Langsung ke konten utama

politik identitas

Masalah identitas dalam berkehidupan berbangsa akhirakhir  ini menjadi hal yang problematis. Hal ini semakin rumit ketika ruang sosial menjadi medan terbuka dari segala bentuk intervensi. Semenjak ruang kehidupan dipenuhi dengan keragaman kelompok, maka identitas sebagai modal sosial bisa menjadi nilai yang bermuatan ganda. Dalam hal ini, kaitannya dengan upaya konstruksi sosial, identitas bisa mempersatukan perpecahan kelompok atau sebaliknya, justru membelah persatuan masyarakat, apalagi dalam kaitannya dengan era globalisasi saat ini.

Politik identitas

Bice Maiguasha, seorang doktor ilmu politik, pernah menuliskan bahwa globalisasi sebagai ciri kemajuan memiliki dampak terhadap mengemukanya kelompokkelompok di bawah negara yang massif dalam menunjukkan aspirasi akan hal identitas politik. Hal ini dapat ditandai dengan kemunculan kelompokkelompok yang mengidentikkan diri atas ikatan etnosentris keagamaan, gerakan feminisme maupun masyarakat adat.

Dalam hal pengakuan, kamajemukan identitas yang mengemuka, apalagi frame etnisitas yang majemuk, berdampak terhadap identitas kebangsaan sebagai ikatan kolektiv. Kedaulatan negara yang mengalami kekeroposan di konteks ini mengakibatkan kemunculan kelompokkelompok identitas baru untuk menciptkan ikatan baru yang berbau subjektiv. Fenomena demikian disebabkan negara tak mampu menjamin semisal hak keamanan dan keberlangsungan hidup dalam kehidupan bernegara.

Terhadap kekosongan itulah ruang sosial mengalami banyak intervensi. Keroposnya kedaulatan negara mengakibatkan politik identitas yang menghendaki pengakuan memanfaat ruang publik sebagai mediator untuk mengakses identitasnya. Pada tingkatan yang paling ekstrim, pertemuan berbagai identitas di ruang publik sering kali mengalami persitegangan sehingga kerap kali melibatkan aksi kekerasan.

Politik pengakuan oleh Linklater adalah gejala kemunculan kelompok identitas untuk mendapatkan pengakuan publik. Apalagi dalam aras pengidentifikasian kelompok, ikatan sosial maupun kebudayaan kerap bermain atas dasar logika “penyertaan” dan “penolakkan” Negara misalnya, mengharuskan penerapan model ini. Apalagi dalam pembacaan Linklater, semenjak kemunculannya, negara mengalami keadaan problematis ketika merumuskan identitas apa yang harus diterima maupun yang harus dimasukkan dalam kategori “the other” Dalam logika inilah pengertian warga negara dan bukan warga negara dijabarkan. Hal ini juga diterapkan dalam “internal other” yaitu kelompok minoritas yang hidup di bawah batasbatas negara tetapi dibatasi dalam partisipasi dan identitas politik.

Kekerasan

Nasionalisme sebagai pengorganisasian pikiran dan perilaku, disinyalir adalah pemicu dari adanya “politik kepemilikan” setidaknya itu yang diomongkan oleh Chipkin. Nasionalisme ketika masuk dalam kategori identitas nasional, dalam kerjanya menundukkan kemajemukan identitas yang bernaung di bawah negara. Hal ini krusial apabila penerjemahannya dikontekskan pada negara yang memiliki ragam identitas, Indonesia misalnya.

Dari cara inilah dalam mengatasi kekosongan kontrolnya, negara membangun identitas bersama dengan menyisihkan keragaman identitas. Melalui mekanisme ini pula negara atas ketunggalan identitas mengorganisir dan mengontrol warganya. Dalam konteks praktik kebudayaan dan politik, pembatasan terhadap peranperan sosial kelompok identitas atas negara, menjadi pemicu terjadinya kekerasan. Apalagi kaitannya terhadap politisasi identitas, negara yang kerap menggelontorkan identitas nasional atas nama nasionalisme kerap mengeliminir “the other” untuk menjaga “status kepemilikan”.

Sehingga maraknya aksiaksi kekerasan atas nama identitas akhirakhir ini adalah output dari cara negara dalam memberlakukan kelompokkelompok identitas. Gejala ini juga disitir oleh Amrtya Sen bahwa dijalankannya politik ketunggalan identitas, justru mencadi pemicu kemunculan aksiaksi kekerasan dalam konteks kehidupan bernegara.

Masih menurut Sen, kekerasan yang kerap muncul akibat tidak tersalurkannya mekanisme yang mengakui kemajemukan identitas. Pengkerangkengan keberagaman atas dunia berdasarkan ikatan sempit justru mereduksi kenyataan dari keberagaman. Dan di sinilah masalahnya, cara pandang ini tidak saja di alami oleh negara tetapi juga oleh warganya. Sehingga kenapa negara kerap gagal mengatasi kekerasan, oleh karena penguatan terhadap civil society selama ini kerap jarang dilakukan.

Nampaknya, persoalan identitas ini menjadi isu yang problematis ditenggarai oleh capaian paradigma kutural yang hari ini masih jauh terbelakang oleh masyarakat antara format negara yang mengusung demokrasi sebagai cara menyelenggarakan kekuasaannya. Sedangkan dalam prinsipnya, penyelenggaraan demokrasi, perbedaaan adalah hal yang krusial untuk dipahami sebagai medio dalam menyatakan kepentingan identitas tertentu. Tetapi di sisi lain, paradigma kultural yang terpahami dalam kesadaran masyarakat masih saja menuntut adanya otoritas yang menentukan seperti apa identitas yang harus diterima untuk hidup bersampingan. Masyarakat masih belum mandiri dalam memahami seperti apa identitas yang beragam dihadapi dalam kenyataan sosial yang mereka tinggali. Sehingga negara yang di satu sisi adalah penyulut api tindak kekerasan identitas juga memiliki nilai ganda untuk memberikan asupan dalam rangka penguatan civil society. Maka dari itu adalah tugas berat bagi negara dalam hal penyelenggaraan kekuasaannya disamping ia sendiri sebagai kekuasaan yang menjadi embrio dalam kekerasan identitas yang sering kali dialami.


Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...