Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2016

Sampul Buku

Model sampul buku anak-anak SD zaman 90-an Sampul buku itu penting. Dia ibarat kulit, melindungi. Sampul, karena itu jadi barang wajib. Tanpa sampul, buku tak bisa tahan lama. Akibatnya, buku yang bersampul punya masa lebih panjang dua kali lipat dari buku yang tak bersampul. Dulu bagi anakanak sekolah dasar, sampul harus ada jika punya buku baru. Musababnya karena hampir setiap guru bersepakat, buku yang baik adalah buku yang bersampul. Makanya bagi anak sekolah dasar buku apapun modelnya akhirnya jadi seragam. Buku yang bersampul juga karena itu jadi ukuran kerapihan. Kadang bagi siswa, ketika mengumpulkan tugas, buku yang tanpa sampul tidak bakal diterima guru. Itu juga mengapa buku tanpa sampul adalah ukuran kepatuhan. Jadi di kelas gampang menilai mana murid patuh mana murid nakal. Seingat saya sampul paling terkenal kala masih sekolah dasar adalah sampul berwarna cokelat. Pembungkusnya agak mirip kertas minyak. Biasanya dijual satu lusin di hampir tiap ki...

catatan kelas menulis PI, pekan 14

Orangorang berkumpul hanya ingin banyak berbicara, orangorang menepi hanya untuk menulis. (Bahrul Amsal) Suatu tindakan harus dimulai dengan satu kemauan, sekaligus karena itu di baliknya perlu ada seribu kesabaran. Kelas literasi PI, awalnya bukan mau menyoal jumlah. Pertama kali dirintis, kalau tidak salah ingat, kelas dibangun berdasarkan visi gerakan. Sementara logika gerakan bukan mengutamakan jumlah. Itulah sebabnya KLPI menaruh utama pada niat. Kemauan. Karena itu semua kawankawan mesti tahu, kunci gerakan satusatunya adalah niat mau memikul visi. Makanya, sampai hari ini KLPI belum mau membikin barisan massa. Yang jadi tujuan orangorang yang mau belajar. Yang mau menerima visi literasi. Cukup itu saja. Jumlah kadang membuat soal. Karena perkara jumlah kadang suatu niat jadi matematis. Dan apabila suatu maksud jadi matematis, kadang di situ suatu harap berubah untung rugi. Bicara gerakan kami sudah mewanti dari awal, yang mendasar merupakan kesabaran. Yang bikin g...

Mahasiswa dalam Hegemoni Media

Mahasiswa dalam hegemoni media adalah statemen yang mendua. Pertama, dalam konteks apa mahasiswa mengalami situasi pasif di balik transformasi besarbesaran media massa? Kedua, kekuatan apa yang dipunyai mahasiswa jika menjadi subjek tindakan atas media massa yang dipergunakan? Dua pertanyaan ini setidaknya menjadi jalan masuk mengetahui posisi gerakan mahasiswa kekinian di mana di saat bersamaan turut menguatnya pula media massa sebagai kekuatan pendorong terjadinya perubahan sosial. Media Virtual: Suatu Simulacra Kiwari, kemajuan media massa bukan saja membahasakan kembali realitas dengan cara virtual maupun visual, melainkan menjadi realitas itu sendiri.  Akibatnya, kehidupan seharihari penuh sesak dengan dunia tiruan. Jean Baudrillard mendaku, dunia baru yang diciptakan media massa nantinya akan menggusur habis kenyataan dengan imajinasi yang dimiliki di dalam dunia kreasi media massa. Baudrillard menyebut dunia baru itu sebagai simulakrum, yakni realitas virtual yan...

Berpikir a la Kiri (Tanggapan Ringkas atas Buku Epistemologi Kiri)

Judul: Epistemologi Kiri Penulis: Listiyono Santoso, Dkk Penerbit: Ar-Ruzz Media Tahun: 2007 Halaman: 360 halaman Theorea sebagai Praxis Hakikatnya, pengetahuan melibatkan kepentingan. Ini sifat khas akibat pengetahuan yang manusiawi. Karena itu, pengetahuan selalu terlibat di dalam ekspresi kemanusian. Di Yunani purba, pengetahuan diandaikan sebagai bentuk   praxis .   Theorea , terma yang bergeser dalam horizon sains modern, merupakan cara manusia menggamit idede kebaikan, keindahan, dan kebijaksanaan bagi kehidupan seharihari. Di Yunani purba, akibatnya, jika orang berbicara pengetahuan maka itu sama halnya menyatakan kehidupan kongkret itu sendiri. Situasi demikian disebut   bios theoretikos . Imajinasi alam berpikir Yunani purba mengartikan   bios theoretikos   bukan penyelidikan asumsiasumsi pengetahuan demi pengetahuan dalam kategori abstrak sebagaimana teori dalam sains, melainkan suatu jalan etik bagi mendidik jiwa. Ini dian...

catatan menulis PI, pekan 13

Manusia hakikatnya tidak dirancang untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI. Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan menyusut. Barangkali banyak soal di luar sana. Banyak urusan yang mau diselesaikan. Satusatunya yang bikin berbeda barangkali dirasai Salman, juga kawankawan yang sudah tahu; pekan 13 pertemuan terakhirnya di KLPI. Salman sudah sekira dua bulan terlibat di KLPI. Tapi, mulai dari kelas perdananya, dia sudah menunjukkan tandatanda keterikatan dengan tradisi menulis. Saya agak lupa kesan apa yang membawanya mau terlibat tiap pekan di Paradigma Institute. Satu hal yang menandai permulaannya terlibat yakni pertemuan saya dengannya lewat beberapa kali ngobrol soal tradisi kampus. Pasca beberapa pertemuan itu, su...

dian sastro dan perempuan rembang

Di depan istana negara belakangan ini,    heboh akibat aksi demonstrasi sembilan perempuan asal Rembang. Aksi demonstrasi dengan cara mengecor kaki itu berlangsung selama dua hari. Aksi itu dilakukan untuk menolak pembangunan pabrik semen Rembang yang dinilai akan merusak ekosistem dan mata pencarian masyarakat sebagai seorang petani. Sesudahnya, di media massa ( Kompas.com,   16 April), menanggapi aksi yang terbilang tak biasa itu, Dian Sastro, ikut berpendapat. Memang penolakan yang dilakukan ibu-ibu petani itu banyak menyedot perhatian. Tak terkecuali aktris alumnus jurusan Filsafat UI ini. Yang malang dari pendapat Dian Sastro adalah statemennya soal perempuan yang tidak usah melibatkan  diri ke dalam urusan politik. “Saya melihat fenomena bicara perempuan itu, ada tanda tanya besar. Apakah polemik itu terlalu politis bagi laki-laki. Kenapa yang bicara malah perempuan, saya enggak tahu,” ungkapnya saat diwawancarai kuli tinta. “Itu jadi menarik adanya ...

Politik Bapakisme

Politik kalau mau dibilang adalah urusan banyak orang. Politik adalah usaha kolektif. Soal suatu visi. Soal suatu misi. Politik dimulai dari perkara kekuasaan menjadi manusiawi. Di situ, kekuasaan yang nyaris liar harus ditundukan. Di bawah kehidupan banyak orang, politik niscaya emansipatif. Politik dengan begitu berarti bekerja untuk pembebasan. Kiwari, politik paralel dengan dua hal; tirani dan totalitarianisme. Tirani ditunjukan dengan menyempitnya ruang berekspresi, dan totalitarianisme merujuk pada kekuasaan yang menguasai seluruh sendi kehidupan. Politik dengan wajahnya yang tiranis dan totaliter, akibatnya banyak menggusur  segala ihwal yang manusiawi. Politik malah ambivalen menjadi buldozer kebudayaan. Kiranya kalau diomongkan, politik terlanjur lacur. Di tangan elit negara, politik berubah jorok. Di situ, egoisme jadi sulut menyebar dengki dan maki. Individualisme menjadi etika umum menggantikan kepentingan publik. Ruang publik, tempat politik berlangsung, buk...

catatan menulis PI, pekan 12

Scribo Ergo Sum —Aku Menulis, Aku ada ( Robert Scholes) Kelas menulis sudah sampai pekan 12.  Sampai di sini kawankawan sudah harus memulai berpikir ulang. Mau menyoal kembali hal yang dirasa juga perlu; keseriusan. Keseriusan, kaitannya dengan kelas menulis, saya kira bukan perkara mudah. Tiap minggu meluangkan waktu bersama orangorang yang nyaris sama kadang tidak gampang. Di sana akan banyak kemungkinan, bakal banyak yang bisa terjadi sebagaimana lapisan es di kutub utara mencair akibat global warming. Di situ ikatan perkawanan bisa jadi rentan musabab suatu soal sepele-- misalkan perhatian yang minim, perlakuan yang berlebihan, atau katakata yang menjemukan,...

Agama Puitik Bukan Politik

Siapa sangka, agama tidak datang dari hati raja-raja bermahkota, atau orang-orang berkuasa.  Siapa mengira agama, atau dengan kata lain wahyu, datang bukan di kalbu orang-orang yang mudah gusar. Agama, begitu di dalam sejarah, mulai di hati orang-orang yang suka tercenung. Orang-orang yang suka tercenung mudah menerima di atas langit masih ada langit. Di atas kekuasaan masih ada kekuasaan. Kala siang menghampar diri di sabana luas dan saat malam memandang gemintang nun jauh di atas membuat orang tercenung punya hati yang mudah basah, juga air mata yang mudah jatuh. Cuman, agama kiwari bukan agama yang kerap basah. Sekarang, agama malah bermunculan dari raut muka yang mudah  gusar. Agama, di situasi yang serba akumulatif; modal, citra, gengsi, kekuasaan— turut andil jadi kekuatan pendorong paling ampuh menyediakan dasar teologis penunjang semua bentuk akumulasi bekerja. Max Weber, seorang sosiolog Jerman menyatakan, kapitalisme satu-satunya kiblat sejarah k...

pojok bunker 2

Pojok Bunker sudah bisa dibilang jadi. Kalau tidak salah kira, akhir Maret kemarin sudah ada aktivitas diskusi di situ. Sebelumnya, bukan pertemuan semacam diskusi, tapi di tempat tidak lebih dari empat meter itu hanya tempat parkiran motor. Sekarang di situ malah sudah ada agenda diskusi tiap pekan di gelar. Pojok Bunker hanya sebuah nama tanpa maksud apaapa. Tak ada konotasi seperti sebuah visi tersemat di situ. Pojok Bunker hanya nama asal comot. Nama yang disepakati mewakili sepojok ruang. Itu saja. Sedangkan lambang seperti rambu jalan itu juga tidak direncanakan. Ujhe membuatnya begitu saja. Kenapa mengambil lambang seperti mirip festival belok kiri, kegiatan yang dicekal itu, hanya sematamata kebetulan belaka. Jika mau lambang itu punya arti, barangkali memang karena ruangan pojok tempat mangkal itu berada di sebelah kiri ketika masuk. Dan mengapa ada bintang di situ, mungkin hanya mau mewakili suatu cita yang tak tahu apa artinya. Merah dan kuning juga tanpa dise...