Manusia hakikatnya tidak dirancang
untuk mengerti perpisahan. Manusia hanya mahluk yang mengambil resiko berpisah
karena suatu pertemuan. Begitulah alam bekerja, juga di kelas menuli PI.
Kemarin pertemuan 13. Tak ada yang
jauh berbeda dari biasanya. Kawankawan membawa tulisan, setelah itu sesi
kritik. Hanya saja sudah tiga minggu belakangan kuantitas kawankawan pelanpelan
menyusut. Barangkali banyak soal di luar sana. Banyak urusan yang mau
diselesaikan. Satusatunya yang bikin berbeda barangkali dirasai Salman, juga
kawankawan yang sudah tahu; pekan 13 pertemuan terakhirnya di KLPI.
Salman sudah sekira dua bulan
terlibat di KLPI. Tapi, mulai dari kelas perdananya, dia sudah menunjukkan tandatanda
keterikatan dengan tradisi menulis. Saya agak lupa kesan apa yang membawanya
mau terlibat tiap pekan di Paradigma Institute. Satu hal yang menandai
permulaannya terlibat yakni pertemuan saya dengannya lewat beberapa kali
ngobrol soal tradisi kampus. Pasca beberapa pertemuan itu, sudah bisa ditebak,
alumnus UNM ini sering kali datang lebih awal di kelas menulis PI.
Obrolan Salman sama halnya refleksi
yang jadi keresahan atas institusi pendidikan saat ini. Di kampus –tempat kami
menimba ilmu, bukan tempat ideal peradaban dimulai. Analisisnya sederhana,
pengetahuan maupun tatacara penyelenggaraannya sudah terkesan ekonomistik,
tenaga pengajarnya didominasi pandangan antihumanisme, struktur bangunannya
tidak mendukung, dan mahasiswanya hampir semuanya apatis. Beberapa poin ini
sering kali jadi obrolan Salman jika bertemu. Satu kesimpulannya, kami
bersepakat, gerakan perubahan jika mau punya nafas panjang harus ditunjang
dengan tradisi literasi di dalamnya.
Itulah sebabnya tulisantulisan yang
dibawanya punya kesan kuat soal semangat perubahan. Nada protes diamdiam sering
menyertai di dalam karya tulisnya. Soal ini Salman pernah bilang, dia ingin
menulis dengan cara yang komikal, lucu dan santai. Dia bosan jika menulis
dengan gaya pamflet –gaya tulisan pernyataan sikap yang kerap dilakukannya saat
di FMN. Tapi, usaha yang ditampakkannya tidak bisa berbohong, seberapa komikal
tulisannya selalu ada nuansa kritisisme di situ. Akibatnya, saya pernah bilang,
kekuatan tulisan Salman terletak di pesan kritisnya. Perspektif sebagai aktivis
organ semacam FMN bisa jadi modal bagaimana dia membangun tulisannya.
Bicara soal gaya tulisan sering
jadi tema obrolan di KLPI. Sampai saat ini mudahmudahan kawankawan paham, suatu
pemikiran ditataran ide boleh saja sama, bahkan sama persis. Sudut pandang jika
memahami suatu soal juga bisa saja identik. Tapi itu semua bakal pecah akibat
gaya yang dipakai seorang penulis. Ide itu universal, juga gagasan itu sering
kali umum, namun hanya gaya yang membelahnya jadi partikular. Pengalamanlah
sering kali membikin gaya suatu penulis jadi khas. Makanya, penulis yang punya
banyak pengalaman (menulis dan membaca) yang cepat menemukan khasnya.
Membuatnya jadi khusus.
Barangkali karena pengalamanlah yang juga membikin Andi Reski
sering meneropong dunia anakanak. Soal gaya, dialah orang pertama yang kerap
membawa gambargambar komik ciptaannya sendiri sebagai bahan obrolan kelas
menulis. Ecce, begitu saya sering memanggilnya, kerap datang dengan gambar
berupa dunia anakanak. Selain puisi atau cerpen, Ecce kerap melengkapi gambar
komiknya dengan cerita. Dengan caranya yang demikian akibat gambargambarnya,
membuat saya –barangkali juga lainnya, berpikir ulang soal gerakan literasi
berbasis dunia aksara. Mungkin banyak yang bilang, kesadaran literasi hanya
dipahami sejauh dunia teks belaka, padahal simbol, gambar, nada atau musik juga
bagian dari literasi itu sendiri. Makanya itu makna kebudayaan beririsan juga
dengan arti literasi sebagai mediumnya.
Sebelum Salman, sebenarnya Andi
Reski JN sudah lebih dahulu hengkang. Kala itu, sudah beredar informasi di luar
kelas bahwa Reski bakal hengkang. Cuman yang bikin tidak didugaduga adalah
kepergiannya yang tak jelas kapan. Yang kami tahu, pekanpekan selanjutnya Reski
sudah tidak terlibat lagi. Di benak masingmasing kawan saat itu mungkin punya
satu kesimpulan sama; Reski sudah meninggalkan Makassar.
Selasa nanti, Salman bakal
beranjak ke Bone kemudian ke Enrekang. Di dua kabupaten ini dia bakal bertemu
sanak keluarganya. Seperti dia bilang, pasca itu baru dia berangkat menyeberang
menuju Sebatik, tempatnya berdomisili kelak.
Suatu waktu di kampusnya, Salman
bilang dia punya niat memajukan anakanak muda dengan membentuk komunitas
menulis di Sebatik. Walaupun kala itu agak klise, tapi ungkapan itu sudah
jarang saya temui. Klise tapi ini yang disebut idealisme. Bahkan dia sempat
menanyakan bagaimana metode yang tepat jika berhadapan dengan anakanak
pedalaman. Saya urung langsung menjawabnya. Pengalaman saya belum sampai
sebagaimana imajinasi yang dibayangkan Salman.
Kala itu saya hanya mendukungnya
sembari mengutarakan kebahagiaan kala mendengar niatnya. Waktu itu pikiran saya
hanya mengacu kepada satu person; Sulhan Yusuf. Di obrolan itu saya hanya
bilang, “coba bertukar pikiran dengan Kak Sulhan. Dia orang yang saya tahu
banyak bersentuhan langsung dengan anakanak SMA kala menyebarluas semangat
literasi di daerah. Dia pasti punya cara khusus bagaimana menghadapi anakanak
muda seperti anakanak SMA.”
Pasca hari itu saya tak tahu apakah
Salman sudah banyak berdiskusi soal niatnya via Sulhan Yusuf. Toh kalau belum,
saya kira pengalamannya mengorganisir mahasiswa di kampusnya jadi modal bagi
usahanya kelak. Satu hal yang patut ditiru, Salman setidaknya sudah membangun
niat memperbaiki daerahnya nun jauh di sudut kepalanya. Setidaknya dia
sudah memulai citacitanya sejak dalam pikiran.
***
Pesanku
Semailah pohon dengan ilmiahnya
pengetahuan
Ajaklah mereka yang tertindas
berteduh di rindangnya keilmiahan
Jagalah benih perjuangan, walau
pahit kopi kehidupan
Agar kelak
Bisa kau didik penguasa dengan
perlawanan!
Pekan 13 hanya Salman seorang yang
membawa puisi. Sempat ada bahasa yang lamatamat protes soal puisi yang ditulis
dengan bait pendek. Saya kira, puisi bukan soal panjang atau pendek bait yang
direkam berdasarkan pengalaman penyair. Namun, sejauh apa dan bagaimana
pemaknaan atas puisi membangun kesadaran atau bahkan pengalaman baru
pendengarnya. Soal panjang puisi atau pendeknya bait yang ditulis penyair bukan
urusan pembaca atau pendengar. Itu urusan di belakang panggung penyair.
Seberapa kuatkah dia mengimplikasikan makna di setiap syair. Dan itu tergantung
pengalaman apa yang melibatkan dunia subjektif di mana penyair terkait dengan
dunia objektif di luarnya.
Itulah sebabnya kawankawan harus
melihat kembali, apakah nilai susastra puitik puisi terletak di panjang
pendeknya syair atau sebaliknya, seberapa dalam pengalaman kita terlibat dengan
katakata yang dipakai penyair. Karena itulah kita harus mengapresiasi puisi
apapun bentuknya, bagaimana pun caranya ditulis. Satu hal yang penting, puisi
bukan dunia informasi seperti berita atau genre tulisan lainnya. Puisi dunia
maknawi. Dia menyulap dunia seharihari jadi pernakpernik pengalaman sublim
lewat bahasa sebagai semesta maupun mediumnya.
Jusnawati menulis sepenggal kisah
yang dia bangun dari imajinasinya atas perempuan rembang yang tempo hari
mengecor kaki sebagai bentuk protesnya. Dia bilang tulisan sepanjang dua lembar
halaman itu diniatkan sebagai esai, tapi malah jadinya lebih kuat disebut
cerpen. Tulisan Jusna, jadi jalan berangkat melihat kebiasan kawankawan ketika
membangun tradisi menulis. Ini soal kedalaman dan intensitas.
Saya bilang ada dua hal harus
diperhatikan oleh kawankawan. Pertama, kebiasaan setiap akhir pekan yang harus
menyetor tulisan, bisa beresiko kehilangan kedalaman saat melakukan refleksi
atas gagasan yang ingin ditulis. Ini lebih beresiko bagi kawankawan yang hampir
intens secara waktu kala menulis tiap dua tiga hari perminggu hitungan
rataratanya. Kalau setiap dua atau tiga hari selalu melahirkan tulisan, maka
kedalaman atas tulisannya bisa mengalami pasang surut. Kedalaman bisa menjadi
barang langka kala hampir tiap waktu jika menulis. Akibatnya tulisan bisa
banyak memberikan informasi soal apa saja, tapi soal kedalaman belum tentu.
Persoalan kedua soal intensitas.
Saya menduga setiap penulis yang baik pasti punya jadwal kapan dia menulis. Hal
ini dilakukan untuk menjaga kedalaman isi tulisannya. Penulis yang baik selalu
mengatur kedalaman tulisannya lewat refleksi yang dilakukan melalui membaca dan
bermenung. Dua hal ini tidak terikat waktu, bahkan bisa memakan waktu
berlamalama. Itulah sebabnya, tulisan yang banyak makan waktu kadang adalah
karya yang monumental. Itu akibat di baliknya banyak ruang refleksi yang
dipunyai untuk menunjang kedalaman isi tulisannya.
Saya kira apa yang dialami Jusna
yang meniatkan esai tapi malah menjadi cerpen adalah soal bagaimana refleksi
kehilangan kedalamannya. Waktu yang menjadi hanif barangkali adalah soalnya.
Kita yang terlibat di kelas literasi, pasti turut mengalami itu; waktu yang
kian sempit sementara betapa sedikitnya ruang bermenung yang kita punyai.
Barangkali itulah yang penting buat
Putri Reski Ananda. Dia membawa tulisan awal yang jadi bagian rencananya
novelnya. Menulis novel butuh banyak membangun peristiwa imajinal, entah itu
dipungut dari kenyataan atau dicomot dari penggalan memori yang tersimpan dari
ingatan. Di kelas belum ada kawankawan yang berhasil membuat novel. Kekurangan
pengalaman macam demikian jadi soal tersendiri bila ada kawankawan seperti
Putri yang berniat membikin novel. Soal yang utama, tentu pasal perangkat
pengetahuan kala ingin menulis novel beserta persiapan apa saja yang harus ada
demi menunjang suatu cerita bisa selesai dituliskan. Sejauh ini selain Putri,
Reski dan juga kalau tidak salah Vivi, sudah berniat membuat novel atau tulisan
sejenisnya.
***
Sampai di sini --terutama buat
kawankawan KLPI, menulis ibarat menyulam kenangan atas suatu peristiwa. Seorang
penulis barangkali memahami bahwa suatu dunia punya dua sudut pengalaman;
memori dan realiti. Yang dikenang dan yang terjadi. Seorang yang bakal menulis
pasti tahu dia akan masuk pertama kali melalui dunia memori atau realiti,
kemudian membangun dunia ketiga melalui karya tulisnya. Dunia ketiga yang murni
ciptaan penulis bisa menjadi banyak hal dalam bentuk tulisan atau pun simbol.
Jika memori maupun realiti adalah dunia banyak orangorang, pengalaman khalayak
ramai, maka dunia ketiga dunia teks penulis adalah dunia pribadi sekaligus
dunia orangorang banyak. Di dunia ketiga itulah penulis jadi identik, jadi
pribadi yang khas. Itulah sebabnya, barangsiapa menulis, sesungguhnya dia
membangun dunia pribadinya. Atau bahkan dari teksnyalah dunia pribadi seseorang
terhampar bersamaan dunia memori ataupun realiti yang disaksikannya.
Berikut syair Salman yang memotret
Makassar, kota yang bakal ia tinggalkan dalam waktu yang entah sampai kapan:
Kelamnya Kota Daeng
Polos, namun penuh kesombongan
Diam, namun penuh bisik mematikan
Ramai, namun sesak dengan
kemunafikan
Banggga, bangga akan kebodohan
Kelamnya wajahmu kini, mengakhiri
tapak janji
Janji kau akan menjajaki
Tanah yang penuh dengan suara birahi
Apalah arti yang kau ketahui
Jika tuan tanah murka lagi
Ombaknya kini sudah mati
Terhampas tembok semen yang sunyi
Berdiri di atas kokohnya tirani
Penguasa negeri penuh janji merubah
negeri
Tanah mu punya filsafat yang layak
di bawa mati
Malu untuk diri yang berkhianat
terhadap ibu pertiwi
Sengsara melihat penderitaan
berbalut sakit hati
Karena janji sang raja tak bisa
ditepati
Rakyatmu kini
Bersimbah noda dari cerita para
sakti
Dari klenik yang penuh hikayat
misteri
Terus menghujani mengunakan lembing
sakti
Demi melindungi kekuatan si raja
yang telah lama mati
Daeng,
Riwayatmu telah jauh meninggalkan
kami
Apakah akan terus bertahan nanti
Ketika arus laut telah mati
Ketika mata air telah menelan mati
para santri
Akankah kau kembali bersama para
sakti untuk mengobati
Mengobati sakit para pemimpin
negeri ini
Yang kau lahirkan bersama dari
rahim ibu pertiwi
Kota ini,
Menjadi saksi bagi kami
Santri yang berusaha melawan
mati
Matinya keadilan yang seharusnya
terpatri
Dalam janji-janji hikayat belum
berujung nanti
Kelam yang ku asah kini
Semoga hanya tafsiran kami yang
telah melihat mati
Matinya para penguasa dan matinya
hati
Daeng kami yang baik hati
***
Kita akhirnya tahu, menulis kadang
menyakitkan. Di saat bersamaan menanggung perih sekaligus mengungkapkan
kesakitan dari beribu peristiwa. Syahdan, memang karena itu manusia tidak
dirancang untuk berpisah karena kenangan memang kadang sakit. Manusia hanya
mahluk yang mengambil resiko berpisah karena suatu pertemuan. Begitulah alam
bekerja. Begitulah manusia harus tahu.