saja itu membaca dan
menulis hanyalah lapis kesekian dari literasi, lapis setelahnya adalah bagaimana
menghubungkan dan mengontekstualisasikan beragam pengetahuan dari lapis
sebelumnya bagi kehidupan kongkrit masyarakat. Membaca dan menulis, dengan kata
lain bukan aktifitas mandiri tanpa sangkutpautnya terhadap nasib ril
masyarakat, melainkan merupakan bagian dari tanggung jawab kita untuk ikut
membangun masyarakat.
Berkaitan dengan pilihan literasi
sebagai tema utama bagi eike selama ini, juga merupakan kritik kultural atas
tradisi gerakan kemahasiswaan yang diidentikkan dengan model gerakan ekstraparlementariat.
Malangnya, model gerakan ini mempersempit dirinya hanya sebatas jalan raya
sebagai ruang pengajuan kritiknya. Sementara jalan raya, kita tahu adalah tempat
paling ribut saat ini. Di situ tidak mungkin mendengarkan suara kebenaran. Bising.
Model gerakan jalan raya, sejauh
eike ketahui sebenarnya bukan medan asyik untuk mengajukan kritik. Logika
tindakan demonstrasi, dari pengalaman eike memang bukan untuk dijadikan sebagai
sarana kritik, tapi dia memiliki harapan yang jauh lebih besar dari pemahaman
sebagian mahasiswa saat ini, yakni untuk mengubah kebijakan publik.
Itulah sebabnya, barang siapa ingin
menggelar aksi demonstrasi mesti memiliki kekuatan yang lumayan dan jauh lebih besar
dari yang diketahui selama ini. Kita Harus memiliki gagasan yang kokoh, napas
dan semangat yang panjang, strategi dan pengalaman yang sudah teruji, serta jaringan
yang kuat dan menyentuh seluruh lini kepentingan, dan bukan saja jumlah massa
yang besar.
Juga nampaknya ada yang salah dari
paradigma gerakan mahasiswa saat ini. Aksi demonstrasi pada titik tertentu
sudah dianggap satu-satunya cara dan tujuan dari kritik. Mayoritas mahasiswa
agaknya lupa, demonstrasi hanyalah alat, dan demonstrasi adalah implikasi dari
gerakan kultural yang menjadi sumber dan basis gerakannya.
Gerakan kultural itulah yang
menurut eike adalah literasi. Melalui literasi, intropeksi panjang dilakukan,
juga sekaligus suatu cara menyusun kembali kekuatan intelektual yang belakangan
terabaikan. Artinya, literasi menjadi sarana inkubasi seluruh modal simbolik,
kultural, kapital, dan struktural dari apa yang dipunyai gerakan mahasiswa
untuk diperbarui dan diremajakan.
Harus diakui model gerakan ini
cenderung reformis, atau bahkan agak evolusionis. Literasi memang bukan tipe
gerakan massa rakyat yang revolusioner. Makanya dia agak kurang disukai bagi
mahasiswa yang menyenangi tindakan-tindakan serba praktis dan cepat. Tapi apa
boleh buat, untuk kebutuhan jangka panjang kita butuh tulisan yang revolusioner,
bacaan dari buku-buku yang revolusioner, dan juga kesabaran yang jauh lebih
revolusioner dari apa yang dirasakan selama ini. Ini memang perubahan pola,
dari aksi menuju literasi.
Memang, ini gerakan literasi sampai
hati!