Esai Seri Kritik Pendidikan (2): Frantz Fanon, Luce si Murid Unggulan dan Sekolah Merdeka


(Proses belajar mengajar belakangan ini, menimbulkan banyak keluhan para orangtua siswa dikarenakan proses belajar dari rumah tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Banyak orangtua siswa mengeluh, peralihan mengajar yang berpusat dari guru ke dan melalui screen gawai, menimbulkan masalah teknis berupa miskomunikasi, turunnya konsentrasi belajar, gaptek teknologi, dan bahkan ada yang mesti meminjam gawai tetangga agar dapat melaksanakan proses belajar mengajar. Ini hanya satu dari banyaknya masalah dalam bidang pendidikan saat ini. Mau tidak mau, sekolah dan konsep belajar hari ini mesti dievaluasi ulang untuk menemukan rumus yang pas agar menyelamatkan sekolah dari gulung tikar. Selain tulisan di bawah ini, di sini saya sertakan dua tulisan ringkas mengenai masalah pendidikan kontemporer: Esai Seri Kritik Pendidikan (1): Scola Matterna, dan  tulisan yang lebih panjang--masih menyoal pendidikan-- dapat dibaca di Pendidikan dan Aib: Takdir Hidup si Automaton. Untuk versi rekam-suaranya dapat didengarkan di Seri critical pedagogy)

 

BELUM lama ini, saya baru saja menonton Luce (2019), film drama yang lumayan membingungkan dikarenakan menyisipkan banyak tanda tanya di hampir setiap adegannya. Mimik muka, intonasi suara, gerak tubuh, dan tentu juga dialognya, adalah hal-hal detil yang mesti diperhatikan lebih seksama untuk  memahami jalan cerita film besutan Julius Onah ini.

Luce dari sudut tertentu adalah film tentang pendidikan—atau berlatar kehidupan sekolah yang menyorot kehidupan siswa siswi di sekolah tingkat atas: kegiatan belajar, konflik, ambisi siswa, solidaritas kelompok, persahabatan, kehidupan asmara, dan relasi murid-guru.

Luce bercerita tentang anak cerdas kulit hitam di sekolah menengah atas, yang dikhawatirkan akan berbuat ”sesuatu” pasca Harriet Wilson (Octavia Spencer), seorang guru sejarah dunia, menugaskan murid-muridnya menulis esai tentang tokoh sejarah.

Luce Edgar (Kelvin Harrison Jr.)—seorang siswa cerdas dan bintang sekolah—menulis esai tentang Frantz Fanon, filsuf sekaligus tokoh revolusioner Pan-Afrika, yang mengangkat gagasannya terutama ide-ide pemberontakan Fanon mengenai kekerasan yang dinyatakan dapat menjadi pengendali dalam tatanan dunia.

Esai ditulis Luce itu membuat cemas Harriet, yang mengkhawatirkan gagasan pemberontakkan ala Fanon tengah bersemayam di benak Luce.

Bagi, Harriet, esai itu bukan sekadar tugas biasa, yang ditulis seorang bintang sekolah, melainkan suatu penanda bahwa suatu ide-ide radikal bakal mempengaruhi cara pandang orang seperti Luce.

Luce sebelum diadopsi pasangan suami istri Amy Edgar (Naomi Watts) dan Peter Edgar (Tim Roth)—yang merawatnya seperti anak sendiri dengan memberikan kehidupan dan pendidikan terbaik bagi Luce— adalah anak yang lahir dan tumbuh berkembang di Eritrea suatu tempat yang disebut sedang dilanda konflik dan perang berkepanjangan.

Kemiskinan dan kehidupan anak-anak liar adalah dua hal yang membentuk Luce sejak kecil: sulit diatur, denial, dan asosial. Dengan latar belakang demikian, Harriet berkeyakinan ”sesuatu” bakal terjadi dengan Luce, dan itu akan merusak masa depan Luce yang cemerlang. Ya, Luce diproyeksikan sebagai murid percontohan sekolah, ia bahkan menjadi murid favorit guru-gurunya, dan mendukungnya untuk belajar sampai ke tingkat lebih tinggi.

Kecurigaan, atau lebih tepatnya ketakutan Harriet semakin menjadi-jadi pasca ia menemukan kembang api ilegal berdaya ledak besar di loker Luce—ia mengambilnya tanpa sepengetahuan dengan cara menggeledah loker Luce, yang berarti melanggar privasi, sesuatu yang sangat dijunjung tinggi di negeri semacam Amerika Serikat.

Dari sini konflik bermula yang melibatkan kecurigaan, prasangka, dan emosi, antara Harriet dengan Luce, dan antara Luce dengan kedua orangtuanya—setelah Harriet memanggil Amy, ke sekolah, khusus menceritakan kecurigaan dan temuan kembang api Luce.

Konflik ini praktis menjalar kemana-mana, merongrong kepercayaan Amy dan Peter Edgar terhadap Luce, yang terkejut dengan sisi misterius Luce setelah kasus esai dan kembang apinya, dan kemudian membuat Luce terlempar ke titik asing dan ganjil di hadapan kedua orangtuanya.

Karena film ini berlatar kehidupan sekolah, terutama konflik antara guru dan murid (orangtua), maka refleksi-refleksi atas film ini—menurut saya—dapat dihubungkan dengan isu-isu pendidikan  terutama jika dilihat dari kacamata critical pedagogy (pendidikan kritis).

Harmoni dan perubahan

Term harmoni, untuk tulisan ini, lebih tepat diganti stabilitas, jika itu dipandang dari sudut pandang Harriet, guru yang mengkhawatirkan Luce bakal terpengaruh gagasan pemberontakan Frantz Fanon. Dalam hal ini, Harriet mendukung paradigma kehidupan yang lebih mementingkan stabilitas dari pada perubahan, meskipun itu belum tentu bakal mengancam tatanan yang sudah ada. 

Dari kacamata critical pedagogy, Harriet mewakili kemapanan sekolah, yang melihat Luce sebagai ancaman, terutama ketika Luce menulis esai dengan mengangkat tokoh sekaliber Frantz Fanon.

Itu artinya, kemerdekaan berpikir dan kebebasan mengutarakan gagasan, yang menjadi inti pendidikan liberal, yang dilakukan Luce, kontraproduktif dengan pandangan pendidikan sekolah yang mengutamakan stabilitas dan kemapanan.

Anda boleh menulis apa saja, tapi jangan menyasar hal ihwal yang bisa mengganggu kemapanan sekolah, begitu kira-kira aturan main tersembunyi dalam benak Harriot.

Perubahan (social change) bagi tatatanan yang mengandalkan keharmonisan, akan dianggap menganggu dan anomali. Dalam konteks pendidikan atau sekolah tempat Luce belajar, itu berarti gagasan Fanon yang ditulis Luce adalah hal berbahaya bagi tatanan. Sekolah dalam hal ini, dapat dikatakan institusi yang ikut mengekalkan status quo masyarakat. Ia menjadi lembaga, yang boleh jadi mewakili pandangan kelas tertentu, agar ide-ide perubahan tidak mengubah kepentingan yang sudah lebih awal disepakati.

Rasialisme

Penting untuk juga menyorot Luce dan Harriet, sebagai orang kulit hitam yang mewakili suatu kaum, dan kedua orangtua Luce yang berlatarbelakang kulit putih. Sepintas akan kelihatan bahwa film ini tidak ada masalah dengan rasialisme dengan mengangkat latar belakang keluarga Peter Edgar dan Amy Edgar yang mengadopsi Luce, seorang anak kulit hitam.

Dari segi ini, patut memerhatikan detil adegan atau cara pandang DeShaun (Brian Bradley) saat ia terlibat pertengkaran dengan Luce, mengenai di mana keberpihakan Luce apakah membela Deshaun— teman Luce yang dihukum karena kedapatan mengonsumsi ganja—yang notabene murid kulit hitam, atau mengedepankan prestasinya yang dipuja sekolah, yang dinilai representasi masyarakat kulit putih.

Meski adegan itu cukup sepintas dan seolah-olah hanya pertengkaran antara dua remaja anak SMA, refleksinya dapat ditarik dari pandangan pasca-kolonialisme. Luce bisa dikatakan mengalami dilema identitas antara latar belakangnya sebagai kulit hitam dengan kehidupan barunya yang lebih mewakili kebiasaan, cara berpikir dan merasa, melalui pengasuhan dan dididikan berdasarkan keluarganya yang berlatar masyarakat kulit putih.

Ini sama dengan apa yang dikatakan Fanon sendiri melalui bukunya: Black Skin, White Mask, tentang gejala alienasi akibat superioritas masyarakat kulit putih saat memandang rendah masyarakat kulit hitam yang mengakibatkan orang kulit hitam mesti melihat dirinya dari kacamata masyarakat kulit putih.

Kesalahan mengidentifikasikan diri ini, tidak saja berlaku pada kegiatan berdimensi politik, dan ekonomi, melainkan besar pengaruhnya pada dimensi kebudayaan, yang dalam konteks film ini dapat dikerucutkan pada aspek pengasuhan melalui keluarga dan pendidikan sekolah.

Luce adalah contoh—jika dapat mewakili bangsa-bangsa kolonial—mengenai bisa langgengnya suatu penjajahan disebabkan kekuasaan atas nama ras atau bangsa, dapat berlangsung dengan waktu yang lama dan tidak disadari melalui penciptaaan situasi ketergantungan (hegemoni) terhadap bangsa yang lebih superior melalui pendidikan dan kebudayaan.

Refleksi

Institusi pendidikan berupa sekolah atau perguruan tinggi, melalui critical pedagogy dilihat sebagai institusi yang berdiri dan beroperasi atas tuntutan imperatif ideologi dominan. Itu artinya intitusi pendidikan bukan lembaga yang kebal dari tarik ulur kekuasaan dalam dimensi politik dan ekonomi.  Ia, menurut analisis Bourdieu dan Foucault, senantiasa menjadi medium kepentingan elite tertentu dan kekuasaan untuk menciptakan situasi normal demi mendukung kepentingan bersangkutan.

Di tanah air, selain dari pada kemiripan di atas—kampus dan sekolah yang mewakili pandangan kekuasaan—juga menjadi lembaga yang mengalami liberalisasi dan swastanisasi, yang menyebabkan pengelolaan keduanya menjadi korporasi. Imbasnya, kegiatan pembelajaran, penyusunan kurikulum, penelitian, seminar, pengabdian masyarakat, kegiatan organisasi, dan pengambilan kebijakan, berubah orientasinya yang semula mengarah ke pengembangan peserta didik dan ilmu pengetahuan, menjadi sekadar pencarian profit material belaka.

Dalam suasana demikian, ketika pendidikan dikapitalisasi dan dipolitisasi, wacana atau gagasan yang bermuatan politis, atau berdimensi perubahan sosial, akan dideteksi sebagai ancaman bagi stabilitas institusi pendidikan. Di kampus, kontrol atas wacana, kegiatan organisasi, peredaran buku-buku kritis, dan seminar-seminar berorientasi perubahan akan dicap sebagai kegiatan ilegal. Dosen atau mahasiswa yang terlibat dengan kegiatan serupa akan diidentifikasi sebagai ancaman yang perlu dihambat karier dan studinya.

Di sekolah-sekolah, penggambarannya lebih mengerikan lagi. Murid-murid dilatih membaca dan menulis sesuai intruksi guru yang berposisi sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Murid akan dianggap menyimpang jika menunjukkan gejala berlainan apabila ditemukan melakukan improvisasi atau pengembangan pendekatan dalam memecahkan suatu soal. Sistem dikte yang masih ditemukan di sekolah saat ini, merupakan metode kontrol pikiran agar murid dapat digolongkan ke dalam satuan-satuan yang seragam dan serupa.

Dari kacamata pasca-kolonial, sekolah sangat berpotensi melanggenggkan pandangan inferior sebagai bangsa terjajah. Sekolah atau perguruan tinggi, jika tidak segera mengembangkan sendiri pandangan filosofi dan pendekatan pembelajarannya, yang berangkat dari kesadaran mandirinya, akan selamanya menjadi alat tidak langsung dalam mentransmisikan pandangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang mengkultuskan Barat sebagai kiblat kemajuan.

Sekolah-sekolah dengan posisi seperti itu akan terus melahirkan generasi berkepribadian kerdil dan terasing, dikarenakan diajarkan dan dididik dengan cara sesuai pandangan, perasaan, dan hasrat pihak penjajah. Dengan kata lain, merdeka belajar atau kampus merdeka, yang sering kita dengarkan sekarang hanyalah menjadi slogan politik semata apabila masalah mengenai ”kepribadian” sebagai bangsa  berdaulat belum dituntaskan dari awal.