![]() |
Freedom Writers Film bertema pendidikan dibintangi Hillary Swank |
Pendidikan jika dibilang cara orangorang bersuara, barangkali juga adalah cara orangorang menyatakan sikap. Itulah yang dibuat Erin Gruwell (Hillary Swank), dia menemukan suatu cara agar pendidikan bukan sekadar demi tujuan normatif belaka. Pendidikan barangkali, bagi Gruwell adalah celah bagi orangorang memperbaiki suatu soal.
Semua itu bermula ketika Gruwell mendaftarkan diri mengajar di Woodrow
Wilson High School di suatu sudut New Port Beach, Amerika Serikat. Suatu kawasan yang
mengalami pembelahan kelompok rasial. Daerah rentan akibat konflik laten yang
bertahan sejak nlama dalam ikatanikatan sosial kebudayaan warga kotanya. Bahkan
suatu hirarki terbangun di dalamnya, memotong secara vertikal kelas masyarakat
secara bertingkat. Di New Port Beach, akibat kebijakan integrasi antar
ras, tidak sendirinya menghapus konflik rasial yang semenjak lama tak
terselesaikan.
Sebab itulah, pesimisme ditunjukkan Kepala Departemen Woodrow
Wilson High School, Margareth Campbell (Imelda Staunton) saat Erin Gruwell
menyatakan idealisme seorang guru kala memperlihatkan program mengajarnya.
Pesimisme itu datang dari pengalaman suatu daerah ketika melihat muridmurid
sekolah yang terlibat konflik antara kelompok tak patut diharapkan. “Sebagian
baru keluar dari penjara anakanak. Satu dua orang mungkin pakai alat di mata
kaki untuk awasi keberadaannya. Kita harus merevisi rencana pelajaranmu, jika
kau lihat nilai mereka dalam pembendaharaan kata, sebagian buku ini “Homer’s
the Odyssey” akan terlalu sulit untuk mereka..” bilang Kepala Departemen. Tapi,
Gruwell punya semangat, punya niat, dia bilang, “aku ingat saat menonton
kerusuhan LA di tv, saat itu aku sedang ingin ambil sekolah hukum dan berpikir
saat kau sedang membela seorang anak dipengadilan, perang sudah kalah. Kurasa
pertempuran sebenarnya harus terjadi di sini, dalam kelas.”
Kisah Erin Gruwell adalah kisah orang yang punya visi. Kisah
perjuangan seorang guru yang melihat soal pendidikan tak sekadar perkara ilmu
pengetahuan. Suatu maksud bahwa peran guru harus ditempatkan secara nyata
ke dalam ikatan sosial lebih dari hubungan di dalam kelas. Kisah Erin Gruwell
adalah kisah seorang yang punya perhatian. Barangkali karena itulah kisah
seorang Gruwell, perempuan guru itu di angkat ke layar film.
Freedom Writers, begitu judul film yang saya saksikan itu
menyinggung banyak perkara. Melalui “penuturan mata” Eva (Aprill Lee
Hernandez) –salah satu murid Gruwell keturunan Hispanik, film itu dibuka
melihat suatu setting sosial kultural kehidupan perkotaan yang guyah akibat
kriminalitas khas Amerika selama bertahuntahun: konflik antar ras. Bahkan
semenjak awal, film ini sudah mengambil sudut pandang korban rasialis yakni Eva
itu sendiri sebagai “mata khalayak” untuk memahami persoalan.
Eva –seperti juga temanteman seangkatannya,
adalah perwakilan generasi yang masuk ke dalam warisan konflik turuntemurun
akibat struktur sosial yang timpang. Eva berusaha memperlihatkan bahwa di dalam
ikatanikatan yang guyah itu, perebutan identitas adalah hal yang musykil
ditampik. Identitas adalah ihwal yang harus diperjuangkan. Dalam “mata
kultural” Eva, identitas bukan sekadar penanda suatu kelompok belaka, melainkan
suatu cara orangorang menyatakan sikapnya di antara struktur sosial yang tidak
adil. Di baliknya, ada pandangan suatu kelompok yang mau diangkat kepermukaan,
ada suatu cara ras melihat dunia, juga ada suatu nasib yang mau diperbaiki.
Akibatnya, konflik berdimensi rasialis itu tidak saja bertahan di
dalam kehidupan antara kelompok, tapi juga masuk merembesi sampai di dalam
kelas tempat Eva bersekolah.
Rembesan konflik itulah yang akhirnya menjadi imanen di dalam
kelas tempat Gruwell mengabdi. Di saat hari pertamanya mengajar, Gruwell tak
menyangka bahwa anakanak didiknya merupakan bagian dari konflik yang jauh lebih
besar terjadi di balik temboktembok sekolah. Kelas, begitu juga anak didiknya,
bukanlah seperti yang dibayangkan Gruwell. Ekspektasinya adalah imajinasi yang
terbangun dari struktur masyarakat yang normatif normal. Cakrawala kulturalnya
adalah horison pemikiran yang repetitif dari kelas masyarakat menengah atas,
yang tak pernah menemukan secara “padat” situasi masyarakat marginal perkotaan
yang tersekatsekat oleh warna kulit. Akibatnya, Gruwell seperti tipology masyarakat menengah perkotaan,
kaget dengan situasi kelas yang dihadapinya.
Namun, Gruwell bertindak lebih dari tindakan kultural rekanrekan
kerjanya. Saat dia menyadari bahwa situasi kelas yang diampunya adalah cerminan
pembelahan yang terjadi dari kehidupan masyarakat, dia mengambil sikap. Melalui
pendekatan belajar yang diterapkannya sendiri, dia berhasil masuk memahami
keadaan kelas yang terfragmentasi secara kultural. Saya kira, di sinilah
ketokohan ditunjukkan Gruwell sebagai bukan sekedar guru normatif belaka,
melainkan mau membuka diri memahami persoalan yang dihadapi muridmuridnya.
Saat itulah, Gruwell mengalami semacam pembalikan cara pandang.
Terutama saat dia diperhadapkan kepada suatu momen krusial di halaman
sekolahnya (menit 39, detik 20), di situ barangkali Gruwell membatin,
pendidikan harus mampu mengambil peran lebih dari sekedar tuntutan
kurikulum. Tindakannya pasca kejadian ini merupakan ambivalensi dari sikap
kolektif rekanrekan kerjanya yang memandang secara sinis keberadaan muridmurid
masyarakat kelas dua. Sikap antipati akibat perbedaan warna kulit, seperti dinyatakan
rekan kerjanya, juga mempengaruhi penyelenggaraan pendidikan di sekolah itu.
Kurikulum atau pendekatan pendidikan yang diterapkan Woodrow
Wilson High School, seperti yang dirasakan Gruwell sendiri adalah jenis
pendekatan liberal-konservatif yang mengandaikan perbedaan anak didik
berdasarkan latar belakang sosialnya. Bahkan, semenjak awal, kelas yang
diamanahkan kepada Gruwell adalah kelas “buangan” yang diperuntukkan bagi
anakanak masyarakat nomor dua. Pemilahan secara sengaja ini, bukan saja membelah
lingkungan muridnya berdasarkan warna kulit, juga menerapkan perlakuan
diskriminatif melalui anggaran dan fasilitas yang diberikan sekolah. Akibat
kebijakan yang diskriminatif itu, Gruwell harus bertindak mandiri menyelesaikan
persoalan yang dihadapinya.
Akhirnya di sinilah nampak persoalan usang itu: sistem vs tindakan
aktor. Yang menyaksikan Freedom Writers pasti menyadari selain isu rasialisme,
problem pendidikan juga benderang ditampakkan adegan demi adegan dalam film
ini. Bahkan kalau mau dibilang, isu utama film ini adalah masalah pendidikan.
Film ini mengetengahkan situasi
sistem pendidikan dalam menemukan soal hingga mengambil tindakan solutif
atasnya . Sistem pendidikan yang kaku dan kurang tanggap situasi akibatnya
tidak mampu menaksir persoalanpersoalan krusial yang dihadapi muridmuridnya.
Sistem penyelenggaraan dan struktur birokrasi yang gemuk, akhirnya harus
mengakui tindakan cekatan dan terbuka terhadap situasi yang dilakukan Gruwell
merupakan kritik internal bagaimana pendidikan itu seharusnya diselenggarakan.
Alternatifalternatif yang diajukan Gruwell sebagai pendekatan
belajar mengajarnya berjalan bersamaan dengan pelajaran yang diampunya; Bahasa
Inggris. Melalui pendekatan literasi yang dipakainya, Gruwell yang awalnya
dipandang sebelah mata muridmuridnya mulai menyadari perannya. Cara pertama
yang dipakai Gruwell adalah dengan memberikan sejumlah buku jurnal agar
muridmuridnya dapat bercerita segala macam masalah yang dituliskan di dalamnya.
Melalui buku jurnal muridnya, Gruwell jauh lebih terang memahami situasi batin
dari masalah yang dialami muridnya selama bertahuntahun. Selain itu, dia juga
menghadiahkan sejumlah buku bacaan berlatarbelakang peristiwa Holocaust kepada
muridmuridnya dengan harapan mereka tahu bahwa soal yang dihadapi adalah bukan
sekedar masalah rasial antar geng, melainkan suatu masalah kemanusiaan. Dan
yang tak pernah dilakukan guru sebelumnya, dia mengajak muridmuridnya pergi
mengunjungi museum korbankorban Holocaust di suatu akhir pekan. Bahkan mereka diajak
makan malam bersama beberapa korban pembantaian Yahudi yang diundang di suatu
restoran. Dan, puncaknya adalah mereka bersedia didatangi oleh orang yang
pernah menampung Anne Frank –korban kekerasan Nazi, yang sebelumnya mereka
undang dengan cara mengirim surat langsung kepadanya.
Sistem penyelenggaraan pendidikan yang kaku memang sering jadi masalah pendidikan itu sendiri. Tapi, suatu metode yang berbasiskan situasi kongkrit dan dari situ diputuskan model apa yang layak dipakai, adalah cara efektif yang bisa mengubah suatu problem. Melalui konteks inilah pendekatan “baca-tulis” yang dipakai Gruwell bisa disebut terobosan. Pendekatan literasi yang dipakainya, tak disangka menjadi alternatif yang ampuh memotong jarak persoalan antara murid dan guru. Melalui jalan literasi, Gruwell menemukan cara bersuara muridmuridnya dari tekanan “suara mayoritas” yang mengaburkan “suarasuara minoritas” masyarakat nomor dua. Lewat kisahkisah yang ditulis muridnya, “suarasuara” masyarakat marginal perkotaan dapat terekspose ke permukaan. Melalui tulisan muridmuridnyalah, penampakan cakrawala bathin anakanak kelas masyarakat bawah begitu gamblang diketahui.
Sistem penyelenggaraan pendidikan yang kaku memang sering jadi masalah pendidikan itu sendiri. Tapi, suatu metode yang berbasiskan situasi kongkrit dan dari situ diputuskan model apa yang layak dipakai, adalah cara efektif yang bisa mengubah suatu problem. Melalui konteks inilah pendekatan “baca-tulis” yang dipakai Gruwell bisa disebut terobosan. Pendekatan literasi yang dipakainya, tak disangka menjadi alternatif yang ampuh memotong jarak persoalan antara murid dan guru. Melalui jalan literasi, Gruwell menemukan cara bersuara muridmuridnya dari tekanan “suara mayoritas” yang mengaburkan “suarasuara minoritas” masyarakat nomor dua. Lewat kisahkisah yang ditulis muridnya, “suarasuara” masyarakat marginal perkotaan dapat terekspose ke permukaan. Melalui tulisan muridmuridnyalah, penampakan cakrawala bathin anakanak kelas masyarakat bawah begitu gamblang diketahui.
Berbasiskan permasalahan itulah semenjak awal tokoh yang
diperankan pemenang dua piala Academy Award ini merumuskan tujuan
pendekatannya. Pendekatan yang diterapkannya akhirnya mampu memutuskan
batasbatas kebudayaan yang selama ini dialami muridmuridnya. Bahkan konsep
kelas yang dipersepsikan sebagai ruang belajar turut berubah seiring hadirnya
kedekataan kekeluargaan di antara muridmuridnya. Dari pengakuan salah satu
muridnya, kelas bukan lagi sebagai sekatsekat yang membuatnya tersingkirkan
dari ruang publik, melainkan berubah menjadi rumah tempat dia menemukan
keluarga. Dari pendekatan yang dipakainya, Gruwell akhirnya mampu meretas
problem kultural yang laten terjadi di sekolahnya.
Relasi gender inilah yang tampak ketika
adeganadegan Gruwell pulang dari sekolah. Awalnya, ia tak menyadari bahwa
keseriusannya mengurusi muridmuridnya membuat suaminya merasa “tak dilayani”.
Apalagi ketika Gruwell bergerak jauh dengan mengambil tambahan pekerjaan untuk
mendukung programprogram belajar mengajarnya. Akibat minimnya waktu bersama
yang dialami keduanya, suami Gruwell mulai merasakan dampak serius dari
kekurangan perhatian dari isterinya. Relasi gender yang mempertautkan
kemerdekaan perempuan dalam mengambil peran dan antara kebutuhan psikis maupun
biologis dengan seorang suami, akhirnya mengharuskan hububungan rumah tangga
mereka putus di tengah jalan.
Dari sudut problematis ini, persoalan relasi
gender nampaknya juga ditampakkan walaupun hanya menjadi cerita sekunder dari
kisah yang sebenarnya terjadi. Urusan rumah tangga Gruwell bersama
suaminya, Scot Casey, menjadi problem turunan akibat persoalan pendidikan yang
dihadapi Gruwell di sekolahnya. Di sini secara implisit hubungan secara kausasi
antara situasi makro (pendidikan) diperlihatkan secara diamdiam mampu merasuk
mempengaruhi relasirelasi privat ditingkatan mikro (keluarga). Artinya, situasi
yang dihadapi Gruwell menjadi lebih berat karena tidak ditopang dengan hubungan
keluarga (suami-istri) yang bisa menjadi modal bersama dalam memecahkan
permasalahan yang terjadi.
Akhirnya, film ini ditutup dengan suasana happy ending setelah Gruwell melakukan sejumlah
usaha ke beberapa pimpinan sekolah hingga distriknya. Tujuannya untuk
mengajukan langkahlangkah lanjutan agar kelas yang dibinanya masih diampunya di
tahun mendatang. Walaupun semenjak di tengah jalan usahanya sering gagal akibat
aturanaturan baku birokrasi, jalan berliku yang dialaminya tak dinyana
mendatangkan sinyalemen positif. Di akhir cerita, sembari menunggu kedatangan
guru inspiratifnya, muridmurid Gruwell berkumpul di suatu tempat hanya untuk
mendengarkan kabar terakhir perjuangan kelas mereka. Akhirnya, setelah
dirundingkan bersama pihak pimpinan, maka diputuskan Gruwell bakal melanjutkan
kelasnya sampai ketingkat senior. Informasi itu datang menghapus kerisauan
muridmuridnya yang harapharap cemas menunggu informasi yang bakal menentukan
masa depan mereka beberapa tahun ke depan.
***
Kalau mau diajukan kritik, ada beberapa poin yang bisa ditunjukkan
dari film berdurasi dua jam ini. Pertama, inisiatif Gruwell mencerminkan
semangat individualisme masyarakat modern yang ditampakkan dari usaha Gruwell
menghadapi persoalannya. Inisiatifinisiatif perempuan guru ini tidak mampu
membentuk kolektifisme kerja demi menanggulangi persoalan pendidikan di
sekolahnya. Bahkan tidak ada usaha bersama ditunjukkan kepada pihak sekolah
dengan membangun “keresahan” yang mengakar di antara sesama profesinya. Guru,
jabatan profesional yang diembannya, belum mampu ditransformasi menjadi semacam
kritik lebih jauh kepada rekan sesamanya. Usaha ini seharusnya mampu dibuatnya
dengan memanfaat sejumlah media yang banyak meliput aksiaksi sosial saat
melakukan sejumlah usaha pencarian dana. Melalui pendekatan ini, Gruwell bisa
mendorong kesadaran rekanrekan kerjannya untuk mengubah cara pandang rasialis
yang masih kuat mengakar di sekolahnya.
Kedua, apabila kita melihat representasi kekuasaan dalam jejaring
institusi pendidikan yang ditunjukkan Freedom Writers, maka akan ganjil jika
melihat seorang kulit hitam yang menjadi salah satu pemimpin di dalamnya. Film
jika disebut sebagai citra kebudayaan, maka Freedom Writers memperlihatkan
“kebungkaman” pimpinan distrik yang masih terbatasi dengan sejarah rasial kulit
hitam. Ada dua lapis soal yang membuat pimpinan distrik sekolah Gruwell
sulit memberikan semacam bantuan. Pertama adalah kewenangan yang bakal melanggar
otonomisasi manajemen sekolah yang dimiliki jika dia berindak jauh
menggunakan jabatannya. Di sini nampak jelas persoalan birokrasi yang berbelit
tak mampu responsif mengambil sikap. Kedua, sang pimpinan distrik belum bebas
sepenuhnya dari tatanan kultural masyarakat Amerika yang berpandangan rasialis.
Akibatnya, dia sebagai orang kulit hitam hanya menjadi “juru dengar”
tanpa bisa berbuat apaapa karena menanggung beban sejarah yang dibuat orang
kulit putih.
Dua hal inilah yangmenghambat kenapa Gruwell sulit mendapat
dukungan dari pihak pengambil kebijakan. Padahal, melalui mediasi yang ada,
Gruwell dapat bertindak jauh jika semenjak awal dia bisa meyakinkan bahwa
persoalan yang dihadapi bukan sekedar masalah di dalam kelas semata, melainkan
menyangkut kebijakankebijakan distrik setempat dalam dunia pendidikan.
Ketiga, pendekatan literasi di dalam film ini hanyalah sampiran
atas problem yang dialami. Walaupun di akhir film, mereka mampu membuat satu
buku kumpulan kisahkisah berbau diskriminatif, tetap saja gerakan literasi ini
hanya sebatas media penyaluran perasaan subjektif tanpa mengubah keadaan
objektif di masyarakat. Seharusnya, gerakan literasi harus menjadi pilihan
utama dalam pendekatan kurikulum yang dipakai di setiap jenjang pendidikan.
Sehingga bisa jadi model yang diajukan Gruwell bukan sekedar pendekatan yang
hanya diterapkan di dalam kelas, melainkan menjadi gerakan kultural yang
dilakukan di setiap lapisan masyarakat.
Walaupun begitu, melalui pendekatan literasi, pendidikan
diharapkanbukan sekedar upaya yang memajukan tatanan kognitif anak didik
belaka, melainkan melibatkan seluruh totalitas kesadaran ketika berhadapan
dengan suatu tindak baca tulis, melebihi upaya verbal yang selama ini dipakai
dalam pendekatan pendidikan.