
Itulah sebabnya, mengapa kenangan menjadi peristiwa
yang menghentak. Dari suatu gambar, kembali bergerak adegan demi adegan,
kejadian demi kejadian, barangkali juga perasaan demi perasaan, yang membuat
suatu jarak nampak tegas membelah masa lalu dan masa kini.
Kadang karena itu suatu tujuan bisa jadi tegang; sudah
sampai di manakah sekarang? Biasanya, jika suatu tujuan jadi genting akibat
masa kini yang melenceng, "aku" sebagai pusat, yang selama ini jadi
sandaran segala hal, harus disoal kembali.
Soal itu pada akhirnya barangkali berbunyi; siapakah
aku ini, di antara kerumunan orangorang? Siapakah aku sekarang, yang bergerak
dari pengalaman dan kenangan? Siapakah aku ini, yang kadang lupa bahwa hidup
berarti bukan sekedar apa tapi mengapa? Siapakah aku ini, yang berdiri di atas
debu dan di bawah semesta galaksi?
Saya rasa memang hidup harus membuka segala jeda. Di
situ, seringkali yang esensil bukan sekedar titik yang dikepung keramaian. Yang
esensil, kadang karenanya adalah seinci celah untuk diintip dengan kesunyian.
Yang esensil, kerap memang jadi inti yang asing dari hiruk pikuk, maka
karenanya butuh sepengalaman tersendiri. Butuh aku yang polos, tanpa apaapa.
"Aku" yang polos itulah barangkali sering
muncul saat suatu gambar dilihat bukan sekedar jutaan warna. Melainkan dari aku
yang polos, gambar bisa berubah lain. Dia jadi ujud yang bicara. Mungkin,
karena memang demikian, orangorang sering dibuat sedih jika melihat sebuah
peristiwa direkam.
Suatu gambar barangkali hanya merekam yang tampak di
depan. Toh jika suatu dimensi di ruang belakang berhasil ditangkap, gambar
selalu menaruh fokus apa yang tampak paling di depan. Artinya, gambar hanyalah
gambar. Dia tidak mewakili berbagai macam dimensi yang direkamnya. Dia hanya
replika.
Namun, nilai unggul gambar apa yang tampak justru
menjadi jangkar. Itulah sebelumnya dia seperti lorong waktu, mengangkut seluruh
kekinian ke masa lalu. Dan, dengan "aku" yang polos itulah kita bisa
bilang: memang aku bukan apaapa.
Karena itulah sejarah kadang pedih, sebab jika hari
ini telah beragam kejadian tercipta, tapi dulu memang "aku" yang
polos harus sadar bahwa waktu silam merekam "aku" yang memang bukan
siapasiapa. Di situ, yang asal memang jadi sesuatu yang penting. Bahkan, tanpa
itu, "aku" di masa depan akan mudah rusak.
Akibatnya, memang harus sering melihat kembali, yang
asal, suatu titik tempat bermula. Kadang memang masa depan mampu membuat
"aku" bertumpuk atribut; masa depan membuat orang bergairah mengejar
citacita; masa depan malah mimpi untuk orangorang mengumpulkan segalanya; masa
depan kekuatan yang menyulap orangorang jadi sesuatu, tapi yang asal, sejarah
"aku" yang polos bermula, sekali sapu mampu membuat orangorang
menjadi bukan apaapa.
Lalu, apa artinya masa depan? Entahlah. Mungkin yang
salah karena "aku" sering memendam syahwat keabadian. Lalu, atas nama
masa depan, suatu saluran dibangun demi berjalannya syahwat, untuk keabadian.
Namun, di manakah keabadian itu bertempat? Mungkinkah memang dia ada, walaupun
karenanya orangorang bisa berubah tibatiba?
Konon, karenanya gambar diciptakan untuk merekam
sesuatu menjadi abadi. Tapi, mungkinkah orang lupa, bahwa suatu gambar yang
terbatas itu mampu meringkus keabadian pada suatu bentuk? Malah, karena dia tak
mampu, gambar sekaligus jadi media sesuatu yang terbatas untuk merekam yang tak
terbatas. Di sini, gambar memang lorong waktu, dia jadi jembatan kepada dunia
yang tak mengenal batas.