catatan kelas menulis PI, pekan 10

Harus saya akui, kali ini redaksi Kala teledor soal cetakan edisi 10. Di terbitan tertanggal 27 Maret itu, judul kolom khusus kepunyaan Sulhan Yusuf salah cetak. Tulisan yang seharusnya berjudul Arsene, Arsenal, dan Arsenik, malah jadi Arsene, Arsenal, dan Arsenal. Ini gawat, malah justru fatal.

Saya kira, di sini harus diakui, redaksi Kala belum punya prinsip kerja yang matang. Jika Kala mau dibilang media, redaksi Kala malah belum punya sistem. Media manapun, seharusnya punya mekanisme kerja yang jelas, semacam standar operasional kerja. Kala, jika disebut media, harus punya redaksi yang mapan. Atau, setidaknya, untuk ukuran buletin sederhana, bahkan selebaran, harus punya orangorang yang berpengalaman.

Kenyataannya, Kala bukan media mulukmuluk. Kala, hanya kertas dua tulisan yang terbit di akhir pekan bagi kalangan terbatas. Bahkan, sekali lagi, Kala hanya selebaran sederhana dan nyaris dengan tampilan yang monoton. Kala, dengan kata lain hanya selembar kertas berisikan tulisan hasil kelas literasi yang sudah berjalan hampir setengah tahun. Kala, dengan begitu hanya media yang sedang mencari pengalaman. Dari pengalaman minim itulah redaksi Kala bekerja. Juga, dari situ teledor itu datang.

Akibatnya, perlu ada kritik, terutama kepada mekanisme kerja redaksi Kala. Di sini, kalau mau diperjelas, redaksi Kala, secara teknis hanya saya seorang. Sehingga, kalau mau menyebut siapa yang teledor, bukan sistem atau semacam dewan, melainkan saya belaka.

Kesalahan atas sesuatu adalah hal yang lumrah, tapi jika itu datang dari suatu kerja yang lumayan sering, saya kira, itulah yang disebut teledor. Makanya, melihat hal yang tak diduga dari suatu usaha yang berulangulang, dan pada akhirnya tidak sesuai standar, di situ suatu prinsip kerja harus segera dievaluasi.

Konon, mediamedia besar, hanya soal editing bahasa dan tulisan harus melewati banyak meja -ada yang menyebut lima sampai enam meja. Di ruang kerja media, meja sama artinya dengan sepasang mata cekatan yang sudah akrab dengan berjuatjuta huruf. Artinya, jika ada lima meja, di situ berarti ada sepuluh mata mawas. Bahkan, sebuah meja berarti suatu sistem kerja. Di ruang kerja mediamedia, sebuah meja malah jadi suatu tekhnik evaluasi dan editing itu sendiri.

Bisa ditebak, dari setiap meja dengan mata yang cekatan, dan lima sampai sepuluh kali dibaca per mejanya, setiap tulisan yang masuk siap jadi objek tanpa cela. Dari mekanisme editing semacam itu, ada space yang lebar bagi setiap tulisan melewati proses yang begitu selektif. Akibatnya, tulisan dengan cara demikian menjelma karya siap baca.

Dulu saya pernah kerja beberapa lama di salah satu media di Makassar. Setiap malam, sebelum naik cetak setiap berita disorot, dilihat kesalahan ketik atau semacamnya. Kala itu setiap berita yang diperiksa dibaca setidaknya tiga orang. Jika menemukan typo, kesalahan pengejaan, istilah asing, atau ketidaklaziman sesuai standar ejaan, maka itu dibulati, diberikan tanda dengan tinta merah. Bahkan beberapa di antaranya diberikan semacam catatan kecil sebagai keterangan perbaikan. Kalau sudah, hasil print out beritaberita itu diserahkan ke bagian layout, dari situ tugas langsung layouter sekaligus memperbaiki kembali. Alhasil, cara seperti itu efektif jadi mekanisme editing sebelum berita betubetul naik cetak.

Kala, akibat tidak punya mekanisme macam itu, membuat setiap tulisan nyaris tak berubah. Kala, juga tidak punya banyak meja sebagai space editoringnya. Meja di Kala bahkan nyaris bukan sebagai sistem kerja. Dengan kata lain, redaksi Kala hanya memanfaatkan sepasang mata jika mau mengedit suatu naskah. Akibatnya, dari mata yang minim pengalaman itu, suatu tulisan akhirnya nyaris tetap sama sekali pra dan pasca editing. Bahkan, untuk kasus kali ini, justru itu berubah jadi kesalahan.

Tapi, keteledoran dengan sendirinya tak bisa dimaafkan. Kala, biar bagaimana pun harus berkembang dari waktu ke waktu. Soal judul yang akhirnya berubah redaksi bukan perkembangan, itu kemunduran. Makanya ini gawat, sekaligus juga fatal.

***

Menulis barangkali ibarat jalan pulang ke dunia yang pernah disinggahi namun asing. Di sana, suatu keadaan samarsamar digenggam buat ditulis kembali. Menulis berarti kembali dari dunia samar untuk suatu kabar kepada khalayak, juga sebagai tanda bahwa kita belum lupa.

Azan magrib bergelantung di langit jatuh merembesi setiap bilik. Menggema di bawah atap di saat lampulampu mulai dinyalakan. Bersamaan dengan itu kelas dipending. Orangorang bergegas, mengambil jedah. Sebagian lain memilih dudukduduk membaca, sebagian yang lain memilih meninggalkan kelas menuju asal suara.

Kala sekira pukul 20.00, piringpiring dikeluarkan dari bilik belakang. Gelasgelas berdenting. Kertaskertas yang berserakan disingkirkan. Waktunya makan malam. Seperti biasa makan berjamaah. Semua lahap. Semua kenyang.

Tak lama forum dilanjutkan kembali. Kali ini giliran Nain membacakan tulisannya. Dari bacaanya, dia mengisahkan hasil pertemuannya dengan seorang mantan PSK. Dia bilang, tulisan ini lahir dari ingatan yang sudah lama tersimpan. Di pertemuan yang sudah silam itu, Nain menuliskan kembali sepenggal kisah Ibu dua orang anak itu. Katanya, mantan PSK ini sudah berkeluarga, sudah punya suami. Dia juga bilang, mantan PSK itu, hari ini sudah berumur, makanya dia tinggal di panti rehabilitasi. Nain bercerita di akhir tulisannya, Ibu yang seharihari menjahit dan melakukan aktifitas kreatif lainnya itu ingin bertobat. Mizari, begitu nama PSK itu dulu bilang, "mauka berubah Nak". Begitulah akhir tulisan yang dibuat Nain.

Tapi, sebelumnya ada soal yang memicu perbincangan. Perkara itu dipicu oleh tulisan Sandra yang dinilai di luar kelaziman. Tidak sedikit kawankawan harus pelanpelan mengeja jika mau tahu pesan apa yang ditulis Sandra. Juga sering kali, pasca Sandra membacanya, beberapa pertanyaan diajukan untuk mengetahui maksud kalimatkalimat yang mengandung banyak peristilahan. Sandra bilang, dia memang agak kesulitan menulis tulisannya yang sudah ditinggalnya beberapa lama. Juga, agak susah ketika menyambung tulisan yang memang sudah dipisah oleh dua situasi yang berbeda. Itulah sebabnya, tulisannya itu membuat kawankawan sulit menangkap pesan apa yang mau disampaikan.

Di satu sisi, setiap tulisan mewakili satu gaya. Bahkan setiap tulisan mengandung satu cara penulisnya menyatakan identitasnya. Soal ini saya kira dialami oleh kawankawan kelas menulis PI. Sandra, kali ini menyetor tulisan yang memang agak berbeda. Penggunaan bahasanya banyak menggunakan istilahistilah asing. Bahkan hubungan semantik dan sintakmatik dalam kalimatkalimatnya terkesan di luar ukuran standar. Tulisan Sandra, kalau mau dipahami, termasuk jenis tulisan yang membutuhkan penulis sebagai penafsirnya sendiri. Artinya, tulisan Sandra hanya bisa diketahui maknanya sejauh penulisnya turut hadir di belakangnya.

Saya kira, setiap tulisan harus mampu menyeimbangkan dua hal; isi dan bentuk. Kadang, dua poin ini tidak jalan secara proporsional sehingga kabur mengabarkan pesan. Kadang tulisan yang mengedepankan isi, tidak terlalu ambil pusing seperti apa gaya tulisan harus dijabarkan. Tulisan sejauh isi ingin disampaikan sudah cukup menggunakan bahasa dengan gaya sederhana. Isi, dari cara ini jauh lebih penting dibandingkan gaya bahasa yang bisa mengacaukan tatanan makna sebagai inti pesan buat khalayak.

Namun, gaya sebagai kemasan di saat tertentu juga menjadi penentu. Pengandaian kemasan sebagai kulit luar dari isi, adalah penampakan pertama yang memberikan kesan estetis bagi pembaca. Melalui kulit luarlah, dengan kesan yang estetis, isi tidak sekedar informasi yang memberikan pengetahuan, melainkan menjadi pesan yang menggugah rasa. Dengan cara itu, suatu tatanan bahasa akhirnya tidak sekedar alat penyampai pesan, tapi juga jadi unsur penting ketika pesan disampaikan. Di bagian inilah, orangorang sering mengambil bentuk sastra ketika mengemas tulisannya. Pertimbangannya bukan sekedar hanya soal gaya belaka, melainkan bagaimana suatu tulisan dilengkapi dengan unsurunsur retoris.

***

Semenjak kelas dibuka, kelas literasi mengedepankan tujuan agar setiap kawankawan mahir menulis. Berbeda dari kelas angkatan pertama, kelas angkatan kali ini menggunakan sistem yang mendorong agar setiap tulisan menjadi jejak rekam perkembangan kemampuan menulis. Sistem ini sengaja diajukan sebagai tolak ukur sekaligus bahan evaluasi sejauh mana perbaikanperbaikan dilakukan demi pencapaian tujuan.

Di kelas, kawankawan juga diharapkan saling memotivasi. Menjadi teman cerita, bahkan menjadi teman curhat. Kelas literasi, walaupun diformat sebagai kelas menulis, di beberapa kesempatan kadang sering kali dibuat jadi ajang diskusi. Di momenmomen itu, kadang diskusi bisa menyentuh banya soal, bisa melibatkan banyak perspektif. Akibatnya, dari situ sering bikin penasaran kawankawan jika ada satu tema tidak tuntas dibahas. Namun, harus dimaklumi, kelas literasi bukan forum kajian. Konsepnya berbeda.

Minggu depan, tentu banyak tulisan juga pasti banyak cerita. Tulisan, yang ditulis kawankawan, mungkin saja bukan sekadar tulisan belaka, barangkali di situ ada bathin yang bergulat penuh keresahan, ada kecamuk pikiran atas gagasangagasan, atau bahkan ada kisah yang mau dibilang. Kalau sudah begitu, siapa sangka itu berarti akan banyak cerita, akan banyak telinga, juga akan perlu banyak mata yang lebih peka.