![]() |
Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai
|
Belum lama ini aku
berdiri di jembatan itu
di malam berwarna
cokelat.
Dari kejauhan
terdengar sebuah lagu:
Setetes emas, ia
mengembang
Memenuhi permukaan yang
bergetar.
Gondola, cahaya,
musik—
mabuk ia berenang ke
kemurungan …
jiwaku, instrumen
berdawai,
dijamah tangan tak
kasatmata
menyanyi untuk dirinya
sendiri menjawab lagu gondola,
dan bergetar karena
kebahagiaan berkelap-kelip.
—Adakah yang
mendengarkan?
:dalam Ecce Homo
Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang.
Nietzsche khawatir jika ada orang
mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang
memahami pemikiran Nietzche berarti selevel dengan dirinya. Berarti mengalami betapa getirnya pengalaman
hidup Nietzsche yang berat dan kelam.
Bagi Nietzsche pemikirannya bukan
untuk diketahui. Biarlah ia sendiri yang paham tentang gagasannya, dirinya
sendiri. Dengan begitu cukup ia yang menanggung sengsara.
Tapi, jika ada orang yang berani
masuk lebih jauh ke dalam pemikirannya, dan berusaha memahami sepenuhnya, maka
betapa kasihannya orang itu. Kata Nietzsche, ia –orang itu—sama beratnya dengan
dirinya. Sama pedihnya dengan Nietzsche.
Bukankah setiap pemikiran
dituliskan demi diketahui khalayak? Bukankah setiap gagasan si pemikir memiliki
maksud mencerahkan pembacanya? Lalu dalam kasus Nietzsche untuk apa
pikiran-pikirannya ia tulis? Bukankah setidak-tidaknya itu berarti ada sesuatu
yang ia ingin sampaikan? Ada pesan yang ingin ia ungkapkan?
Paradoks memang.
Lama saya mengetahui penjelasan
Setyo Wibowo di atas. Nietzsche bukanlah filsuf biasa. Ia filsuf cum sastrawan. Ia pemikir dan perasa
sekaligus. Dari kacamata ini, saya pelan-pelan mengerti, membaca pemikiran
Nietszche berarti sekaligus memahami
dirinya. Ikut –jika memungkinkan—setidaknya sebagian perjalanan hidupnya. Itu
berarti ikut menjiwai apa-apa yang ia
alami selama hidupnya.
Itulah sebabnya, pendekatan untuk
memahami Nietzsche agak berbeda dengan pemikir lainnya. Jika pemikir lainnya
cukup kita mengetahui aspek biografis dengan cara membacanya, dengan Nietzche
tidak cukup hanya itu. Kita –setidaknya bagi saya—dituntut untuk ikut menyelami
dunia pengalaman-perasaan dirinya. Sejenis praktik hermeunetik.
Dari situlah kita akhirnya berisiko
seperti dikatakan Setyo Wibowo di atas. Harus rela merasakan bagaimana beratnya
pengalaman hidup Nietzsche. Pemikiran yang mendarahdaging dengan aspek-aspek
perasaannya, atau perasaan yang beruratakar dengan pikirannya. Mengerti
pemikirannya juga mesti merasakan pergulatan batinnya.
Menurut saya dengan cara itulah
kita bisa menyerap inti sari gagasan Nietzsche yang rumit dan berlapis-lapis
itu.
Nietzsche adalah filsuf dengan
kehidupan yang terputus-putus.
Melalui buku Gaya Filsafat Nietzsche,
Romo Setyo Wibowo menyebutnya keterputusan-keterputusan
relasi. Pengalaman hidup ini ditandai dengan cara hidup Nietzsche yang
nomaden. Ia hidup selayaknya seorang pengembara, dari satu tempat ke tempat
lain tanpa pernah bermukim lama.
Kata Romo Setyo dalam buku yang
sama, keterputusan yang paling fundamental dialami Nietzche adalah
perpisahannya dengan iman kristiani. Keterputusan ini kontan membuatnya
terpisah dari tradisi kristiani yang dirawat oleh keluarga besarnya.
Kedua, dia putus dengan tempatnya
mengabdikan diri sebagai dosen; Universitas. Sebagai seorang filolog ia ditolak
lantaran terlalu filosofis dalam menerapkan pendekatan filologis. Terputusnya
dari universitas sekaligus menjauhkannya dari komunitas intelektual pada waktu
itu.
Ketiga, lantaran kesehatannya yang
memburuk, membuat Nistzsche terputus dari kehidupan normal. Ia mesti menjalani
kehidupan yang sama sekali berbeda dari orang sehat. Bahkan untuk memenuhi
kebutuhannya menghirup udara, ia mesti mencari tempat yang cocok bagi dirinya.
Keempat, konsekuensi dari cara
hidupnya yang nomaden, secara afeksi membuatnya jauh dari lingkungan pergaulan.
Pola hidup yang nomaden membuat ia tak mampu memiliki relasi pertemanan yang
bertahan lama. Lebih dari itu, bahkan untuk membina keluarga pun sulit karena
cara hidup yang demikian tak menentu.
Berkat cara hidupnya ini Nietzsche
menjadi filsuf soliter. Ia menjadi pribadi unik yang ditempa kesendirian.
Bahkan sebelum masuk masa kegilaannya, ia sudah didera penyakit yang
pelan-pelan menggerogoti tubuhnya dari dalam.
Dahsyatnya, dan inilah yang membuatnya
sebagai pribadi unggul. Dalam keadaan sakit itulah ia justru produktif secara
pemikiran dan intuitif. Banyak melahirkan karya-karya monumental melalui
penghayatannya secara kontemplatif.
Mengapa Aku Begitu Pandai adalah
sebuah solikokui yang demikian panjang dari Nietzsche untuk Nietzsche. Dia
bertanya kemudian dijawabnya dengan cara sendiri dan dari pikirannya yang
demikian origin. Ibarat cermin, Nietzsche dengan cara ini sedang menguji
seberapa mungkinkah ia mampu menemukan ”jawaban-jawaban” dari dirinya sendiri.
”Bagaimana
mencukupi kebutuhan makan dirimu sendiri untuk mencapai puncak kekuatanmu,
mencapai virtŭ dalam gaya Renaisans, kebajikan bebas moralin?” (hal.22)
Virtu adalah keutamaan yang
diandaikan Nietzsche sebagai ciri khas manusia. Namun, walaupun begitu ia mesti
ditemukan di dalam pencarian yang kadang demikian sulit. Kadang manusia
terjebak ke dalam pragmatisme dengan mengidefixkan pakem-pakem nilai agar kehidupan
menjadi lebih praktis dan mudah.
Ideologi, agama, moral, filsafat,
sains, politik, dan pakem-pakem
semacamnya adalah idefix yang ditolak Nietzsche karena terlalu mengkerdilkan
kehidupan. Virtu harusnya selaras dengan esensi kehidupan yang sebenarnya chaos. Bukan berhenti di dalam
nilai-nilai yang diidealisasi dan melihat dunia dalam keadaan harmoni dan
tetap.
Dunia adalah suatu kemenjadian
tanpa ujung. Manusia harus menggunakan virtunya agar dapat ikut menjadi. Berkata “ya” kepada dunia yang
terus bergerak.
Dengan kata lain, di dalam dunia
yang bergerak, “kedisinian” adalah satu-satunya kenyataan yang menopang
diri. Esok dan masa lalu hanyalah idealisasi yang tidak memiliki dasar
eksistensi sama sekali. Manusia mesti mencitai nasibnya sendiri. Di sini dan
sekarang.
”Rumusanku
bagi kebesaran dalam seseorang manusia adalah amor fati: bahwa orang tidak menginginkan menjadi selain seperti saat ini, bukan
di masa depan, bukan di masa lalu, bukan dalam seluruh kekekalan. Bukan hanya
menanggung apa yang terjadi karena keharusan, apalagi membuyarkannya—semua idealisme
adalah ketidakbenaran di hadapan keharusan—melainkan untuk mencintainya…”(hal.48)
Akhir kata, membaca teks-teks
Nietzsche ibarat berhadapan dengan sebuah labirin. Banyak kelolakan dan jalan
buntu yang sulit ditaklukkan. Itulah sebabnya, dengan nada khas selfishnya, ia mengatakan “Mengapa Aku
Begitu Pandai?”