Esai Seri Kritik Pendidikan (3): Nasib Kelas 4.0

(Proses belajar mengajar belakangan ini, menimbulkan banyak keluhan para orangtua siswa dikarenakan proses belajar dari rumah tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Banyak orangtua siswa mengeluh, peralihan mengajar yang berpusat dari guru ke dan melalui screen gawai, menimbulkan masalah teknis berupa miskomunikasi, turunnya konsentrasi belajar, gaptek teknologi, dan bahkan ada yang mesti meminjam gawai tetangga agar dapat melaksanakan proses belajar mengajar. Ini hanya satu dari banyaknya masalah dalam bidang pendidikan saat ini. Mau tidak mau, sekolah dan konsep belajar hari ini mesti dievaluasi ulang untuk menemukan rumus yang pas agar menyelamatkan sekolah dari gulung tikar. Selain tulisan di bawah ini, di sini saya sertakan dua tulisan ringkas mengenai masalah pendidikan kontemporer: Esai Seri Kritik Pendidikan (1): Scola Materna, Esai Seri Kritik Pendidikan (2): Frantz Fanon, Luce si Murid Unggulan dan Sekolah Merdeka, dan tulisan yang lebih panjang--masih menyoal pendidikan-- dapat dibaca di Pendidikan dan Aib: Takdir Hidup si Automaton. Untuk versi rekam-suaranya dapat didengarkan di Seri critical pedagogy)

 

UNESCO menyebut angka 1.725 miliar pelajar di dunia “menganggur” karena terdampak korona. Sekolah ditutup. Ini sebabnya.

Itu artinya, saat ini banyak orangtua yang beralih fungsi menjadi guru—disamping mengurusi hal-hal domestik rumah tangga.

Itu juga artinya, masalah dunia pendidikan jadi makin kompleks. Satu masalah baru, karena menggunakan alternatif kelas daring, muncul masalah di daerah-daerah. Karena akses internet tidak merata banyak anak-anak sulit belajar. Toh jika akses mencukupi, itu bisa ditemui di bubungan atap, di atas gunung, atau naik di pohon-pohon tinggi.

Tapi, bagaimana jika handphone saja tidak ada? Masalahnya makin runyam lagi.  

Masalah ini beririsan pula dengan problem klasik: masalah ekonomi. Kuota! Ya, ini sekarang masalahnya lagi. Berjam-jam duduk di depan layar tidak sedikit membutuhkan pengeluaran untuk membeli kuota. Provider senang, masyarakat malang!

Bagaimana dengan negara? Kemendikbud jadi sorotan. “Bagi-bagi duit” pangkal soalnya. Dua ormas besar keagamaan dan pendidikan menarik diri dari penyelenggaraan program POP. Proses penentuan ormas yang berhak mendapatkan bantuan tidak transparan. Masa perusahaan rokok ikut masuk mendapatkan bantuan dana yang —menurut istilah Kemendikbud—  selevel “kelas gajah”. Apa hubungan perusahaan rokok dengan pendidikan—selain makin banyak pelajar suka merokok di balik tembok sekolah!

Kemarin, dapat info salah satu kampus negeri di Makassar mulai semester baru tidak lagi menggunakan tenaga dosen LB. Anggaran tidak cukup. Kampus memperkecil “lingkaran” ikat pinggangnya. Terjadi perampingan anggaran.

Salah satu kawan bercerita—yang sehari-hari mengajar di kampus swasta yang tidak begitu terkenal di Makassar—gajinya selama mengajar saat korona juga belum dibayarkan. Ia sadar diri, itu terjadi mungkin karena ia belum sepenuhnya menyelesaikan kelas yang diampunya. Ia katakan di tengah jalan kelasnya berhenti karena kesulitan menutupi ongkos kelas daring. Sekarang ia sedang menyiapkan kelasnya yang sempat tertunda. Biar bagaimana pun kelas yang diampunya mesti diselesaikan seluruhnya, meski mahasiswanya mengeluh soal ini itu.

Kemarin juga, seorang dosen gaek mengeluh. Belajar daring tidak menjamin mahasiswa betul-betul ikut “kelas”. Ia katakan mahasiswa sekarang makin cerdik. Absen setelah itu pergi dengan meninggalkan kesan seolah-olah sedang mempelajari materi yang diberikan—yang susah payah dibuat dosen tua akibat gaptek teknologi.

Saat menulis ini, saya kembali mengambil buku tentang homeschooling, berusaha memikirkan bagaimana jika gagasan seperti ini direfleksikan ulang di keadaan kini. WHO—lembaga yang bikin ketar ketir—sudah menyatakan ke publik: korona akan berlangsung puluhan tahun!