Langsung ke konten utama

Hingar Bingar Politik

Apa yang marak terjadi jika kita berada di tengah-tengah sebuah parade sirkus? Ilustrasi yang dimungkinkan untuk kita bayangkan pada situasi seperti itu adalah pemandangan tentang hewan-hewan yang mangut pada pawang, aktraksi-aktraksi ekstrim, loncatan-loncatan akrobatik, serta polah badut-badut gemuk yang mengundang tawa. Lebih dari padanya kita dibawa pada suasana yang melampaui: decak kagum penonton, kembang api yang semarak serta gemerlap hingar bingar.

Sirkus adalah tontonan yang memang menghibur. Namun apa jadinya jika suasana perpolitikan selayaknya penyelenggaraan sirkus, tetapi bukannya menghibur, melainkan justru  tontonan yang sungguh membosankan. 

Politik sejatinya adalah penyelenggraan kekuasaan publik dalam rangka untuk menetapkan tujuan dari suatu kebijakan. Dengan tujuan untuk mengikat kepentingan bersama untuk memenuhi hak-hak dari seluruh masyarakat. Dalam hal ini, selama politik dijalankan atas etika pemenuhan hak-hak publik, maka suatu pemerintahan telah menyelenggarakan kekuasaannya dengan baik.

Namun kenyataan empirik berkata lain. Apalagi jika kita berada pada momen-momen pilwalkot seperti sekarang ini. Dalam rentang waktu inilah politik menjadi penyelenggaraan yang semarak. Setidaknya itu yang dialami oleh warga Makassar beberapa waktu belakangangan dan yang akan datang. Simbol-simbol politik seakan tampil dengan rakus untuk mengatasi ruang publik yang notabene adalah media yang netral. Simbol-simbol politik telah mengambil alih ruang publik yang bebas, anti hierarkis, anti sistem untuk dijadikan ruang privat yang berbau kepentingan. Seperti sebuah parade sirkus, ada situasi yang dipertontonkan dan diperlihatkan pada konstituen masing-masing.

Sirkus Politik

Secara etimologi sirkus dialihbahasakan dari kata circus yang berarti melingkar. Dalam sejarahnya memang atraksi sirkus selalu diselenggarakan pada ruang yang melingkar. Di masa romawi kuno, sirkus dikenal dengan sebutan circus maximum. Kata maximum di sini berarti ukuran yang hebat dalam pengertian orang-orang yang melakukan atraksi sirkus memiliki keahlian di atas orang kebanyakan. Tujuan dari sirkus setidaknya bisa dimaknai sebagai hiburan semata. Maka dari itu sirkus selalu dinanti-nanti.

Seperti apa yang dibahasakan sebelumnya, di mana penyelenggaraan politik biasanya menggunakan simbol-simbol berupa pamflet undangan untuk mengahadiri sebuah sirkus. Symbol-simbol yang dimaksudkan disini bisa tampil berupa tanda, jargon, tag line, gambar, maupun tulisan, yang mana dalam konsep politik dijadikan sebagai branding untuk menarik simpatisan.

Sebagaimana kita mafhum dalam penyelanggaran politik diperlukan gerak yang dinamis. Untuk itu muncullah jejaring kepentingan yang marak berupa istilah lingkaran inti, ring inti, tim pemenangan, komunitas, simpatisan dan lain sebagainya. Dengan beragam akronim yang gampang dihapal terbentuklah jejaring kepentingan yang melingkar di mana tak jarang saling sikut. Situasi ini tak jarang pula membantai garis-garis kekeluargaan, toleransi, kesukuan maupun agama.

Sementara kita tahu ongkos politik tidaklah sedikit. Semisal penyelenggaran pemilihan pemimpin daerah yang melibatkan sepuluh kandidat. Bisa kita bayangkan betapa besarnya cost yang dikeluarkan dalam rangka pemenangan calon pemimpin. Jika kita perluas pembahasan kita, berapa ongkos yang harus dikeluarkan demi penegakan perpolitkan yang demokratis. Mulai dari perkenalan calon, pengusulan saat kampanye, sampai bagaimana seorang tokoh bisa mendapatkan elektabilitas yang diinginkan.

Apalagi dalam suasana kampanye seperti sekarang ini, atraksi sirkus politik yang paling berbahaya dalam kancah pemilihan adalah money politic. Walaupun belum ada aturan yang jelas untuk mengatur dana-dana kampanye, tetapi trias politik antara pengusaha, elit partai dan birokrasi, bisa memungkinkan kejadian-kejadian yang dikhawatirkan dapat terjadi. Maka dari itu tentang politik yang menjunjung integritas, jujur, dan bersih, seharusnya bukan sekedar ungkapan kosong semata melainkan amanah demokrasi yang harus dijunjung tinggi.

Seperti sulap

Saat seperti ini, di mana kita memasuki masa-masa kampanye pemimpin daerah, banyak program-program yang diperkenalkan dari kandidat untuk menarik konstituen sebanyak-banyaknya. Bila kita merunut semua program yang ada, maka segmentasi yang paling banyak difokuskan oleh para kandidat adalah bagaimana kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan dengan pengelolahan birokrasi yang bersih. Namun term-term yang terpakai semisal pendidikan dan kesehatan gratis, penyediaan dana bergulir, pelayanan publik yang efesien, maupun bantuan-bantuan lainnya, adalah term-term politik yang sudah usang dan ketinggalan. Namun hanya dalam kemasan yang berbeda sehingga nampak merupakan program yang orisinil.


Seharusnya warga masyarakat mampu melihat lebih jernih tawaran program yang sedianya dijual oleh para calon pemimpin daerah. Sebab istilah-istilah semisal janji-janji politik yang sering kita dengarkan bisa menjadi mantra sulap politik yang memanfaatkan keterhempitan masyarakat di tengah-tengah kehidupan yang mencekik. Warga masyarakat juga diharapkan jangan terlena dengan situasi hinggar binggar kampanye yang sering dilakukan oleh para kandidat, sebab daya rasional pada semarak politik seperti sekarang ini bisa tenggelam oleh adanya euforia yang ditampilkan hingar bingar suara kampanye.


Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...