Langsung ke konten utama

Agama Puitik Bukan Politik

Siapa sangka, agama tidak datang dari hati raja-raja bermahkota, atau orang-orang berkuasa. 

Siapa mengira agama, atau dengan kata lain wahyu, datang bukan di kalbu orang-orang yang mudah gusar.

Agama, begitu di dalam sejarah, mulai di hati orang-orang yang suka tercenung. Orang-orang yang suka tercenung mudah menerima di atas langit masih ada langit. Di atas kekuasaan masih ada kekuasaan. Kala siang menghampar diri di sabana luas dan saat malam memandang gemintang nun jauh di atas membuat orang tercenung punya hati yang mudah basah, juga air mata yang mudah jatuh.

Cuman, agama kiwari bukan agama yang kerap basah. Sekarang, agama malah bermunculan dari raut muka yang mudah gusar.

Agama, di situasi yang serba akumulatif; modal, citra, gengsi, kekuasaan— turut andil jadi kekuatan pendorong paling ampuh menyediakan dasar teologis penunjang semua bentuk akumulasi bekerja.

Max Weber, seorang sosiolog Jerman menyatakan, kapitalisme satu-satunya kiblat sejarah kemajuan saat ini, ditopang oleh iman eskatologis sebagai basis etikanya. Dengan kata lain, orang-orang boleh mengakumulasi modal sebanyak-banyaknya sebab itu terhubung langsung dengan kebahagiaan agama itu sendiri. Bahkan sampai di akhirat kelak.

Itulah sebabnya tak ada hati yang sering mudah tangis jika orang-orang berlebihan barang-barang. Agama di tengah membludaknya segala macam barang-barang, bertambahnya kendi-kendi harta, mengerasnya kekuasaan di satu pusat, juga mudahnya orang-orang ditekuk di dalam suatu simbol, datang bersamaan dengan makna agama yang lain, agama yang keras.

Agama yang keras barangkali agama yang kerap dibingkai di dalam suatu layar kaca. Di situ, Agama jadi suatu drama mencekam, suatu kekuatan dengan bahasa yang provokatif. Agama dengan nuansa provokatif malah jadi seperti suatu massa aktif yang diistilahkan sebagai crowd.

Crowd, atau lebih dikenal sebagai gerombolan, merupakan elemen abu-abu dalam suatu lapis masyarakat. Crowd bukan komunitas, bukan kelompok masyarakat, atau perhimpunan kesamaan dari tradisi dan nilai-nilai bersama, melainkan orang-orang yang tercerabut dari suatu pemahaman etis tentang kehidupan bersama. Kumpulan orang-orang yang mengalami disorientasi makna hidup.

Gerombolan karena bersifat abu-abu, adalah “kelompok” sosial yang mudah diarak berdasarkan kekuatan dominan masyarakat. Dan, agama yang provokatif, gampang saja menemukan suatu kekuatan berbasis kerumunan sebagai kekuatan penggeraknya. Akibat tiada pegangan nilai yang diacu di dalam kerumunan, crowd menjadi kekuatan destruktif berbahaya jika diarahkan kepada beragam kepentingan tertentu.

Barangkali karena agama sudah jadi crowd, dengan sendirinya melupakan agama yang puitik. Agama puitik agama yang melintasi suatu batas-batas yang tampak. Agama puitik agama yang melihat suatu yang subtil di balik permukaan bersamaan dengan cara pandang yang tidak terjebak di dalam kotak-kotak kelompok.

Agama puitik mungkin saja sama halnya dengan agama yang turun di kalbu nabi-nabi.  Prinsip yang ditemukan di kala air mata pecah di atas tanah lapang dan di bawah pikiran yang bersih. Saat itulah barangkali agama jadi pencapaian yang mencerahkan, kala agama jadi rahmat.

Alfred North Whitehead bilang bahwa agama kerap bermula dari kesunyian.  Bahkan tanpa kesunyian agama mustahil ada. Whitehead, filsuf sekaligus matematikawan ini menyebut Sidharta Gautama, misalnya, bermenung di bawah pohon bodhi dan mendapatkan pencerahan sekaligus menjadi peristiwa besar di mana karena itu lahir seorang budhis. 

Sejarah agama Ibrahimik juga diakhiri dengan permenungan di Gua Hira, bergelut dengan inti segala subtansi di dalam kesunyian paling sublim, di mana di situ bermula suatu keyakinan yang kelak di sebut Islam rahmatan lil alamin.

Agama puitik bukanlah agama layar kaca yang disertai gemuruh dan jargonjargon penuh ambisi. Agama yang dibingkai layar kaca, karena punya kekuatan berbasis kerumunan, akhirnya menjadi agama politik. Agama politik begitu mudah ditandai akibat selalu menyasar kekuasaan melalui cara massif dan massal. Di dalam imajinasi agama politik, kekuasaan dipandang sebagai medan dakwah yang paling strategis dilakukan. Akibatnya, jika dia berbicara dakwah, maka yang dimaksud dakwah tak lebih dari suatu cara untuk menggulingkan sistem kekuasaan.

Sementara agama puitik seperti sudah dibilang dari awal, adalah agama yang datang di hati orangorang yang mudah tercenung. Di situ agama bukan suarasuara sesak di sekitar kekuasaan yang dihardik, melainkan suara titimangsa yang tergenang di sanubari paling dalam, suatu suara yang mirip semacam wahyu, suatu syair. 

Agama yang bersyair barangakali adalah agama yang tidak menempatkan kebenaran sebagai sentral dan ukuran, melainkan kebermaknaan atas suatu pengalaman dan pengamalan.

Agama puitik atau agama syair, mungkin saja mirip puisi, dia tidak bersuara lantang karena yang lantang kadang jadi banal, apalagi dangkal. Karena dia mirip puisi, dia datang dan mengendap di hati orangorang yang hanif. Seperti seorang pengembala, kala siang dan malam bertabur bintang, di hatihati orangorang yang tahu di atas langit masih ada langit.

Postingan populer dari blog ini

Empat Penjara Ali Syariati

Ali Syariati muda Pemikir Islam Iran Dikenal sebagai sosiolog Islam modern karya-karya cermah dan bukunya banyak digemari di Indonesia ALI Syariati membilangkan, manusia dalam masyarakat selalu dirundung soal. Terutama bagi yang disebutnya empat penjara manusia. Bagai katak dalam tempurung, bagi yang tidak mampu mengenali empat penjara, dan berusaha untuk keluar membebaskan diri, maka secara eksistensial manusia hanya menjadi benda-benda yang tergeletak begitu saja di hamparan realitas. Itulah sebabnya, manusia mesti “menjadi”. Human is becoming . Begitu pendakuan Ali Syariati. Kemampuan “menjadi” ini sekaligus menjadi dasar penjelasan filsafat gerak Ali Syariati. Manusia, bukan benda-benda yang kehabisan ruang, berhenti dalam satu akhir. Dengan kata lain, manusia mesti melampaui perbatasan materialnya, menjangkau ruang di balik “ruang”; alam potensial yang mengandung beragam kemungkinan. Alam material manusia dalam peradaban manusia senantiasa membentuk konfigu...

Mengapa Aku Begitu Pandai: Solilokui Seorang Nietzsche

Judul : Mengapa Aku Begitu Pandai Penulis: Friedrich Nietzsche Penerjemah: Noor Cholis Penerbit: Circa Edisi: Pertama,  Januari 2019 Tebal: xiv+124 halaman ISBN: 978-602-52645-3-5 Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu: Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan?   :dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memaham...

Memahami Seni Memahami (catatan ringkas Seni Memahami F. Budi Hardiman)

Seni Memahami karangan F. Budi Hardiman   SAYA merasa beberapa pokok dari buku Seni Memahami -nya F. Budi Hardiman memiliki manfaat yang mendesak di kehidupan saat ini.  Pertimbanganya tentu buku ini memberikan peluang bagi pembaca untuk mendapatkan pemahaman bagaimana  “memahami”  bukan sekadar urusan sederhana belaka. Apalagi, ketika beragam perbedaan kerap muncul,  “seni memahami”  dirasa perlu dibaca siapa saja terutama yang kritis melihat situasi sosial sebagai medan yang mudah retak .  Seni memahami , walaupun itu buku filsafat, bisa diterapkan di dalam cara pandang kita terhadap interaksi antar umat manusia sehari-hari.   Hal ini juga seperti yang disampaikan Budiman, buku ini berusaha memberikan suatu pengertian baru tentang relasi antara manusia yang mengalami disorientasi komunikasi di alam demokrasi abad 21.  Begitu pula fenomena fundamentalisme dan kasus-kasus kekerasan atas agama dan ras, yang ...