Lisan Sebuah getaran keluar dari mulut Dari leher turut decak yang ingin meluap Menggemakan wicara bak pesulap Tadinya dia hanya gesekan paruh dan rongga, Kemudian terluah dalam bahasa Kini gelombang punya rona Sama ketika frekuensi mencipta bahasa pesona Aku ringkih mendengar sebuah suara Pagut memagut, mesti takut Memaksa ikut Itulah lisan yang nista Mencuri hati lalu mematahkannya Kirakira tak ada yang salah dalam puisi. Yang diperjuangkan dalam puisi bukan dunia faktafakta. Penyair bukan mau mengambil peran seorang wartawan, yang harus menulis sesuai realita yang ditemukannya. Atau seperti ilmuwan yang melihat relasi asumsi antara satu proposisi sesuai kaidah logika sebagai kebenaran. Akibatnya yang esensil dalam puisi bukan kebenaran, tapi kebermaknaan. Puisi berjuang dari "dunia dalam", makanya dia begitu subjetif. Namun, tidakkah dia bisa menjadi objektif? Entahlah, bukankah yang objektif itu kerap hanya terma sesat atas ilmu penge...