Pojok Bunker sudah bisa dibilang
jadi. Kalau tidak salah kira, akhir Maret kemarin sudah ada aktivitas diskusi
di situ. Sebelumnya, bukan pertemuan semacam diskusi, tapi di tempat tidak
lebih dari empat meter itu hanya tempat parkiran motor. Sekarang di situ malah
sudah ada agenda diskusi tiap pekan di gelar.
Pojok Bunker hanya sebuah nama
tanpa maksud apaapa. Tak ada konotasi seperti sebuah visi tersemat di situ.
Pojok Bunker hanya nama asal comot. Nama yang disepakati mewakili sepojok
ruang. Itu saja.
Sedangkan lambang seperti rambu
jalan itu juga tidak direncanakan. Ujhe membuatnya begitu saja. Kenapa
mengambil lambang seperti mirip festival belok kiri, kegiatan yang dicekal itu,
hanya sematamata kebetulan belaka. Jika mau lambang itu punya arti, barangkali
memang karena ruangan pojok tempat mangkal itu berada di sebelah kiri ketika
masuk. Dan mengapa ada bintang di situ, mungkin hanya mau mewakili suatu cita
yang tak tahu apa artinya.
Merah dan kuning juga tanpa
disengaja. Tak ada maksud berlebihan ketika itu dipakai sebagai warna dasar.
Saat membuatnya Ujhe barangkali mengimajinasikan makna keberanian dengan warna
merah, dan kuning tentu bukan karena pernah dipakai sebagai warna dominan di
masa orba. Merah kuning bisa jadi dipilih karena mencolok. Bisa langsung
mencuri perhatian orangorang.
Kalau ada yang sering melihat Pojok
Bunker via facebook, jangan mau ditipu. Ada beberapa orang yang mengatakan
keren melihatnya dari hanya fotofoto. Padahal itu cuma teknik memainkan sudut
pandang belaka. Itu terpaksa dilakukan kala mau menutup keadaan yang sebenarnya.
Kenyataannya, PB begitu kawankawan sering menyebutnya, lebih mirip pos ronda.
Lantainya hanya beralaskan tanah. Atapnya, jangan dibilang, hanya pakai spanduk
bekas. Satusatunya yang membuatnya tampak indah karena hiasanhiasan di dinding
yang memakai barangbarang bekas.
Barangkali dibilang keren bukan
karena tempatnya, tapi dibuat untuk apa PB itu sendiri. Mulai minggu lalu sudah
dibuka kelas perdana diskusi tematik berdasar buku karangan F.Budi Hardiman,
"Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern". Buku yang sudah
lama cetak itu dijadikan pemantik dan salah satu sumber diskusi. Jadi, sudah
digilir siapasiapa yang bakal mengisi diskusi tiap pekannya. Dan, diskusinya
mengikuti alur bab di dalam buku yang dimaksud. Sehingga kalau tidak demor,
tiap Kamisnya kawankawan bakal bertemu diskusi kembali.
Tadi Arhi yang memulai. Dia dapat
tugas bahas bab khusus Machiavelli. Saya tak perlu menyoal siapa itu
Machiavelli. Yang pasti bisa dibilang diskusi tadi lumayan ramai untuk ukuran
PB. Memang saya sering bilang tidak usah mengundang banyak orang datang ke PB,
selain tempatnya tidak muat, mahasiswa mana yang mau kumpul diskusi di tempat
yang mirip gubuk derita. Makanya, kalau sudah ada lima sampai sepuluh orang,
itu sudah lumayan.
Kala Arhi bawakan materinya, saya malah di ruang tengah
Bunker sedang tidur. Awalnya saya hanya rebahan sambil menunggu diskusi
dimulai. Kala itu masih jam tiga. Kawankawan belum ada yang datang. Tapi, apa
boleh buat walaupun sedikit panas, kipas angin yang berputarputar bikin mata
jadi berat. Tak lama akhirnya saya terlelap.
Ketika bangun sudah pukul lima. Di
luar suara diskusi masih berlangsung. Saya terbangun akibat Pabe yang
sebelumnya membangunkan sembari memperlihatkan sekop baru yang berkilatkilat.
Dia sumringah, sekop baru di tangannya berarti ada tugas yang mau dilakukan;
menyekop tanah. Tanpa lama pikir, timbunan tanah setengah truk di depan PB
akhirnya diratakan.
Kembali ke PB. Selama ada Pojok
Bunker, aktivitas anakanak PB lebih banyak di situ. Baca buku, dengar musik,
mengetik, bahkan makan berjamaah sering dilakukan di PB. Nilai positif
keberadaan PB, anakanak penghuni Bunker jadi lebih giat berdiskusi, walaupun
kadang sampai baku gea'. Kalau yang terakhir diskusi bukan mau cari titik temu,
atau nilai kebenaran di tiap argumen, melainkan yang ada justru hanya mau
membuat lawan diskusi kesal. Dan, kalau akhirnya kesal sudah pasti lawannya
cekikikan ketawa mengejek.
Saya kira, dari cara seperti itu anakanak Bunker berlatih soal membangun pendapat. Bisa bicara baik di saat menyampaikan argumen. Juga yang lebih penting mau belajar saling berbagi pengetahuan. Dengan cara itu maka anakanak PB mencipta budayanya sendiri, berdiskusi sekaligus ketawaketawa saling mengejek halhal dianggap aneh dari setiap anakanak. Saling mencela ini tanpa disadari juga jadi kebiasaan. Bahkan saking terbiasanya, tanpa mencela harihari di PB serasa kurang lengkap. Malah kebiasaan ini semacam tradisi turuntemurun.
Saya kira, dari cara seperti itu anakanak Bunker berlatih soal membangun pendapat. Bisa bicara baik di saat menyampaikan argumen. Juga yang lebih penting mau belajar saling berbagi pengetahuan. Dengan cara itu maka anakanak PB mencipta budayanya sendiri, berdiskusi sekaligus ketawaketawa saling mengejek halhal dianggap aneh dari setiap anakanak. Saling mencela ini tanpa disadari juga jadi kebiasaan. Bahkan saking terbiasanya, tanpa mencela harihari di PB serasa kurang lengkap. Malah kebiasaan ini semacam tradisi turuntemurun.
Akhirnya, mudahmudahan PB bisa
bertahan lama. Bisa banyak menggelar agenda diskusi. Juga terutama jadi tempat
nongkrong yang nyaman ketika hari berubah panas.