Kematian

Kematian memang peristiwa yang dahsyat. Dia membelah habis "yang ada" menjadi "tiada". Kedatangannya memutus ujung "yang ada" tanpa sisa. Kadang kematian datang menghentak pada situasi yang paling senyap, mengiris "yang ada" diamdiam. Bahkan, di sudut penuh suara, kematian bisa memukul habis "yang ada" dengan sekali tebas.

Berkat caranya itu, juga kematian akhirnya menjadi peristiwa misterius. Dia, sebuah peristiwa yang tak didugaduga. Peristiwa tak disangkasangka. Akhirnya, orangorang yang ditinggal pergi harus mafhum, kematian pada akhirnya adalah cara manusia melintas ke alam "seberang".

Kiwari, betapa banyak orangorang mati sepanjang titimangsa. Kadang akibat derita penyakit yang menggerogoti tubuh, membuatnya melapuk dan ditinggal membusuk. Kadang juga akibat jiwa tua yang tak mampu ditampung tubuh yang renta. Terlebih lagi akibat perang yang mengoyak dan membakar tubuh jadi amis. Akibatnya, banyak mata yang sembab karena tangis, juga tidak sedikit duka dibuat berkepanjangan.

Kematian dengan begitu adalah kejadian yang mendaur ulang kehidupan. Merotasi yang pergi dan yang datang, sebab di ujung kematian merupakan suatu awal bagi yang lain. Begitulah, kematian dan kelahiran adalah dua mata alam yang terus bekerja sebagai hukum abadi.

Heidegger, filsuf eksistensialis Jerman menyatakan, kematian bahkan sudah "diemban" semenjak manusia masih bayi. Bahkan kehidupan disebutnya sebagai sein-zum-tode, ada-menuju-kematian. Suatu keadaan yang tak terhindarkan dan telah tertanam di dalam kehidupan itu sendiri. Karenanya, kehidupan menjadi berarti akibat kematian yang menganga di ujung suatu titik. Kematian akibatnya adalah peristiwa alami yang membuat kehidupan itu sendiri menjadi asasi.

Artinya, semenjak tubuh manusia keluar dari alam rahim, suatu fase di mana tubuh manusia masih begitu muda, di situ sang maut, mahluk yang bersemayam di alam duka, sudah bersamanya semenjak asal. Sang kematian dengan begitu, sedari awal turut ikut menggerayangi tubuh yang tumbuh, langsung dari dasar keberadaan manusia . Di saatsaat itulah, kapan saja kematian, yang identik dengan maut itu, bisa datang memisah tubuh dari jiwa dari dalam. Merampasnya dari segala macam ikatan.

Itulah sebabnya, hidup akhirnya jadi sesuatu yang berharga. Suatu keadaan di mana manusia harus menaruh mawas terhadap kematian. Heidegger bilang, hanya manusialah yang mengalami kematian. Karenanya, kematian satusatunya penanda otentik, keaslian, seseorang. Sebab, yang lain -entah hewan juga tetumbuhan, atau seluruh keberadaan selain manusia hanya bisa mengalami kepunahan. Kematian, yang khas manusiawi hanya kepunyaan manusia itu sendiri. Dan, karena keberadaan manusia sejak asal sudah dibayangbayangi kematian, maka tiada lain suatu cara harus ditempuh untuk menyambutnya; kecemasan.

Kecemasanlah suatu sikap yang membuat manusia akhirnya mesti bertindak memasuki genangan paling dasar dalam keberadaannya. Di situ dia akan bercengkrama dengan suatu pemikiran bahwa titik akhir adalah suatu fenomena yang samarsamar di ujung sana, sesuatu yang tak didugaduga keberadaannya. Kematian, karena sudah dimulai semenjak kelahiran itu sendiri, akhirnya bukan suatu titik akhir, melainkan rentang panjang manusia dalam waktu untuk menyambanginya. Di saat menyambut kematian itulah, yang tidak disangkasangka kapan terjadi, kecemasan membuat manusia menjadi sadar, bahwa berpikir tentang kematian pada akhirnya memikirkan kehidupan itu sendiri.

Akibatnya, kematian dengan begitu adalah peristiwa kehidupan manusia dalam kecemasan masingmasing. Itulah mengapa, kematian menjadi tanda keontentikan manusia. Peristiwa kematian, bukan peristiswa yang bisa disematkan kepada orang lain. Kematian, kejadian yang membelah tubuh dan jiwa itu, adalah peristiwa paling sunyi di dalam kecemasan seorang belaka, suatu peristiwa pribadi. Dia adalah satusatunya tindakan manusia di tengah alam kesendirian. Suatu laku keontentikan.

Maka siapa yang bisa menolak kematian jika itu tanda keaslian manusia. Seperti saat manusia datang dengan tubuh yang mungil dari alam kesendirian, kematian adalah cara hidup manusia menuju kesendirian yang asli, saat dia mencapai batas antara yang ada dengan yang tiada.

Tapi malang, kadang kematian dibuat jadi tidak khidmat. Kematian dengan cara begitu adalah kematian yang dipaksakan. Kematian yang terpaksa dan dipaksa, akibat seringkali dibuat antikemanusiaan dengan beragam pseudo ismeisme. Atas nama negara, ideologi, juga agama, kematian yang kerap ditampakkan dengan cara bom bunuh diri, perang, penyerangan, juga pengrusakan, jadi peristiwa yang bengis juga sadis. Khidmat yang menjadi esensi kematian itu sendiri, akhirnya berubah jadi peristiwa teror yang menyulut horor.

Kematian yang tidak dilalui dengan suatu sikap mawas tapi justru dengan cara destruktif pada akhirnya hanyalah cara manusia yang tidak otentik. Walaupun di situ, di balik kematian ada suatu dunia yang begitu kuat menarik seluruh totalitas kesadaran manusia, dan karenanya mendorong manusia untuk melakukan peristiwa mati, itu bukanlah sikap manusia otentik menurut Heidegger. Manusia otentik, berdasarkan horison pemikiran filsuf kekasih gelap Hannah Arendt ini adalah manusia yang selalu mawas menjalani keseharian sembari berharap atas suatu arti di dalam kehidupan itu sendiri, sebagai cara dia merawat kehidupan.

Barangkali, karena kematian begitu dahsyat, tak ada bahasa yang bisa mengucapkannya dengan baik. Kematian yang sunyi sekaligus khidmat, barangkali adalah kematian yang tak disertai bahasa. Dia terjadi saat percakapan begitu musykil, saat tatapan manusia berhenti saling silang, saat jiwajiwa dalam keadaan paling tenang, di suatu malam ketika tubuh mulai rebah tanpa digubah tangisan. Saat dia terjadi pada suatu momen tanpa orangorang tahu. Ketika dia datang bersamaan dengan jemari yang mulai dingin, dan tengkuk leher yang berubah sejuk. Saat di atas bubungan hanya putih berkilatkilat, di saat kepala tegak, juga ubunubun yang melunak. Ketika itu, kematian jadi peristiwa paling manusiawi, jadi kejadian paling sepi dalam senyap.

Syahdan, kematian akhirnya pasti datangnya. Dia memisah "yang pergi" dengan "yang tertinggaĺ". Membelah "yang ada" dengan "yang tiada". Karenanya, "yang tertinggal" pasti merasa sedih juga sakit. Membuat luka lebar akibat disayat perpisahan. Namun, "yang pergi" bersama kematian selalu menjadi pengingat, bersama kecemasan dan "yang tertinggal", hidup harus dibuat berarti. Hidup harus dibuat lebih mawas. Hidup karena itu adalah suatu bulatan sekali melingkar tanpa bisa bergerak pulang. Dengan kata lain, seperti kata syair yang diulangulang itu; "sekali berarti setelah itu mati."