Berpikir, harkat manusia. Itulah
sebab, berpikir menandai keunikan manusia. Tiada yang menyerupainya.
Itulah juga, manusia diyakini
mahluk bermartabat. Berpikir membuat harkat tegak. Bekerja meneruskan
ide-idenya, manusia bermartabat.
Tiada zaman seperti sekarang
menempatkan harkat manusia serendah-rendahnya: era sibernetik. Selain kemajuan
pencapaian kebudayaan manusia, secara paradoks, zaman sibernetik, diam-diam
mensituasikan cara berpikir manusia menjadi lebih dramatik.
Bagaimana itu mungkin? Pertama, era
sibernetik menengarai dan menopang perubahan konfigurasi interaksi manusia.
Kedua, mutakhir, era sibernetik mau tidak mau membuat jalinan komunikasi
semakin kompleks dan sulit diantisipasi.
Ketiga, imbasnya, motivasi berpikir
ikut berubah seiring pertukaran informasi dari beragam budaya dan kebiasaan.
Keempat, peralihan dunia nyata secara virtual, mengubah antara “yang nyata” dan
“yang semu” tak dapat lagi dibedakan secara esensil.
Akhirnya, belum pernah ada
kekacauan begitu massif seperti sekarang. Ketika teknologi informasi bergerak
mengambil alih “otonomi” manusia. Kekacauan ini, sekaligus membuat cara pandang
baru apakah kebebasan manusia dimungkinkan di tengah kepungan teknologi
informasi.
Martabat manusia semakin kritis
akibat syaraf sensorik dan motorik menjadi lumpuh. Kelumpuhan ini bersamaan
“mesin-mesin” canggih melucuti medan kerja manusia di banyak bidang.
Misalnya, dari era mesin uap,
hingga kiwari, teknologi komputasi mesin-mesin robotik, pelan-pelan mengubah
kemampuan gerak otak dan otot manusia menjadi tidak berfaedah. Otot dan otak,
tak mampu berkembang alamiah sebagaimana alam menyediakannya.
Atas asumsi ini, satu dua
pernyataan kritis bisa diajukan: bagaimanakah kemampuan berpikir manusia di era
sibernetik? Apakah cara berpikir di era sibernetik masih mewakili motif-motif
manusiawi ketika kemudahan segala informasi dimungkinkan? Lantas, bagaimanakah
kebebasan di era sibernetik, terutama dalam dunia virtual, dengan asumsi tiada
kebebasan tanpa otonomi manusia?
***
Perkembangan informasi seharusnya
turut meningkatkan kemampuan analisis masyarakat. Secara kebudayaan, di samping
kemajuan kemampuan literatif, semakin banyak mencerna informasi dengan
sendirinya mengembangkan cara berpikir masyarakat menjadi terbuka. Kalaupun itu
tidak dimungkinkan, perlu diimbangi proses edukasi bertahap seiring semakin
majunya cara masyarakat mendapatkan informasi.
Tapi secara kontradiktif, informasi
yang dikonsumsi tanpa melibatkan pertimbangan-pertimbangan kritis, di era
keterbukaan cyberspace tidak sedikit pun memberikan ruang
kontemplatif di dalamnya. Semakin banyaknya lintasan informasi, mengakibatkan
ambivalensi manusia yang tidak mampu menemukan relasi makna terhadapnya.
Sisi lain, ketidakmampuan menelaah
kompleksitas informasi, malah menghadirkan keinginan menggebu-gebu menjadi agen
perubahan. Caranya, menyebar informasi nonkebenaran sebagai wacana keyakinan
mayoritas. Jika sudah demikian, hasrat berbagi informasi, diyakini paralel
bagian dari tanggung jawab sosial.
Itu imbas sifat keterbukaan dunia
virtual, mengakibatkan orang-orang menjadi subjek sekaligus objek informasi.
Sebagai subjek, orang-orang mampu mereproduksi kepentingannya melalui sebaran
informasi. Sebagai objek, informasi yang banyak beredar membuat masyarakat
kehilangan prinsip-prinsip otonominya.
Jean Baudrillard menyatakan
keberlimpahan arus informasi yang mendikte masyarakat ke tingkat ekstrim bisa
sampai mengalami implosif. Implosif, mengandaikan sifat ledakan yang mengarah
ke dalam suatu pusat. Berbeda dari eksplosif, arah ledakan ke dalam, bukan
merusak apa saja di luarnya, melainkan masuk merusak tatanan pusat yang
terbentuk sebelumnya.
Berdasarkan analisis Baudrillard,
tekanan arus informasi, tidak mampu diantisipasi dan dikelola, akan berdampak
kritis terhadap kesadaran. Menumpuknya informasi berdampak ledakan
implosif di dalam kesadaran. Kepungan informasi dan minimnya kemampuan mendaur
ulang informasi, sebab utama ledakan implosif terjadi.
Di tahap ini, kesadaran bukan lagi entitas utuh yang mampu membangun reflektifitas terhadap informasi. Juga, kesadaran kehilangan daya pikirnya, sehingga secara psikis, diambil alih sisi emosional yang guyah. Hilangnya terang kesadaran, meluasnya emosionalitas sampai menyasar aspek-aspek kognitif, bagi kemampuan berpikir, berdampak hilangnya otonomi kesadaran itu sendiri.
Di tahap ini, kesadaran bukan lagi entitas utuh yang mampu membangun reflektifitas terhadap informasi. Juga, kesadaran kehilangan daya pikirnya, sehingga secara psikis, diambil alih sisi emosional yang guyah. Hilangnya terang kesadaran, meluasnya emosionalitas sampai menyasar aspek-aspek kognitif, bagi kemampuan berpikir, berdampak hilangnya otonomi kesadaran itu sendiri.
Proses deotonomisasi kesadaran
akibat kepungan informasi, otomatis menggiring masyarakat kepada cara berpikir
dangkal, semu. Baudrillard mendenotasikan ini sebagai kesadaran yang dibentuk
dan diambil alih simulakrum, kesadaran yang bergerak atas makna artifisial
dunia maya.
Pengertian simulakrum, yang
dibentuk cyberspace, adalah duplikasi kenyataan dunia virtual
atas permainan canggih simbol-simbol. Simulakrum, dengan kata lain, dunia fana
virtual yang mengambil alih kenyataan dunia ril.
Kaitan kemampuan berpikir
masyarakat sibernetik, duplikasi simbol-simbol dan kecanggihan logika
algoritma, membuat manusia terdehumanisasi. Kemampuan berpikir manusia menjadi
lemah. Kerja-kerja analitik, eksplanatif, deskripsi, kritis, akhirnya hanyalah
pengandaian saat menggunakan mesin-mesin cyber canggih dan
mutakhir. Toh jika ada, kemampuan berpikir mandiri, sudah diwakili mesin
canggih berkat kemampuan artifisial inteligennya.
Syahdan, berkat dahsyatnya centang
perenang beragam informasi, berpikir bukan lagi usaha primer manusia. Alasannya
sungguh sederhana: tiada yang bisa dipikirkan lagi. Semuanya telah tersedia di
dalam jaringan informasi sibernetik.
***
Berpikir sepanjang kerja manusiawi,
tidak bisa dielakkan usaha yang netral. Sejauh berdasarkan hukum-hukum
logis-objektif, berpikir akan mewakili fungsi-fungsi rasionalnya. Dengan kerja
demikian, berpikir dikatakan media manusia mengafirmasi kebenaran.
Namun di era sibernetik, masyarakat
bukan kesatuan konvensional. Era masyarakat terbuka, beragam informasi membuat
masyarakat mudah mengkonfigurasikan diri melalui isi dan jenis informasi.
Masyarakat tidak permanen berhubungan lagi atas suku, ras, agama, atau bahkan
kekuatan-kekuatan pemersatu seperti diyakini selama ini.
Akibat beragam jenis informasi,
keutuhan masyarakat ditentukan sejauh tingkat pemahaman dan penarikan kesimpulan
kebenaran suatu informasi. Juga, perbedaan informasi, ikut menentukan karakter
keberagaman dan selera masing-masing kelompok masyarakat.
Itulah sebabnya, informasi di era
sibernetik tidak sekadar kabar yang memenuhi ruang publik masyarakat. Melainkan
menjadi wacana yang terintegrasi dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri.
Bahkan, sebagai kekuatan sosial
baru, arus besar informasi sehari-hari, bisa menjadi kekuatan konsensus atau
sebaliknya, mampu memicu pembelahan masyarakat.
Contoh paling terang kasus dugaan
penistaan agama oleh Ahok. Media informasi masif digunakan golongan tertentu
memicu integritas secara spontanik. Walaupun informasi memintasi lini masa
tanpa ada keakuratan dan kebenaran, yang juga tidak melibatkan fungsi kontrol,
akhirnya menjadi sarana pemersatu kepentingan berbeda.
Sebaliknya, informasi yang sama
menjadi kekuatan pemecah tanpa disertai konfirmasi kritis terhadap wacana yang
berkembang.
Dari kasus di atas, setidaknya ada
tiga pembacaan kritis bisa diajukan. Pertama, berita-berita tersebar masif
melalui dunia maya, mampu mengkonsolidasikan beragam kepentingan berbeda
melalui justifikasi-justifikasi teologis. Akibatnya, perbedaan selama ini
menganga atas dasar pilihan politik, ekonomi, kebudayaan, maupun gender,
menjadi lebur di bawah seruan-seruan bernada sentimen agama.
Ini mengindikasikan, perkembangan
berita atau informasi (baca: kebenaran), tidak dikelola hanya berdasarkan cara
kerja berpikir objektif atas fakta verifikatif belaka. Di kasus Ahok, anehnya,
penarikan kesimpulan sudah didahului justifikasi-justifikasi motif kepentingan
tertentu. Selain itu, sentimen agama, justru menjadi anasir kepentingan yang
mengaburkan kecemerlangan berpikir.
Kedua, atas dasar kebutuhan
integritas, justifikasi teologis melucuti aktivitas berpikir sebagai jalur
kekuasaan. Memanfaatkan rasa sentimentalisme sempit, berpikir dalam arena
kekuasaan dilakukan demi tujuan politis. Jelas sekali, berpikir rasional
senantiasa mengedepankan dimensi etik, sebaliknya justru dikendalikan kekuatan
politik agama di bawah rejim kekuatan massa.
Ketiga, berpikir dalam tatanan
relasi benar-salah, merupakan dorongan tersembunyi imperatif moral tertentu.
Pengajuan yang dibilangkan Nietzsche, setiap pengetahuan didasarkan motif
tertentu, merupakan sarana memahami bahwa tidak semua aktivitas berpikir murni
didorong hasrat rasional.
Bagi Nietzsche, semua usaha
rasional manusia mencari kebenaran tidak serta merta berkat dorongan kebenaran
semata. Lebih sublim dari itu, dorongan berpikir manusia ternyata digerakkan
motif moral: keengganan dikatakan salah.
Artinya, ini bukan soal apakah
benar adalah benar, salah adalah salah. Tapi,
keinginan untuk menjadi absolut. Tanpa cacat. Hasrat terpendam manusia mau
menjadi kebenaran mutlak itu sendiri.
Keinginan menjadi absolut inilah
yang menjadi motif utama manusia berpikir. Kebenaran yang “letaknya” di luar
kesadaran manusia hanyalah faktor kedua. Imbasnya, secara moral, dorongan
absolutisme ini menolak segala cacat kesalahan yang sebenarnya bagian
sifatnya manusiawi.
Jika diamati, sebagai analogi,
mengapa orang reaksioner dan konservatif, misalnya, sulit mendialogkan
kebenaran? Jawabannya bukan dalam kaitan kesadaran benar-salah, bukan dalam
makna mencari kebenaran, tapi mereka enggan dikatakan salah.
Ini bukan urusan rasional semata. Kata Nietzsche, itu persoalan “ingin-tidak
ingin.” Moral .
Dalam konteks demikian, berpikir
bukan serta merta usaha rasional melibatkan hukum-hukum logis semata. Berpikir
tidak sekadar mencari terang antara persilangan kebenaran (truth) dan
opini (doxa). Sejauh ditempatkan dalam hubungan-hubungan ril masyarakat,
berpikir menjadi pekerjaan yang berpihak pada motivasi tertentu.
Itu artinya, di era keterbukaan
informasi, berpikir tidak sekadar usaha fitrawi manusia demi mencapai
kebenaran, tapi juga sebagai konsekuensi langsung dari motif-motif
tersembunyi yang menjadi dasar terdalamnya.
***
Melalui ilmu psikologi, motif
(latin: movere) dimengerti sebagai penggerak atau kekuatan
pendorong organisme. Bahkan motif, tidak saja kekuatan inheren dalam suatu
organisme. Bagi manusia, di dalam masyarakat, motif sering dipengaruhi faktor
dari luar dirinya.
Dua jenis motif secara umum dalam
ilmu psikologi: Pertama, motif fisiologis. Dorongan ini berkaitan dengan cara
manusia mempertahankan eksistensi biologisnya. Tubuh biologis manusia
senantiasa mendorong untuk makan, minum, dorongan seksual, ataupun dorongan
untuk menghirup udara segar.
Tubuh manusia mau tidak mau secara
alami mencari keperluan menutupi “cela” kekosongan dirinya. Dorongan fisiologis
bersifat internal dan mendesak berkat tubuh membutuhkan energi. Karena itulah
motif ini juga disebut motif primer, atau motif dasar manusia.
Kedua motif sosial. Motif ini
terjadi akibat interaksi di masyarakat. Artinya, motif sosial ditentukan dari
seperti apa hubungan-hubungan di dalam masyarakat itu sendiri. Berdasarkan
kebutuhan tulisan ini, motif sosial dibagi menjadi empat.
Pertama, motif kekuasaan. Kekuasaan
sejauh melibatkan kesadaran dalam hubungan masyarakat, tidak akan menghasilkan
ekses negatif. Misalnya, kesadaran hubungan seorang hamba terhadap Tuhan yang
Mahasegala.
Namun,dalam relasi masyarakat, dua kekuatan sering mengalami kekuasaan secara hirarkis. Dan, akibat bersifat hirarkis, kekuasaan meniscayakan suatu hubungan dominatif. Di saat demikianlah, kaitannya dengan berpikir, tidak semua pengetahuan murni tanpa tercemari kekuasaan.
Kedua, motif dominasi. Keadaan
dominatif, melibatkan kekuasaan di dalamnya. Dominasi seseorang seringkali
berarti akibat pengaruh kewenangan. Kewenangan berbasis kekuasaan, secara
imperatif menyingkirkan peluang-peluang yang disinyalir dapat mengubah kekuatan
dominatif sebelumnya.
Motif dominasi acapkali
berlangsung ketika dua kepentingan menjalin interaksi. Bahkan, motif
dominatif sering terjadi akibat kekuatan minoritas yang ditekan dan dilemahkan.
Tujuan akhir situasi dominatif
tidak serta sekadar menekan pihak minoritas. Keadaan mendominasi acap terjadi
untuk mengintrodusir nilai-nilai tertentu. Kadang juga, selain memaksakan
tujuan tertentu, yakni menghendaki suasana menjadi stabil, status quo.
Ketiga, motif agresi. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, agresi, perasaan marah atau tindakan kasar akibat
kegagalan atau kekecewaan dari tujuan. Secara antropologik, agresi berarti
perbuatan bermusuhan berupa penyerangan fisik ataupun psikis terhadap pihak
lain.
Motif agresi benderang jika ada
pihak menyerang pihak lain akibat kegagalan atau perasaan kecewa saat kalah
bersaing. Agresi muncul imbas terhambatnya tujuan yang diharapkan.
Motif agresi terjadi ketika sikap
rendah diri begitu kuat mengikat pelaku. Pelaku agresi, dari skala luas, ikur
berlaku dalam relasi bangsa-bangsa. Banyak bangsa bertindak agresif bukan
karena memiliki kekuatan. Dari aspek psikososial, bangsa agresor tiada lain
bangsa yang rendah diri.
Apabila meneropong relasi agresor
dan korban agresi, motif agresi malah menjadi cara menutupi kekerdilan diri
pelaku. Itulah sebabnya, dalam politik, misalnya, agresi marak terjadi. Bahkan
agresi dianggap strategi politik. Itu berarti, banyak pihak yang kalah bersaing.
Keempat, motif ekshibisi (pamer).
Motif ini sinonim narsisme. Yakni harapan tindakan diri menjadi pusat perhatian.
Dengan menonjol-nonjolkan diri, motif ekshibisi dalam arti tertentu, usaha
seseorang untuk mendapatkan pencitraan khalayak umum.
Pepatah “tong kosong, nyaring
bunyinya” dalam arti lain, pencitraan tanpa mengikutkan prestasi. Sering kali
mengedepankan eksistensi diri walaupun tidak memiliki makna apa-apa.
Dunia virtual, dunia narsisme.
Banyak bersuara tanpa melibatkan makna. Banyak menonjolkan diri tanpa pernah
berprestasi.
***
Hakikat berpikir sebenarnya
peristiwa cerlang, anugerah manusia. Tanpa berpikir, manusia jauh dari
kesejatian: kebenaran.
Sudah dikatakan sebelumnya,
aktivitas berpikir tidak bisa keluar dari hubungan ril masyarakat. Itulah
mengapa, berpikir bukan lagi sekadar pemuas fitrah rasa ingin tahu. Kiwari,
berpikir sudah menjadi pelayan langsung kepentingan tertentu.
Jika meminjam analisis Frankfurt
Schooll tentang relasi rasio instrumental dan tujuan-tujuan ekonomisnya,
berpikir di era sibernetik, terutama dalam dunia virtual, menjadi aktivitas
motif-motif tersembunyi memanfaatkan arus perkembangan informasi dan komunikasi.
Era virtual, mengedepankan
pencitraan dari pada isi, adalah kemajuan yang dikepung hiperrealitas di
mana-mana. Pendapat ini tidak berlebihan, dikatakan hampir setiap waktu,
realitas ril dicetak dan dibentuk di dalam screen smartphone.
Berdasarkan cara kerja dunia virtual, dunia ril mengalami defisit pemaknaan
dibanding simulakra dunia maya.
Seperti dijelaskan sebelumnya,
simulakra (simulakrum), yang dibilangkan Jean Baudrillard, dunia
simbolik yang membalikkan kenyataan melalui pencitraan dunia maya. Simulakrum
memiliki kemampuan memalsukan kenyataan dengan membuat kenyataan baru. Melaui
permainan penandaan, dunia baru yang diciptakan simukakrum jauh lebih kompleks
dan bersifat imajinatif.
Kemampuan simulakrum, juga mampu
mengambil alih kenyataan dalam kesadaran. Simulakrum berupa dunia tiruan,
mengintodusir imajinasi simbolik dunia virtual dalam kesadaran. Melalui cara
pembalikkan kesadaran memahami dunia virtual, simulakrum mengambil alih
realitas.
Diambil alihnya realitas ril
menjadi realitas virtual tidak sendirinya menghalangi motif-motif manusia
untuk terus eksis. Malah motif-motif manusia mengalami peralihan dengan cara
kerja yang lebih berbahaya ketika berada dalam dunia virtual.
Melalui konteks berpikir adalah
representasi motif-motif tersembunyi, eksistensi “diri” dalam dunia virtual
mampu menjadi diri yang lain. Diri virtual, berbeda dari diri dunia ril. Diri
dunia ril, eksistensi yang diikat hukum realitas. Eksistensi nyata dalam
realitas material-sosiologis.
Diri virtual merupakan representasi
diri ril berupa profil akun dunia virtual. Diri virtual bukan saja representasi
diri ril, namun mampu mengubah sejumlah data diri berdasarkan motif tertentu.
Berbeda, diri virtual dibentuk oleh sejumlah bit sebagai satuan “atomiknya”.
Dengan sejumlah bit inilah diri virtual “hidup” dalam dunia virtual.
Artinya, peralihan diri ril menjadi
diri virtual hanyalah perubahan modus eksistensi. Bahkan, peralihan ini mampu
mengkalilipatduakan diri virtual menjadi entitas tak terbatas.
Seperti yang dibilangkan Turkle
dalam Hikmat Budiman (Kekuasaan dan Kebebasan dalam Cyberspace), identitas
dalam jaringan cyberspace telah menghancurkan identitas
sebagai kesatuan tunggal yang terikat fisik biologis. Identitas diri virtual
dunia maya, entitas multifaset, protean, karena seseorang mampu berganti
identitas sesuka hati.
Hukum-hukum hampir luput dari diri
virtual. Akibatnya, kebebasan diri dunia virtual, membuatnya mampu berbuat apa
saja. Selama itu dilakukan di balik citra simbolik, tindakan diri virtual
menjadi identitas yang sulit diantisipasi pertanggungjawabannya.
Para hacker, sebagai
contoh, salah satu figur yang digerakkan motif tertentu, terkadang
memiliki agenda terselubung merusak sistem ketahanan suatu base informasi.
Tanpa identitas terikat tubuh biologis, para hacker memperantai
motifnya melalui diri virtual.
Media sosial, contoh mutakhir
betapa motif-motif agresi, misalnya, begitu gampang bekerja di balik identitas
maya. Tindakan kekerasan simbolik begitu gampang terjadi dengan menyudutkan
pihak lain. Melalui meme, quote, maupun video, sarana yang kerap dipakai dalam
menyalurkan hasrat agresi.
Memanfaatkan kemudahan dunia
virtual, motif agresi mudah memakan korban akibat sifatnya yang gampang
dilipatduakan. Di permukaan, motif agresi hanya bisa dikenali dari isi pesan
yang banyak menggunakan simbol-simbol pelecehan dan diskriminatif.
Yang paling eskalatif, cara
berpikir masyarakat diselubungi motif politik secara diam-diam. Melalui
berita-berita bernada rasis dan sentimentil, misalnya, cara berpikir objektif
menjadi sulit bekerja. Malangnya, ini begitu masif terjadi. Akibatnya, sulit
membedakan kebenaran atas rasionalitas, atau hanya sentimentalisme berupa doxa.
Dalam konteks ini, informasi yang
beredar hanya menyampaikan “separuh” realitas dari apa yang sebenarnya terjadi.
Kebenaran yang diselingi motif politik hanyalah kebenaran yang sudah dipermak
berdasarkan kepentingan itu sendiri.
Motif politik dapat diidentifikasi
sejauh berkaitan dengan kekuasaan. Kasus Ahok misalnya, sangat mudah
menggeledah motif politik dari cara berpikir yang diwakilkan dari sebaran
informasi selama ini.
Dunia virtual juga mampu
menggandakan kekuasaan. Kekuasaan dunia virtual ditandai berapa banyak netizen
menduplikasi informasi. Semakin luas peredaran satu informasi, luas pula daya
jangkau kekuasaan itu sendiri.
Di waktu bersamaan, kekuasaan dalam
dunia virtual, seperti narasi Hikmat Budiman (Kekuasaan dan Kebebasan dalam
Cyberspace) juga menciptakan ruangnya sendiri dan menetapkan segmentasi,
hirarki, dan keterbukaan. Tidak saja itu, kekuasaan dalam dunia virtual,
kontradiktif, menciptakan pula kekuasaan tandingan atas kekuasaan lainnya.
Keterbukaan dunia virtual bukan
saja menghilangkan sentralisasi dan hirarki, juga menciptakan keadaan dalam
terminologi Foucault sebagai teknologi kekuasaan. Teknologi kekuasaan, arti lain,
masifnya kekuasaan yang menyebar tanpa batas dan tingkatan berkat dukungan
teknologi.
Anehnya, pergerakan kekuasan ini
tidak dikontrol berdasarkan prinsip satu pusat. Memanfaatkan sifat eskalatif
dunia virtual, kekuasaan dalam dunia virtual bahkan lebih mirip realitas
chaotik.
Realitas chaotik dengan sendirinya
menyediakan medan tanpa nalar, tanpa keberaturan, tanpa tatanan. Mirip lintasan
serba cepat dan ultrakompleks, sulit menegakkan cara berpikir objektif di
dalamnya. Saat demikianlah, motif dominatif gampang bekerja. Tanpa ada
rambu-rambu, suatu kepentingan dominasi justru mudah bersikap hegemonik.
Motif lain yang bekerja massif di
balik diri virtual, adalah motif eksibisi atau narsisme. Realitas virtual tanpa
batas menjadi medan narsisme begitu jamak ditemukan. Bahkan kiwari, bagi
ilmuwan sosial, narsisme sudah menjadi epidemi modern. Hakikat narsisme
merupakan cara seseorang menutupi rasa rendah diri dengan kebesaran semu. Di
balik simbol kebesaran-kebesaran nisbi, diri virtual hanya menemukan kekosongan
melalui narsisme.
Sigmund Freud menyatakan hakikat
narsisme sejatinya merupakan sarana pemuasan libido. Imbas hambatan
perkembangan jiwa, narsisme akan berujung kepada sifat megalomaniak.
Dari aspek moral, kebebasan
manusia, tidak dimungkinkan sejauh kesadaran manusia banyak diintimidasi
kepungan informasi. Eksistensi diri virtual hanyalah subjek kondisional
yang nisbi. Jika melalui identitas maya, kebebasan itu dikatakan
kemampuan melewati batas-batas virtual, maka itu sesungguhnya hanyalah
kebebasan semu oleh akibat hidup di dalam dunia maya.
Akhirnya, era sibernetik hanya
menyisakan kemungkinan kecil berpikir secara bebas dan otonom. Di balik
berkembangnya “otak” canggih mesin-mesin informasi komunikasi, dan luasnya
jagad informasi, kesadaran manusia mengalami penyusutan. Ini imbas kesadaran di
balik informasi dunia virtual, tidak mampu melakukan refleksi kritis demi
membangun pemahaman yang memadai.
Kebebasan dengan kata lain, dalam dunia
virtual, hanyalah pengandaian semu akibat nisbinya otonomi kesadaran. Kesadaran
yang berarti mampu mengalami dan mengelola informasi, mengandaikan kehendak
bebas memilih di antara beragam pilihan di dalamnya.
Dan yang patut dikhawatirkan, cara
berpikir masyarakat sibernetik senantiasa terancam motif-motif tersembunyi yang
merangsek kemandirian berpikir manusia. Berpikir dalam situasi yang terancam,
dengan mudah kehilangan fungsi rasionalnya. Imbasnya, kesadaran hanya menjadi
medan yang diambil alih segi emosionalitas.
Dari semua itu, kita tidak ingin
masyarakat yang dilimpahi beragam informasi, hanya mampu menduplikasi
pengetahun tanpa bisa mereproduksinya kembali. Akibat ledakan implosif
yang membuat kesadaran yang tercerabut bahkan hancur berkeping-keping. Ujung
dari semua itu, manuasia hanya menjadi objek kosong tanpa makna dari beragam
informasi.
Sehingga patut disayangkan, di
balik motif berpikir masyarakat sibernetik, orang-orang mencari dan mengelola
informasi tanpa melibatkan dasar kebutuhan di dalamnya. Ini semua akibat
hilangnya relasi kebermaknaan dari beragam komoditi informasi yang
beredar.