Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2016

pembatas buku

Pembatas buku memang tanda suatu batas. Dia membelah satu pagina dari pagina yang lain. Membaginya jadi dua. Membuat suatu teritori antara yang "yang telah diketahui" dan "yang belum diketahui". Juga, karena itu dia sekaligus tanda keterbatasan. Dia membelah dua dimensi, dua dunia jadi tegas; rasa ingin tahu dan pengetahuan. Tepat di antara titik itulah, pembatas buku yang seringkali punya ukuran mini itu, akhirnya jadi pengingat, bahwa manusia pada dasarnya makhluk yang harus sadar batas. Yakni, dengan kata lain, pembatas buku, entah dengan tampilan yang sering kali lucu, malah bisa berarti hal yang serius. Itulah sebabnya, pembatas buku barangkali penting. Dia bukan sekedar penyambung ingatan terakhir ketika manusia punya ikhtiar terus menerus mengeja aksara. Tapi, secara pelanpelan dia menanamkan suatu sikap sabar, suatu nilai yang mengintrodusir manusia agar tahu apa arti suatu waktu. Yakni, di situ suatu proses kadang perlu, bahwa suatu rasa tabah a...

gambar

Suatu gambar, saya kira, bisa menjadi semacam lorong waktu. Dari situ tercipta jembatan ingatan yang tibatiba berakhir pada sebuah daratan peristiwa. Makanya, ketika sampai, daratan yang telah lama jadi silam, juga sekaligus berubah asing. Berbeda. Itulah sebabnya, mengapa kenangan menjadi peristiwa yang menghentak. Dari suatu gambar, kembali bergerak adegan demi adegan, kejadian demi kejadian, barangkali juga perasaan demi perasaan, yang membuat suatu jarak nampak tegas membelah masa lalu dan masa kini. Kadang karena itu suatu tujuan bisa jadi tegang; sudah sampai di manakah sekarang? Biasanya, jika suatu tujuan jadi genting akibat masa kini yang melenceng, "aku" sebagai pusat, yang selama ini jadi sandaran segala hal, harus disoal kembali. Soal itu pada akhirnya barangkali berbunyi; siapakah aku ini, di antara kerumunan orangorang? Siapakah aku sekarang, yang bergerak dari pengalaman dan kenangan? Siapakah aku ini, yang kadang lupa bahwa hidup berarti bukan se...

catatan kelas menulis PI, pekan 10

Harus saya akui, kali ini redaksi Kala teledor soal cetakan edisi 10. Di terbitan tertanggal 27 Maret itu, judul kolom khusus kepunyaan Sulhan Yusuf salah cetak. Tulisan yang seharusnya berjudul Arsene, Arsenal, dan Arsenik, malah jadi Arsene, Arsenal, dan Arsenal. Ini gawat, malah justru fatal. Saya kira, di sini harus diakui, redaksi Kala belum punya prinsip kerja yang matang. Jika Kala mau dibilang media, redaksi Kala malah belum punya sistem. Media manapun, seharusnya punya mekanisme kerja yang jelas, semacam standar operasional kerja. Kala, jika disebut media, harus punya redaksi yang mapan. Atau, setidaknya, untuk ukuran buletin sederhana, bahkan selebaran, harus punya orangorang yang berpengalaman. Kenyataannya, Kala bukan media mulukmuluk. Kala, hanya kertas dua tulisan yang terbit di akhir pekan bagi kalangan terbatas. Bahkan, sekali lagi, Kala hanya selebaran sederhana dan nyaris dengan tampilan yang monoton. Kala, dengan kata lain hanya selembar kertas berisikan t...

Satu Dua Tiga Soal Freedom Writers

Freedom Writers Film bertema pendidikan dibintangi Hillary Swank Pendidikan jika dibilang cara orangorang bersuara, barangkali juga adalah cara orangorang menyatakan sikap. Itulah yang dibuat Erin Gruwell (Hillary Swank), dia menemukan suatu cara agar pendidikan bukan sekadar demi tujuan normatif belaka. Pendidikan barangkali, bagi Gruwell adalah celah bagi orangorang memperbaiki suatu soal. Semua itu bermula ketika Gruwell mendaftarkan diri mengajar di   Woodrow Wilson High School   di suatu sudut New Port Beach, Amerika Serikat. Suatu kawasan yang mengalami pembelahan kelompok rasial. Daerah rentan akibat konflik laten yang bertahan sejak nlama dalam ikatanikatan sosial kebudayaan warga kotanya. Bahkan suatu hirarki terbangun di dalamnya, memotong secara vertikal kelas masyarakat secara bertingkat.  Di New Port Beach, akibat kebijakan integrasi antar ras, tidak sendirinya menghapus  konflik rasial yang semenjak lama tak terselesaikan. Sebab itulah,...

Sinisme Sang Filsuf

Akhirnya cara menjawabnya harus dimulai dari seorang nama tua: Platon. Platon, yang filsuf itu punya pandangan tentang  Philosopher-King . Tatanan masyarakat baginya harus diatur oleh seorang filsuf. Manusia yang punya kualitas kontemplatif. Seorang filsuf diandaikan sebagai kepala masyarakat. Sang filsuf dengan begitu, dengan kualitas kebaikannya jadi kelas ideal bagi Platon. Boleh jadi,  jika mau sedikit kritis, semesta pemikiran Platon, terutama pemosisian sang filsuf sebagai puncak teratas hirarki sosial, berangkat dari semacam sinisme. Bagaimana pun idealnya sang filsuf, profesi yang lainnya selalu secara hirarkis di bawah posisi sang filsuf. Pertama, konsekuensinya, semesta pandangan Platon masih melihat tatanan terdiri dari kelaskelas. Akibatnya, hanya sang filsuflah sebagai manusia yang mampu menjamin kebenaran, kebebasan, keindahan, dan kejujuran, sedang yang lain hanya bagian yang subordinat. Dari konteks negara kota ( Polis ), yang mengikuti tatanan tiga...

catatan kelas menulis PI, pekan 9

Parasnya lelah. Mukanya sendu, keringatnya cucur. Di penghujung pukul sembilan malam suaranya berubah parau. Awalnya, perempuan ini bersemangat memimpin forum. Namun, waktu berderap, energi banyak dikuras, forum masih panjang. Di waktu penghabisan, Hajrah merapal karya tulisnya. Kali ini gilirannya. Satu persatu huruf diejanya. Tulisannya agak panjang. Kali ini dia menyoal masyarakat tanpa kelas perspektif Marx. Yang unik dia menyemat Rasul Muhammad sebagai tokoh lain. Di tulisannya, dua orang beda zaman, disandingkan. Lamatlamat, forum berubah khusyuk. Suaranya akhirnya mulai stabil. Kalau mau dibilang, Hajrah menulis ulang isi suatu buku. Semacam resume. Hajrah bilang, awalnya dia mau menulis resensi. Cuman, dia agak ragu. Makanya dia mengulas tema umum buku yang sudah dibacanya, soal segregasi masyarakat. Nampaknya, tulisan itu bikin polemik. Di kelas, dari beberapa diksi dipakai Hajrah akhirnya jadi esensil, jadi soal. Perkara itu dimulai Sandra dan Arhie. Perdebata...

Soal Puisi

Puisi saya kira memang perkara intuisi. Orangorang bilang soal rasa. Makanya tidak semua bisa bikin puisi. Karena itu puisi juga menjadi pekerjaan elitis. Soal ini, hanya disebabkan puisi punya cara lain kala menggunakan bahasa. Pernah ada soal, apakah bahasa dalam puisi menjadi objek keindahan atau media keindahan. Yang pertama berarti di dalam puisi sudah mengandung keindahan, dan yang terakhir bahwa bahasa dalam puisi hanya mengantar orang kepada keindahan. Kalau dicanggihcanggihkan, problem pertama dianut perspektif lirisme-ekspresivisme, sementara yang lain diacu oleh perspektif realisme. Problem ini juga semakin ribet akibat unsur politik begitu dominan menentukan perkembangan sastra. Ini sempat terjadi di kisaran era 60-an, kala sastra mencatutcatit dimensi ideologis suatu pemikiran. Di era itu, sastra, termasuk puisi menjadi medan perseteruan kubukubu sastrawan dan pemikir intelektual. Akibatnya, perkembangan sastra terbelah jadi dua perspektif; humanisme univers...

Hannah Arendt dan Obrolan yang Tersisa

Muhajir mengungkap banyak hal soal pemikiran Hannah Arendt. Pertama, dia bilang, yang subtil dari Hannah Arendt adalah pemikiran politiknya. Pemikiran politik Hannah Arendt dibilang antitesa dari konsep politik kontemporer. Secara tidak langsung itu juga memberikan makna baru tentang politik. Soalnya, bilang Muhajir, politik di mata Arendt adalah "tindakan". Antitesa politik Hannah Arendt, bilang Muhajir harus dimulai dari bagaimana Arendt melihat manusia. Manusia harus dilihat sebagai "siapa dia", bukan "apa dia". Hajir, begitu sering dipanggil, bilang pembedaan ini penting sebagai jalan masuk dalam memahami konsep politik Arendt. "Siapa dia" sebagai suatu horison pengertian dengan sendirinya akan memberikan arti kekhasan atas manusia yang memang berbeda. Defenisi macam ini dengan sendirinya menempatkan perbedaan sebagai entitas yang tak tertolak. Manusia bukan "apa dia" yang mengaburkan pengertian manusia sebagai mahluk uni...