Langsung ke konten utama

Perang

Saya sulit membayangkan hidup di tengahtengah masa perang; bangunanbangunan yang runtuh, jalan yang lenggang, desing peluru ketika melubangi tembok, bombom dengan kekuatan luluh lantah, jerit tangis dari tubuh saat dirangsek martil berkekuatan dahsyat. Serta harihari panjang tanpa kepastian. Perang di manapun peristiwanya, pasti melibatkan dua pihak yang bersitegang. Di manapun kejadiannya pasti menyisihkan yang lemah, pasti menundukkan yang kerdil.

Dalam perang sudah tentu ada pihak yang menanggung derita. Dalam perang yang menanggung derita selalu ada dominasi, di sana apa yang hendak ditundukkan tahu bahwa kemerdekaan adalah perkara yang tidak bisa datang sendiri, justru di saat peranglah, arti penting kemerdekaan punya maksud perebutan.

Di Palestin, perebutan itu sudah berumur panjang. Hingga akhirnya perebutan itu berbuah sengketa. Dan apa yang paling memilukan sekaligus membuat rasa marah dari sebuah sengketa, jika perebutan lahir dari sebuah agama. Dari itu, yang ada adalah proses penyisihan yang bukan golongan. Yang berlaku dari itu hanya satu hal; pemurnian.

Namun bukan saja agama yang menyulut pemurnian yang turut sumbangsih, biangnya lebih dari itu, di sana sejumlah pengaturan diterapkan, menyangkut siapa yang layak tinggal kemudian pihak siapa yang harus angkat kaki, jika sudah demikian ini berarti sejumlah kepentingan turut nimbrung. Ini berarti di sana tidak sekedar soal agama, ini artinya di sana juga soal politik.

Di tanah tiga keyakinan itu, politik punya urusan yang berbeda. Bagaimana sebuah sejarah adalah bahan baku dari pertautan yang melibatkan identitas, sebenarnya merupakan hal yang sudah terlanjur runyam. Dalam hal ini, ide identitas bersama dalam bangsa, dalam negara, selalu mengandung dilema di dalamnya. Di titik ketika identitas dirumuskan, di sana ada pengandaian antara siapa yang warga dan yang bukan warga. Sehingga pengukuhan dari kedaulatan adalah masalah siapa yang berdaulat.

Akan halnya sebuah kedaulatan, identitas yang runyam, juga di dalamnya mengandung sejarah. Dari sana sebuah bangsa memiliki ikatan bersama, dari sejarah, sebuah negara sekalipun adalah perlu untuk mengidentifikasikan dirinya dan ihwal yang penting, yakni merupakan sesuatu yang mesti ditilik kembali. Bukan dengan maksud lain, hanya karena identitas adalah unsur yang harus mendapatkan pengakuan. Dan di Palestin, identitas mesti diluruskan.

Tetapi siapa yang berhak meluruskan, apalagi dari soal sejarah yang runyam dan panjang. Maupun identitas. Sebab bicara hak siapa yang mesti meluruskan adalah soal pihak yang paling diakui, namun dari sejarah palestin juga kita tahu, penjelasan tidak saja harus datang dari warga yang diinvasi, melainkan pula dari  pihak yang juga berkeyakinan sama bahwa palestin adalah tanah yang sama, daerah yang juga sudah dijanjikan.

Soal inilah yang sekiranya lahir sengketa, dari kejelasan sejarah ketika runyam akhirnya perang yang berlarutlarut tanpa ujung pangkal terjadi. Saat pihak yang mengklaim paling layak untuk tinggal harus disandarkan pada sejarah yang runyam itu, sekiranya perlu dialog, perlu pendekatan yang lebih manusiawi dibandingkan ketika senjata adalah satusatunya jawaban.

Dari semua itu jawaban apa yang kita tunggu? Kemerdekaankah? Atau sebuah kejelasan yang melibatkan jawaban yang tanpa distorsi? Yang barangkali kita sadari dari awal bahwa di negeri palestin ada sesuatu yang salah atau mungkin saja janggal. Oleh karena pelbagai perang serta invasi yang menyulut perhatian. Karena di palestin bukan saja soal pengakuan kemerdekaan, juga bukan lagi dalam konteks sejarah siapa yang benar. Dari padanya ada yang jauh lebih dalam menyangkut etiket hidup. Yakni di Palestin adalalah juga soal kemanusiaan.

Maka hati siapa yang bakal tenang. Atau tidak gundah. Pada dunia seberang yang bergelimang duka. Pada bangsa yang terjajah saat negeri yang lain sudah mengurusi cara hidup yang baik. Di sana, Palestin ketika israel juga datang, baru ingin mengawali hidup. Ingin juga sama; berdaulat. Dengan ini saya teringat Guevara, dokter yang melihat bangsa yang sakit, dalam ucapannya, kirakira; "ketika kau bergetar melihat penindasan, maka kau adalah bersamaku."

Sebab itu saya sulit membayangkan berada di saat kecamuk perang berlangsung. Juga ngeri. Ketika teror diamdiam merangkak masuk melalui pintu depan rumah. Mengetuk pelan namun jelas menerjang meringkus dan menghantam nyawa di bawah atap rumah yang bocor oleh serpih martir. Karena saya tahu, jika teror adalah cara untuk mengusir, saat demikianlah jiwa terancam menjadi barang yang mudah hilang.

Untuk itulah ada yang mesti dibela, bukan karena agama, ataupun atas nama bangsa yang ingin merdeka. Justru karena atas kemanusiaanlah Palestin layak untuk turut hidup.


Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...