![]() |
Ali
Syariati muda
Pemikir
Islam Iran
Dikenal
sebagai sosiolog Islam modern
karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia
|
ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas.
Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”.
Human is becoming. Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini
sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan
benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain,
manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”;
alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan.
Alam material manusia dalam
peradaban manusia senantiasa membentuk konfigurasi dan dimensi dari
ikatan-ikatan sosialnya. Hubungan manusia dengan sesamanya dalam kurun waktu
tertentu akan membentuk kebiasaan-kebiasaan, tradisi, kemudian menjadi budaya.
Selama kurun waktu itu pula manusia beserta masyarakatnya mengalami ruang dan
beragam waktu, dan pada akhirnya menemukan dirinya sebagai mahluk yang
mengalami sejarah. Alam tempat manusia hidup, memiliki hukum-hukum kausalistik
yang sering disalahartikan manusia. Akibat manusia tidak mampu “memanfaatkan”
hukum-hukum alam, manusia bisa terjebak di dalam silih bergantinya situasi
alam. Ego, sebagai hasrat bawaan manusia, ibarat kuda liar yang mesti diarahkan
jika ingin melihatnya berkembang secara normal.
Empat penjara ini (alam, sejarah,
masyarakat dan ego) sebagaimana yang disebutkan Ali Syariati hanya bisa
dilampaui dengan tiga potensialitas yang dikandung manusia. Empat potensialitas
ini sekaligus menjadi “energi positif” bagi gerak maju manusia sebagai mahluk
yang “menjadi”.
Pertama adalah potensi manusia
dalam wujud kesadaran. Filsuf-filsuf membilangkan kesadaran yang paling
fundamental adalah kesadaran manusia atas dirinya. Melalui kesadaran ini,
manusia “memperluas” kesadarannya dalam mempersepsi dunia dan hubungan
kesadarannya dengan dunianya. Kesadaran diri, dengan kata lain adalah “kesadaran
pertama” yang menjadi dasar manusia ketika membangun pemahamannya terhadap
realitas apa saja yang dipersepsi dan dipikirkannya.
Kedua yakni potensialitas kehendak
bebas. Sebagaimana kesadaran, kehendak bebas adalah potensi yang hanya dimiliki
manusia. Tiada mahluk selain manusia yang memilikinya. Kehendak bebas
memberikan peluang manusia untuk berkemampuan dalam menentukan pilihannya.
Letak keistimewaan kehendak bebas adalah kemampuannya dalam menentukan pilihan
yang berbeda dan mampu melawan dari kecenderungan-kecenderungan bilologis,
alam, masyarakat, maupun dorongan psikologisnya. Dengan kemampuan yang dimiliki
dari kehendak bebaslah yang ketika digunakan akan mampu mentransformasikan
manusia tidak sekadar benda-benda, melainkan mampu melewati kebiasaan-kebiasaan
yang telah menjadi kecenderungannya.
Potensialitas yang ketiga adalah
daya kreasi. Dengan potensi ini, manusia bisa menciptakan apa saja: mulai dari
hal-hal sederhana sampai teknologi canggih masa kini. Peradaban bisa sampai
pada wujudnya sekarang akibat dari daya kreatif manusia dalam mengeksplorasi
temuan-temuannya dan mengembangkannya sampai ke tingkat yang lebih tinggi.
Pencapaian-pencapaian yang sudah dimiliki manusia melalui seni dan kebudayaan,
misalnya, tidak lain merupakan cipta karsa daya cipta yang bertujuan memenuhi
kebutuhan spiritual manusia.
Ketiga potensi yang dimiliki
manusia, disebut Ali Syariati sebagai atribut ketuhanan yang diberikan Tuhan
sebagai modal penting dalam mengembangkan dirinya serta kehidupannya. Melalui
tiga potensi inilah manusia dituntut untuk mengembangkan cara beradanya demi
keluar dari empat penjara manusia.
Dengan kesadarannya manusia mampu membebaskan diri dari alam
dengan kemampuan berpikirnya dengan cara mempelajari ilmu pengetahuan dan
teknologi. Mengembangkannya dengan maksud memanfaatkan dan menjaga kehidupan
beserta segala isinya. Dengan itu manusia juga harus membebaskan diri dari
kecenderungan masyarakatnya yang deterministik dengan mendalami ilmu-ilmu
sosial dan hukum-hukum perkembangan masyarakat agar tidak terjebak dari bayang-bayang
sejarah. Melalui itu pula manusia menjadi mahluk yang mampu memproyeksikan
sejarah masa depannya berdasarkan ukuran-ukuran yang dianggap ideal.
Manusia juga mesti melepaskan
dirinya dari ego sebagai penjara yang paling inheren dalam eksistensi manusia.
Melalui kesadaran dan kehendak bebas manusia bisa saja melampaui tiga penjara
yang berada di luar wujudnya, tapi bagi penjara ego, menurut Ali Syariati tiada
lain hanya dengan cinta sebagai kekuatan pembebasnya.
Cinta yang dimaksudkan Ali Syariati
adalah cinta yang mampu membawa manusia kepada nilai pengorbanan untuk
memajukan diri dan peradabannya. Tidak sekadar cinta Platonik maupun mistikus
yang tenggelam dalam kefanaan tanpa memiliki kehendak untuk melihat realitas
kehidupan tempat di mana dia hidup. Cinta, dalam pengertian Ali Syariati,
singkatnya adalah cinta yang aktif menyongsong kehidupan dan mau masuk terlibat
di dalamnya sebagai manusia seutuhnya.