SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni
Memahami-nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan
saat ini.
Pertimbanganya
tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman
bagaimana “memahami” bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika
beragam perbedaan kerap muncul, “seni
memahami” dirasa perlu
dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan
yang mudah retak.
Seni
memahami, walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang
kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.
Hal
ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu
pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di
alam demokrasi abad 21.
Begitu
pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras,
yang mengalami mispengertian imbas penafsiran atas teks yang terlalu
literer, melalui pemikiran tentang seni memahami, menjadi salah satu motivasi
mengapa buku ini harus menjadi bacaan wajib bagi siapa pun.
Seni
memahami yang diandaikan Hardiman senantiasa bertolak dari teks sebagai basis
materialnya. Artinya, melalui konteks pemikiran tokoh-tokoh filsafat yang
diulas di dalamnya, teks menjadi sasaran utama bagaimana “memahami” dapat
dimungkinkan.
Teks
ataupun bahasa, di era seperti yang didakukan Alvin Toffler menjadi indikator
utama dalam milenium ke tiga sebagai kebutuhan mendasar masyarakat. Dengan dan melalui teks ataupun bahasa, informasi
menjadi perantara kesalingpengertian antara manusia. Dengan kata lain,
kesalingpengertian atau sebaliknya, sangat ditentukan informasi apa yang
menghubungkan interaksi masyarakat.
Bahasa
ataupun teks sebagai medium makna, tidak selamanya mampu memberikan pengertian
yang sama di antara beragam latar belakang masyarakat. Sekalipun teks ataupun
bahasa itu menunjukkan makna yang terang, perbedaan mungkin saja muncul akibat
cara merespon dan menghayati informasi yang bersangkutan.
Lantas,
sampai di sini apakah yang dimaksud “memahami”? Apakah itu sama dengan arti
memahami dalam kehidupan sehari-hari? Jika bukan, apa perbedaannya?
Memahami,
berbeda dari mengetahui. Begitu ungkap Hardiman di bagian pendahuluan bukunya.
Memahami disebutkan Hardiman sebagai kemampuan manusia untuk menjangkau sesuatu
yang dialami orang lain. Itu berarti tidak semua pengetahuan yang ditujukan
kepada orang lain, identik dengan memahami. Orang bisa saja memiliki banyak
pengetahuan, tetapi belum tentu banyak memahami.
Memahami
dengan begitu “keterlibatan pribadi dan tidak bisa diraih semata-mata dengan
sikap berjarak”. Secara epistemologis, memahami bukan ditujukan untuk
memperoleh “data”, melainkan “makna”. Di sini akhirnya jelas. Pengetahuan
senantiasa menangkap “data”, sementara memahami lebih jauh dari itu berusama
menangkap “makna”.
Akibat
kedalamannya, memahami juga senantiasa melibatkan dimensi personal maupun
interpersonal. Sementara melibatkan dimensi personal, sama artinya memungkinkan
keterbukaan di dalamnya. Maka tiada teks yang secara monolit menutup diri dari
pemaknaan. Begitu pula secara sosial, pemahaman berarti harus mengandaikan dua
pihak yang saling terbuka.
Di
dalam keterbukaan itulah aktivitas saling membaca dapat direalisasi.
Bertukartangkap dari “kedalaman” masing-masing, kemudian membangun pengertian
yang sama-sama lahir dari aktifitas dialog yang dilakukan dua pihak.
Saling membaca dengan sendirinya merupakan aktifitas pertama untuk saling memahami. Tanpa
itu mustahil kegiatan ini dapat diberlangsungkan.
Memahami dalam kajian filosofis merupakan tema sentral dalam hermeneutika. Bahkan memahami itu sendiri merupakan tindakan hermeneutik. Hermeneutika dalam pengertian yang diberikan Hardiman merupakan kancah yang luas. Hal ini akibat betapa hermeneutika bukan ilmu yang defenitif sebagaimana paras keilmuan yang lain. Setidaknya, sejauh berdasarkan delapan pemikir hermeneutika modern, ilmu ini memiliki beragam pengertian berdasarkan tokoh-tokohnya.
Memahami dalam kajian filosofis merupakan tema sentral dalam hermeneutika. Bahkan memahami itu sendiri merupakan tindakan hermeneutik. Hermeneutika dalam pengertian yang diberikan Hardiman merupakan kancah yang luas. Hal ini akibat betapa hermeneutika bukan ilmu yang defenitif sebagaimana paras keilmuan yang lain. Setidaknya, sejauh berdasarkan delapan pemikir hermeneutika modern, ilmu ini memiliki beragam pengertian berdasarkan tokoh-tokohnya.
Saya
enggan memberikan penjelasan dari kedelapan pemikir hermeneutika yang diajukan
Seni Memahami-nya Budiman. Selain tidak tersedianya waktu yang cukup, biarlah
itu urusan pembaca untuk mencari tahunya lebih langsung.
Tapi,
saya ingin menyoroti dua tema sentral dari dua pemikir hermeneutika yang diulas
di bagian terakhir buku ini. Atas
pertimbangan dua pemikir ini memiliki dua kunci pemikiran yang berharga bagi arus
balik gejala fundamentalisme dan radikalisme kebenaran yang tak memberikan
peluang bagi lahirnya tafsir pengertian yang lebih humanis.
Yang
pertama adalah Paul Ricoeur. Pemikir Perancis ini mengandaikan kegiatan
hermeneutika sebagai cara menafsirkan teks sekaligus cara kenyataan dipahami di
luar dari teks itu sendiri. Bagi Ricoeur, memahami teks tidak semata-mata
merujuk di dalam teks, melainkan dunia di luar teks.
Dalam
memahami teks, Ricoeur menyatakan refleksi sebagai hal yang penting dalam
kegiatan hermeneutis. Melalui kegiatan refleksi, teks bukan satu-satunya sumber
pemaknaan, melainkan dari teks itu sendiri juga mencerminkan makna hidup
manusia. Dengan memahami teks, itu berarti jalan untuk memahami kehidupan.
Ricoeur
juga menyatakan tanpa peran logos yang diperantai refleksi, kegiatan
hermeneutis akan gagal menemukan makna baru yang bermanfaat bagi kehidupan.
Peran
hermeneutis yang didasarkan atas peran logos melalui refleksi ini, merupakan
bentuk “kesangsian” terhadap teks-teks sakral maupun simbol-simbol. Menurut
Ricoeur, kesangsian ini dilakukan sebelum “memercayai” teks-teks sakral secara
kritis yang akan dimediasi oleh logos. Ini berarti, memahami merupakan tindakan
paling awal sebelum kepercayaan itu sendiri.
Konsep
kunci dari Ricoeur adalah korelasi antara “memahami” dan ”menjelaskan”. Memahami
dan menjelaskan dalam pemahaman Ricoeur hanya bisa dibedakan melalui “penjarakan” sebagai konsep yang ditemui
dalam hermeneutikanya. Distansiasi atau pengambilan jarak terjadi ketika
seseorang menjelaskan teks yang sebelumnya mengambil bagian di dalamnya dengan
sikap memahami. Di sini memahami berarti keterlibatan di dalam teks dengan
menafsirkan, sementara menjelaskan merupakan kegiatan yang merefleksikan dan
menganalis teks.
Di
dalam kegiatan pemaknaan, distansi dianggap perlu bagi Ricoeur agar penafsir
memiliki peluang memberikan makna baru yang tidak harus disesuaikan dan
berkewajiban dengan maksud penulis teks. Ini sekaligus perbedaannya dengan
Gadamer yang tidak mengindahkan distansiasi karena membuat penafsir berjarak
dan sekaligus terasing dengan maksud penulis teks itu sebenarnya.
Dengan
sikap demikian, teks bagi Ricoeur adalah otonom. Penjarakan yang mengakibatkan
teks dan penulis teks adalah sebab mengapa teks akhirnya mampu otonom dari
“maksud” penulis teks. Ini juga merupakan upaya Ricoeur mengobyektifkan teks
dari kegiatan pemaknaan yang bersumber dari penulis teks. Implikasinya, makna dengan sendirinya bukan
berada “di belakang” teks yang harus disesuaikan dengan maksud penulis teks,
melainkan seperti yang diungkapkan Budiman, berada terang “di depan” teks yang
kemudian menyingkap diri dihadapan pembaca.
Apabila
mengacu ke dalam pemikiran Ricoeur, terutama bagaimana dia menempatkan
hermeneutika bukan saja semata-mata kegiatan menafsirkan teks, melainkan juga
kehidupan itu sendiri, maka kegiatan itu juga dapat ditarik kedalam problem
merebaknya metode penafsiran atas teks yang selama ini cenderung memandirikan
teks bagi konteks saat ini. Terutama penafsiran-penafsiran teks-teks keagamaan
yang seringkali melahirkan penafsiran telanjang tanpa mempertimbangkan maknanya
bagi konteks kehidupan itu sendiri.
Konsep
refleksi yang ditawarkan Ricoeur juga menjadi penting bagi kegiatan menafsirkan
karena dengan cara itu memungkinkan pemaknaan atas teks tidak serta merta
dilahirkan atas keyakinan yang buta. Refleksi dalam hermeneutika Ricoeur adalah
konsep yang penting karena melalui itu teks dapat dijadikan media untuk
memahami makna kehidupan itu sendiri.
Refleksi
juga memberikan peluang bagi perang logos agar mampu memberikan input kritis
bagi kegiatan pemaknaan terhadap teks. Jika pengertian ini diterapkan ke dalam
teks-teks kitab suci, terutama yang bercerita tentang iman, refleksi dapat
menjadi cara untuk meningkatkan iman itu sendiri dengan cara “menaifkan” secara
kritis. Sebagaimana iman yang baik selalu lahir dari kritisisme, maka
“menaifkan” secara kritis teks-teks suci juga cara Ricoeur menawarkan cara
mengimani teks dengan cara yang lebih kritis.
Konsep
relasi “memahami dan menjelaskan” apabila digunakan sebagai pendekatan dalam
memahami teks-teks sakral akan memberikan suatu cara memahami yang sebelumnya
menempatkan peran logos di dalamnya. Melalui cara itu, penafsiran yang lahir
dari memahami teks akan jauh lebih berkembang akibat tidak selalu mengikuti
makna literlet yang dikandung teks itu sendiri. Hal ini tentu berkesesuaian
dengan “distansiasi” yang bagi Ricoeur memberikan “keleluasan” bagi penafsir
untuk menemukan makna baru tinimbang “di situasikan” sebagaimana makna yang
sudah dimaksudkan penulis teks di belakangnya.
Pemikir
yang kedua adalah Derrida. Walaupun dikatakan Hardiman ada kesan pemaksaan
memasukkan Derrida sebagai bagian dari pemikiran tokoh yang mendaras
hermeneutika, namun setidaknya ada satu alasan yang dikemukakan Hardiman
mengapa pemikiran Derrida terutama melalui dekonstruksinya dikategorikan
sebagai hermeneutika.
Disebutkan
Hardiman, dekonstruksi yang merupakan salah satu konsep kunci Derrida,
mengandaikan suatu tindakan interpretasi yang dilakukan secara radikal.
Hardiman menyebut hermeneutika Derrida dengan sebutan “hermeneutika radikal”.
Bagaimana itu mungkin?
Pertama,
seperti yang sudah dijelaskan (hal278-282) dekonstruksi berbeda dari
konsep-konsep yang dikemukakan pemikir hermeneutika sebelumnya. Jika dari
Schleiermacher sampai Gadamer, hermeneutika bertujuan untuk membangun kembali
makna asli atau memproduksi makna baru sesuai dengan horizon yang baru, maka
dekonstruksi Derrida justru bukan dalam rangka memproduksi atau merekonstruksi
kembali makna yang sudah ada. Dengan kata lain, dekonstruksi bukan untuk memahami
susunan makna yang ditemukan di dalam atau di balik teks, melainkan menunda
makna apa pun yang dapat diputuskan dalam suatu teks.
Kedua,
sebagai kegiatan menafsirkan, dekonstruksi memberikan peluang yang besar kepada
penafsir kepada “the other meaning”
agar dapat dipertimbangkan sebagai makna yang baru dari makna yang ditunda.
Artinya, kegiatan menunda dan “memagari” makna yang dimungkinkan dalam
dekonstruksi bukan dalam rangkan memahami teks lewat “ketunggalan” makna,
melainkan lebih kepada pengelolahan makna-makna yang beragam.
Saya
kutipkan langsung apa yang dikatakan Hardiman tentang hermeneutika radikal
Derrida: “dekonstruksi merupakan sebuah
hermeneutik radikal karena mengandaikan bukan hanya tiadanya makna primordial
yang dicari dalam interpretasi, melainkan juga menunjukkan tidak mungkinnya
koherensi makna suatu teks, sehingga interpretasi bergerak sampai tak
terhingga”.
Makna
hermeneutika radikal Derrida menjadi jelas melalui konsep kunci Derrida lainnya
yaitu differance. Kata ini tidak ada
dalam kamus bahasa Perancis. Itulah sebabnya disebutkan Budiman, kata ini tidak
dapat disebut konsep akibat tidak tersedianya pengertian harfiah yang diberikan
kamus bahasa Perancis. Budiman menyebut differance
sebagai nir-kata.
Differance disebutkan Budiman mengandung dua hal;
pembedaan (spasialisasi) dan penangguhan (temporalisasi). Ini disebabkan
menurut Derrida, differance tidak
dapat dituturkan dengan mehilangkan pembedaan tulisan yang ditemukan dalam dan
antara kata differance dan difference. Derrida menyatakan: “differance harus dipahami mendahului pemisahan antara “deffering”
sebagai penangguhan dan “differing” sebagai karya aktif pembedaan. Artinya
ketika differance harus dimaknai sebagai
suatu konsep, maka dia semata-mata mengandung dua arti sekaligus, yakni
membedakan dan menangguhkan.
Dengan
begitu kegiatan hermeneutika melalui konsep differance
merupakan suatu cara memahami teks melalui aktifitas menunda datangnya makna
dengan cara membedakan namun sekaligus tanpa memutuskan atau menilainya.
Apabila
mengacu kepada kebudayaan dan tradisi yang dibentuk gagasan-gagasan yang
bersifat oposisi biner semisal rasio-irasional, akal-jiwa, pria-wanita,
barat-timur, kultur-nature, dlsb, maka differance dimaksudkan untuk
menangguhkan oposisi biner yang membentuk makna di dalamnya, sekaligus tanpa
mengambil keputusan untuk menilainya. Ini juga sekaligus kritik Derrida
terhadap sistem nilai seluruh kebudayaan yang dibangun atas dasar prinsip
opisisi biner.
Singkat
kata, hermeneutika radikal Derrida bukan bertujuan untuk menghimpun makna dan
menstabilkannya, melainkan suatu cara menafsirkan dengan mendestabilisasi makna
yang telah diperkuat otoritas tradisi maupun kebudayaan dengan membebaskannya
dari otoritas makna itu sendiri.
Sebagai
suatu tujuan untuk menemukan makna, jelas hermeneutika radikal tidak bisa dipakai
sebagai suatu pendekatan, tetapi dia justru memberikan suatu jalan lain untuk
kembali merenungkan keanekaragaman makna yang mungkin saja hadir dan ikut
memperkaya makna itu sendiri. Menurut Madison dalam buku Hardiman, tujuan
dekonstruksi “nyatanya adalah menunjukkan bahwa teks-teks filosofis tidak
berarti apa yang tampak mereka artikan, tidak berarti apa yang para penulis
mereka ingin mengartikan mereka (apa yang mereka ‘maksudkan’), nyatanya tidak
memiliki arti ‘yang dapat diputuskan’ sama sekali”.
Hatta, saya kira ketika membaca Seni Memahami-nya F. B. Hardiman, memberikan
peluang untuk menangkal cara pemahaman atas teks dengan model literalisme. “Keharfiaan”
yang menjadi modus pemaknaan dinyatakan Budiman menjadi biang mengapa marak
terjadi kekerasan agama belakangan ini. Dan, juga membaca buku ini, setidaknya “memahami”
menjadi tindakan penting yang jarang ditemukan di sekitar kita.