Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai
Penulis: Friedrich Nietzsche
Penerjemah: Noor Cholis
Penerbit: Circa
Edisi: Pertama,  Januari 2019
Tebal: xiv+124 halaman
ISBN: 978-602-52645-3-5






Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu
di malam berwarna cokelat.
Dari kejauhan terdengar sebuah lagu:
Setetes emas, ia mengembang
Memenuhi permukaan yang bergetar.
Gondola, cahaya, musik—
mabuk ia berenang ke kemurungan …
jiwaku, instrumen berdawai,
dijamah tangan tak kasatmata
menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola,
dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip.

—Adakah yang mendengarkan?  

:dalam Ecce Homo


Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang.

Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memahami pemikiran Nietzche berarti selevel dengan dirinya. Berarti mengalami betapa getirnya pengalaman hidup Nietzsche yang berat dan kelam.

Bagi Nietzsche pemikirannya bukan untuk diketahui. Biarlah ia sendiri yang paham tentang gagasannya, dirinya sendiri. Dengan begitu cukup ia yang menanggung sengsara.

Tapi, jika ada orang yang berani masuk lebih jauh ke dalam pemikirannya, dan berusaha memahami sepenuhnya, maka betapa kasihannya orang itu. Kata Nietzsche, ia –orang itu—sama beratnya dengan dirinya. Sama pedihnya dengan Nietzsche.

Bukankah setiap pemikiran dituliskan demi diketahui khalayak? Bukankah setiap gagasan si pemikir memiliki maksud mencerahkan pembacanya? Lalu dalam kasus Nietzsche untuk apa pikiran-pikirannya ia tulis? Bukankah setidak-tidaknya itu berarti ada sesuatu yang ia ingin sampaikan? Ada pesan yang ingin ia ungkapkan?

Paradoks memang.

Lama saya mengetahui penjelasan Setyo Wibowo di atas. Nietzsche bukanlah filsuf biasa. Ia filsuf cum sastrawan. Ia pemikir dan perasa sekaligus. Dari kacamata ini, saya pelan-pelan mengerti, membaca pemikiran Nietszche berarti sekaligus memahami dirinya. Ikut –jika memungkinkan—setidaknya sebagian perjalanan hidupnya. Itu berarti ikut menjiwai apa-apa yang ia alami selama hidupnya.

Itulah sebabnya, pendekatan untuk memahami Nietzsche agak berbeda dengan pemikir lainnya. Jika pemikir lainnya cukup kita mengetahui aspek biografis dengan cara membacanya, dengan Nietzche tidak cukup hanya itu. Kita –setidaknya bagi saya—dituntut untuk ikut menyelami dunia pengalaman-perasaan dirinya. Sejenis praktik hermeunetik.

Dari situlah kita akhirnya berisiko seperti dikatakan Setyo Wibowo di atas. Harus rela merasakan bagaimana beratnya pengalaman hidup Nietzsche. Pemikiran yang mendarahdaging dengan aspek-aspek perasaannya, atau perasaan yang beruratakar dengan pikirannya. Mengerti pemikirannya juga mesti merasakan pergulatan batinnya.

Menurut saya dengan cara itulah kita bisa menyerap inti sari gagasan Nietzsche yang rumit dan berlapis-lapis itu.

Nietzsche adalah filsuf dengan kehidupan yang terputus-putus. Melalui buku Gaya Filsafat Nietzsche, Romo Setyo Wibowo menyebutnya keterputusan-keterputusan relasi. Pengalaman hidup ini ditandai dengan cara hidup Nietzsche yang nomaden. Ia hidup selayaknya seorang pengembara, dari satu tempat ke tempat lain tanpa pernah bermukim lama.

Kata Romo Setyo dalam buku yang sama, keterputusan yang paling fundamental dialami Nietzche adalah perpisahannya dengan iman kristiani. Keterputusan ini kontan membuatnya terpisah dari tradisi kristiani yang dirawat oleh keluarga besarnya.

Kedua, dia putus dengan tempatnya mengabdikan diri sebagai dosen; Universitas. Sebagai seorang filolog ia ditolak lantaran terlalu filosofis dalam menerapkan pendekatan filologis. Terputusnya dari universitas sekaligus menjauhkannya dari komunitas intelektual pada waktu itu.

Ketiga, lantaran kesehatannya yang memburuk, membuat Nistzsche terputus dari kehidupan normal. Ia mesti menjalani kehidupan yang sama sekali berbeda dari orang sehat. Bahkan untuk memenuhi kebutuhannya menghirup udara, ia mesti mencari tempat yang cocok bagi dirinya.

Keempat, konsekuensi dari cara hidupnya yang nomaden, secara afeksi membuatnya jauh dari lingkungan pergaulan. Pola hidup yang nomaden membuat ia tak mampu memiliki relasi pertemanan yang bertahan lama. Lebih dari itu, bahkan untuk membina keluarga pun sulit karena cara hidup yang demikian tak menentu.

Berkat cara hidupnya ini Nietzsche menjadi filsuf soliter. Ia menjadi pribadi unik yang ditempa kesendirian. Bahkan sebelum masuk masa kegilaannya, ia sudah didera penyakit yang pelan-pelan menggerogoti tubuhnya dari dalam.

Dahsyatnya, dan inilah yang membuatnya sebagai pribadi unggul. Dalam keadaan sakit itulah ia justru produktif secara pemikiran dan intuitif. Banyak melahirkan karya-karya monumental melalui penghayatannya secara kontemplatif.

Mengapa Aku Begitu Pandai adalah sebuah solikokui yang demikian panjang dari Nietzsche untuk Nietzsche. Dia bertanya kemudian dijawabnya dengan cara sendiri dan dari pikirannya yang demikian origin. Ibarat cermin, Nietzsche dengan cara ini sedang menguji seberapa mungkinkah ia mampu menemukan ”jawaban-jawaban” dari dirinya sendiri.

”Bagaimana mencukupi kebutuhan makan dirimu sendiri untuk mencapai puncak kekuatanmu, mencapai virtÅ­ dalam gaya Renaisans, kebajikan bebas moralin?” (hal.22)

Virtu adalah keutamaan yang diandaikan Nietzsche sebagai ciri khas manusia. Namun, walaupun begitu ia mesti ditemukan di dalam pencarian yang kadang demikian sulit. Kadang manusia terjebak ke dalam pragmatisme dengan mengidefixkan pakem-pakem nilai agar kehidupan menjadi lebih praktis dan mudah.

Ideologi, agama, moral, filsafat, sains,  politik, dan pakem-pakem semacamnya adalah idefix yang ditolak Nietzsche karena terlalu mengkerdilkan kehidupan. Virtu harusnya selaras dengan esensi kehidupan yang sebenarnya chaos. Bukan berhenti di dalam nilai-nilai yang diidealisasi dan melihat dunia dalam keadaan harmoni dan tetap.

Dunia adalah suatu kemenjadian tanpa ujung. Manusia harus menggunakan virtunya agar dapat ikut menjadi. Berkata “ya” kepada dunia yang terus bergerak.

Dengan kata lain, di dalam dunia yang bergerak, “kedisinian” adalah satu-satunya kenyataan yang menopang diri. Esok dan masa lalu hanyalah idealisasi yang tidak memiliki dasar eksistensi sama sekali. Manusia mesti mencitai nasibnya sendiri. Di sini dan sekarang.

”Rumusanku bagi kebesaran dalam seseorang manusia adalah amor fati: bahwa orang tidak menginginkan menjadi selain seperti saat ini, bukan di masa depan, bukan di masa lalu, bukan dalam seluruh kekekalan. Bukan hanya menanggung apa yang terjadi karena keharusan, apalagi membuyarkannya—semua idealisme adalah ketidakbenaran di hadapan keharusan—melainkan untuk mencintainya…”(hal.48)

Akhir kata, membaca teks-teks Nietzsche ibarat berhadapan dengan sebuah labirin. Banyak kelolakan dan jalan buntu yang sulit ditaklukkan. Itulah sebabnya, dengan nada khas selfishnya, ia mengatakan “Mengapa Aku Begitu Pandai?”