Lisan
Sebuah getaran keluar dari mulut
Dari leher turut decak yang ingin
meluap
Menggemakan wicara bak pesulap
Tadinya dia hanya gesekan paruh dan
rongga,
Kemudian terluah dalam bahasa
Kini gelombang punya rona
Sama ketika frekuensi mencipta
bahasa pesona
Aku ringkih mendengar sebuah suara
Pagut memagut, mesti takut
Memaksa ikut
Itulah lisan yang nista
Mencuri hati lalu mematahkannya
Kirakira tak ada yang salah dalam
puisi. Yang diperjuangkan dalam puisi bukan dunia faktafakta. Penyair bukan mau
mengambil peran seorang wartawan, yang harus menulis sesuai realita yang
ditemukannya. Atau seperti ilmuwan yang melihat relasi asumsi antara satu
proposisi sesuai kaidah logika sebagai kebenaran. Akibatnya yang esensil dalam
puisi bukan kebenaran, tapi kebermaknaan. Puisi berjuang dari "dunia
dalam", makanya dia begitu subjetif. Namun, tidakkah dia bisa menjadi
objektif? Entahlah, bukankah yang objektif itu kerap hanya terma sesat atas
ilmu pengetahuan? Lalu, bagaimanakah puisi harus diapresiasi?
Puisi di mana pun pasti punya makna
kedua. Ini biasa disebut makna simbolis. Mengacu dari konsep alegori, puisi
menyimpan suatu dunia yang nirkatakata. Suatu dunia maknawi, dunia
simbolsimbol. Artinya, bahasa puisi bahasa polisemi. Bahasa puisi bahasa yang
mendua. Puisi, syair bahasa yang menyiratkan banyak arti. Itulah sebabnya,
puisi bukan bahasa ekposisi, dia bahasa simbol.
Barangkali, karena itulah suatu
soal timbul. Bagaimana cara menilai puisi. Haruskah dia ditempatkan di dalam
suatu penyelidikan ilmiah; mengecek korelasi katakata dengan makna semantiknya,
atau memang ada prosedur yang tepat guna menilai puisi.
Problem ini jadi panjang di kelas
menulis PI. Pemicunya puisi di atas milik Sandra Ramli. Kawankawan, bukan
penyair apalagi sastrawan, dibuat bingung. Puisi, di kelas, salah satu jenis
karya yang masih gelap. Akibatnya sering kali puisi dianggap tulisan sampiran.
Padahal, di kelas, setiap tulisan harus dianggap penting. Itulah mengapa perlu
ada porsi yang sama ketika ada kawankawan menulis puisi. Puisi, seperti genre
tulisan lain juga karya tulis. Makanya, di kelas dia harus diapresiasi.
Bentuk apresiasi juga jadi soal
kedua. Mestikah ada bentuk kritik buat puisi? Kalau ada, kepada apa kritik
diajukan? Kepada bentuk atau pilihan diksinyakah? Proses kreatif atau motif
kepenulisannyakah? Ataukah yang lain dari itu semua, kepada apa model sastra
suatu puisi disematkan? Dengan kata lain, di kelas, belum ada perangkat
penilaian yang memadai soal apresiasi puisi.
Akibatnya, puisi, atau sejenisnya
kurang mendapatkan tempat di kelas. Kondisi ini tidak mesti dibiarkan. Sebab,
kadang puisi hanya dibaca sekali setelah itu dilewatkan. Tak ada ruang sama
seperti jika esai dinilai. Makanya, ini harus diubah. Biar bagaimanapun puisi
juga mesti diapresiasi. Entah bagaimana modelnya.
Di konteks itu justru dibutuhkan
kawankawan yang punya basic ilmu sastra. Sebelumnya ada Muchniart, yang bisa
menilai seluk beluk suatu karya. Atau setidaknya memberikan gambaran kepada
kelas soal kesusastraan. Tapi, belakangan ini Niart, begitu sering dipanggil,
jarang bertandang di kelas. Selain Niart, entah siapa yang punya bacaan
kesusastraan yang memadai.
Tapi, pasca disoal, akhirnya puisi
memang berbeda dengan genre sastra lain. Bahkan, setiap genre sastra punya
karakter dan bentuk berlainan. Itulah sebabnya, cara menyikapinya juga berbeda.
Makanya, puisi harus diperlakukan berbeda. Dia punya cara tersendiri dan sikap
tersendiri.
***
Maret berakhir dengan hari yang
lapang. April datang bersamaan hujan yang ritmik. Mendung bagai selimut di atas
langit pekan pertama April. Hujan tetiba jatuh tanpa bisa ditampung. Jauh di Pabbentengang
tempat kelas sering dibuka, barangkali masih kosong. Hujan, menunda langkah,
setiap mata hanya sampai di daun pintu. Melihat langit yang tetiba kelabu,
berharap hujan segera berhenti.
Kala sudah siap pasca dicetak.
Selebaran yang kali ini dicetak hanya sebelas eksemplar itu dimasukkan dalam
tas. Hujan, yang beberapa saat lalu mereda jadi pantangannya. Kala, sedikit
saja tersentuh air, dia luntur. Maklum tinta print, bukan jenis tinta yang
sering dipakai media cetak. Makanya satu kelemahan Kala, dia tidak kedap air.
Karena itu, Kala mesti diperlakukan spesial. Hatihati.
Di sekretariat PI, baru Hajrah yang
datang. Dia duduk terpaku di teras PI, juga mungkin termangu. Melihat bulir
hujan yang pecah di atas tanah sendirian. Perempuan mungil ini sedari tadi
sudah lama begitu. Sebatang tubuh menunggu sesiapa yang bakal datang.
Lama berselang satu per satu tiba.
Hajrah menyungging senyum. Di balik senyum setengah sabit itu dia sesal. Dia
bilang sudah lama menunggu sendirian. Sudah banyak air pecah bersimbahan
mengalir hilang di balik tanah basah. Sudah banyak putaran jarum melingkar di
tangannya. Waktu begitu lambat dia rasakan. Mungkin akibat Hujan, atau
berkalang sepi menunggu di tepi teras kelas.
Kelas memang agak renggang. Kali
ini tak banyak ikut terlibat. Beberapa kawan meminta izin semenjak awal.
Beberapa lain tak punya kabar. Tapi, kelas bukan person. Selama ini ini kelas
berjalan dengan sistem. Fungsi lebih diutamakan dibanding person. Karena
itulah, siapa pun yang datang bisa mengambil alih menjalankan beberapa tugas.
Mungkin itulah kekuatannya, selain konsisten, tugas kepemimpinanlah membuat
kelas tak pernah lolos sehari pun.
Sehingga, jika cuman Hajrah seorang
yang datang kelas tetap berjalan. Kelas akan terus dibuka setiap pekannya
seorang atau dua orang. Hajrah otomatis bisa mengambil peran sebagai
penyelenggara. Dia bisa berfungsi sebagai ketua kelas. Pesertanya, tentu Hajrah
seorang atau juga kak Uly yang selalu stand by di mukimnya. Artinya belajar
bukan soal siapa yang datang, melainkan sejauh mana ilmu itu dimungkinkan.
Literasi sejauh ini masih jadi
wacana minor. Atau barangkali wacana sampiran. Penandanya sejauh ini wacana
literasi belum bisa keluar dari lingkaran tertentu. Literasi masih dipandang
produk komunitas, bukan kebutuhan bagi perubahan. Sehingga, literasi dianggap
sebelah mata dan dinyatakan sebagai gerakan elitis. Padahal, di mana pun kitab
sejarah dibuka, di situ pasti ditopang tradisi literasi.
Makanya, wacana literasi harus
dibuka dari kedap suara komunitaskomunitas. Kalau perlu bukan sekedar
perbincangan di Kelas Menulis PI saja, tapi juga merembes di sudut
kampuskampus. Di tilik dari sini, kawankawan yang aktif di kampus harus jadi
corong suara buat gaung di masingmasing lingkungan belajar.
***
Ishak punya tema tulisan menarik.
Entah ide apa menyulutnya mau menulis soal suku Naulea di (pedalaman/pesisir?)
Maluku. Suku yang diceritakannya membikin sesembahan dengan pengorbanan kepala
manusia. Jadi, ditulisnya bahwa suku Naulea selain mengorbankan kepala orang
sebagai bagian dari ritual acara adat, juga mengasingkan perempuan jika
mengalami haid. Tidak cukup di situ, perempuan yang hamil juga ditinggalkan di
suatu tempat untuk dijauhi.
Suku Naulea, yang masih hidup
sampai sekarang, bisa jadi pembicaraan pembuka buat mempertanyakan masih adakah
suku semacam itu di tempat lain. Terutama soal tradisi kanibalisme, atau bentuk
ritual yang mengambil kepala manusia sebagai sesembahan. Di Toraja, kata
Rahmat, yang ikut dalam diskusi, menyebut di masa silam juga punya tradisi
serupa. Namun, di Toraja, bukan sesembahan terhadap kekuatan maha gaib,
melainkan kepala budakbudak yang dipenggal jika tuannya meninggal dunia.
Suku Naulea ditulis Ishak dengan
bentuk cerpen. Kekuatan cerpennya masih minim dari segi penceritaan. Ishak
masih belum maksimal membikin ceritanya jadi lebih hidup. Cerita yang hidup
tidak mesti dengan gaya bahasa yang diksionis, bisa juga dengan membangun
detail dari peristiwa yang diceritakan. Misalnya, jika menyebut
"parang" bisa juga menyebut terbuat dari apa dia dibuat, bagaimana
bentuk gagangnya, atau besi apa yang membuatnya jadi lebih tajam. Artinya, dari
situ "parang" tidak sekedar benda, tapi membuka ruang pembaca
mengetahui sejarah "parang" itu sendiri. Bisa mengetahui budaya apa
yang melekat di situ hanya membayangkan bentuk gagang parang, misalnya.
Dengan kata lain, kekuatan cerpen
Ishak dimiliki dari tema ceritanya itu sendiri. Unsur lokalitas begitu kuat di
sana, walaupun belum banyak yang bisa dieksplore. Ishak bisa saja membuat
konflik dari sudut lokalitas yang diperhadapkan dengan modernisme saat ini.
Atau sebaliknya, memasukkan unsur modernisme yang mengancam lokalitas suku
Naulea. Sehingga, dari cara macam itu, bisa saja ceritanya lebih kuat dan hidup
akibat memasukkan unsur pertentangan di dalam ceritanya.
Tapi, terlepas dari cerita ditulis
Ishak, bagaimanakah cara kita membayangkan kehidupan semacam suku Naulea dengan
tradisi kanibalisme. Sebab, di suatu tempat lain, atas nama religi, kanibalisme
jadi perbuatan halus dengan menyitir ayatayat Tuhan. Bagaimanakah cara keduanya
mampu bertahan di kehidupan yang menjunjung nilai kemanusiaan? Bagaimanakah
prinsip etis dan tradisi macam suku Naulea bisa diterima?
***
Matahari sudah jauh tenggelam di
balik atapatap rumah. Bulatan api itu seperti disedot ke bawah lantailantai
mukim yang berubah kebiruan. Malam datang, lampulampu dinyalakan tanda
orangorang enggan disapu gelap. Burungburung terbang membelah mendung. Jauh di
depannya siluet orange bergelantungan pelan mulai pucat.
Bersamaan dengan itu, kelas
menyisakan satu tulisan terakhir. Hajir bilang tulisannya hanya berupa catatan
perjalanan. Menurutnya minggu depan masih banyak waktu buat membahas
tulisannya. Akhirnya kawankawan sepakat kelas harus diakhiri. Tidak seperti biasa,
kali ini kelas ditutup lebih awal. Setelah magrib selesai, kelas mulai kosong.
Hajrah, orang pertama yang datang, dia juga orang terakhir meninggalkan kelas.