Muhajir mengungkap banyak
hal soal pemikiran Hannah Arendt. Pertama, dia bilang, yang subtil dari Hannah
Arendt adalah pemikiran politiknya. Pemikiran politik Hannah Arendt dibilang
antitesa dari konsep politik kontemporer. Secara tidak langsung itu juga
memberikan makna baru tentang politik. Soalnya, bilang Muhajir, politik di mata
Arendt adalah "tindakan".
Antitesa politik Hannah
Arendt, bilang Muhajir harus dimulai dari bagaimana Arendt melihat manusia.
Manusia harus dilihat sebagai "siapa dia", bukan "apa dia".
Hajir, begitu sering dipanggil, bilang pembedaan ini penting sebagai jalan
masuk dalam memahami konsep politik Arendt.
"Siapa dia"
sebagai suatu horison pengertian dengan sendirinya akan memberikan arti kekhasan
atas manusia yang memang berbeda. Defenisi macam ini dengan sendirinya
menempatkan perbedaan sebagai entitas yang tak tertolak. Manusia bukan
"apa dia" yang mengaburkan pengertian manusia sebagai mahluk unik.
Universalisme-esensialis yang jadi "common sense" bahwa
manusia adalah mahluk rasional, ditolak karena menundukkan manusia sebagai
entitas yang seragam.
Politik, daku Hajir harus
dimulai dari pandangan atas manusia sebagai "siapa dia", karena hanya
itulah jalan memahami politik. Politik, kalau mau dibilang, berarti berusaha
memahami manusia yang berlainan, yang berbeda. Politik bukan apaapa selain
afirmasi atas keberagaman.
Makanya, atas Arendt, Hajir
menyebut dua antinomi; politik dan antipolitik. Upaya distingtif ini, disebut
untuk menakar apa itu politik sesungguhnya. Dari titik tolak "perbedaan
dan keberagaman" politik diartikan usaha manusia mengelola kehidupannya
tanpa sikap diskrimintatif dan intimidatif. Politik sejauh Hajir sebut adalah
medan tak ada "perintah dan yang memerintah". Narasinya yang lain,
politik merupakan ruang terbuka bagi semua mengajukan kesetaraannya.
Sementara antipolitik
ungkap Hajir, Arendt mengajukan dua kecenderungan yang mesti diwaspadai; tirani
dan totalitarianisme. Dua wajah kekuasaan ini diwantiwanti Hajir dengan
mengajukan ciriciri negara yang represif, monolit, dan menyukai penyeragaman.
Sejauh ini, antipolitik dibilangkan sebagai usaha kekuasaan yang menghendaki
penyamaan melalui penyeragaman cara pandang juga pemikiran.
***
Tidak banyak yang terlibat.
Awalnya hanya lima orang. Bincangbincang, sesuai rencana dimulai pukul empat.
Saya tiba sekitar pukul empat lebih. Agak telat. Kedatangan saya bersama
Muhajir yang kali ini jadi penyerta. Juga, Pabe, yang ikut dari awal di Bunker.
Tapi, orang paling pertama
di lokasi adalah Jusna. Dia sudah memesan kopi dari awal. Barangkali sudah
sedari tadi tiba. Dia bilang sekira duapuluh menit lalu sampai. Itu disebut
tepat waktu. Disiplin.
Akhirnya kami mengambil
lokasi yang pas buat diskusi. Saya memilih di bagian depan warkop; dua meja
setinggi lutut. Di situ kami duduk sembari ngobrolngobrol ringan. Tak lama
Hajra datang.
Saya agak ragu banyak bakal
datang. Langit mendung. Gelap dibubungan jauh. Namun itu bukan soal. Berapapun
datang, diskusi harus tetap berlangsung.
Agak lama kami menunggu
kedatangan kawankawan lain. Tibatiba Kanda Sulhan Yusuf menelpon. Dia sampaikan
kalau tidak bisa datang, dia sedang menulis. Saya maklum. Apalagi, prinsipnya,
diskusi ini hanya obrol santai. Bagi saya, jangan sampai merepotkan guru kolektif
kami jauhjauh menyetel motornya hanya mau datang mendengar obrolan yang tidak
pentingpenting amat. Maqamnya sudah jauh melampaui obrolan kami. Yang kayak
begini, wacana yang sudah dilumatnya bepuluh tahun lalu.
Tapi, bagi kami itu
sebentuk apresiasi, dukungan. Walaupun tidak bisa datang dia sempatkan
menelpon. Yang lain tak ada kabar. Entah kemana.
Di atas, langit belum
berubah; hitam. Seperti ada yang menumpahkan tinta hitam di situ. Lama
berselang pelanpelan berubah kelabu. Biarpun begitu, tetap saja, kami masih
berlima. Akhirnya diskusi dimulai. Saya membuka "forum". Hajir
menarik napas, rokoknya dihisap dalamdalam, dia akhirnya berbicara.
***
Ada soal dari Hajrah; apa
itu politik dari kaca mata Arendt? Hajir bilang, politik di mata Arendt
berkebalikan dengan arti politik konvensional. Politik menurut Arendt, ucap
Hajir diinspirasikan dari Polis Yunani Antik. Di situ, ada pemilahan tentang
ruang; "yang privat" (oikos) dan "yang publik" (polis).
Mengacu Arendt, politik hanya dimungkinkan di ruang publik.
"Yang publik" atau ruang publik, disebutkan mengacu kepada Polis Yunani Antik. Saat itu, di Polis, masyarakat digerakkan atas situasi yang setara. Polis, merupakan medan yang memberikan kebebasan diekspresikan. Akibatnya, tak ada semacam "kekuasaan" yang berhak menguasai perbedaan. Polis adalah ruang bersama. Polis merupakan tempat pemikiran bebas dikampanyekan.
"Yang publik" atau ruang publik, disebutkan mengacu kepada Polis Yunani Antik. Saat itu, di Polis, masyarakat digerakkan atas situasi yang setara. Polis, merupakan medan yang memberikan kebebasan diekspresikan. Akibatnya, tak ada semacam "kekuasaan" yang berhak menguasai perbedaan. Polis adalah ruang bersama. Polis merupakan tempat pemikiran bebas dikampanyekan.

Pemilahan ini digambarkan
Arendt sebagaimana yang tampak pada tatanan masyarakat Yunani antik. Oikos
merujuk kepada lingkungan sosial rumah tangga yang di dalamnya bekerja atas
logika tuan-budak. Manusia di oikos, bergerak atas kesadaran dan perilaku
kepentingan pribadi atau keluarga. Sehingga di dalamnya, rumah tangga menjadi
medan subordinasi dan eksploitatif terjadi.
Polis, tatanan yang
mengharuskan adanya ikatan kerja sama antara sesama warga akhirnya adalah
tatanan yang ideal. Asumsi ini didasarkan hanya di Polislah kepentingan bersama
diperjuangkan. Di dalam polis, semua orang setara. Di polislah ikatanikatan
privat seperti dalam rumah tangga ditanggalkan. Akibatnya, hanya di polis,
politik itu dimungkinkan.
Dengan sendirinya, politik
artinya ruang publik. Politik berarti terlibat di antara keseragaman. Soal ini,
Hajir sebelumnya membagi tiga istilah kunci: kerja (labour), karya (work),
dan tindakan (action). Kerja dan karya, di pemikiran Arendt, disebut
bukan aktivitas politik. Sebabnya dua hal itu hanya suatu usaha soliter. Kerja
maupun karya, hanya menyiratkan suatu sikap menyendiri mirip filsuf. Arendt,
menampik sikap moralis dari kerja dan karya yang berdimensi individual. Bagi
perempuan kekasih Heidegger ini, politik berarti tindakan.
Tindakan adalah sikap di
ruang publik. Lain urusannya kerja dan karya yang ditemui di "ruang
privat". Hanya "tindakanlah" perilaku manusia yang disebut
politik. Ruang publik, tempattempat umum yang sering kita temui, yang
difasilitasi negara, adalah tempat tindakan berlangsung.
Kalau bisa diringkas,
politik berarti perilaku manusia menghadapi ruang sosial yang jamak. Perilaku,
dalam cakrawala berpikir Arendt adalah tindakan yang mengandaikan kehadiran
"yang lain", suatu sikap terbuka yang bebas dari penjarapenjara
totalitarianisme dan tiaranis. Politik, sebut Arendt, adalah kebebasan itu
sendiri.
***

Barangkali, di situlah medan pikiran
Hannah Arendt seharusnya dibentang. Negara, institusi yang banyak masalah itu
harus diteropong dengan mata kecut seorang Arendt. Dari mata perempuan pemikir
politik abada 20 ini, kita bisa tahu, negara memang banyak soal.
Belakangan, atau juga separuh umur
bangsa ini penuh dengan sejarah penyingkiran. Kiwari, itu banyak terjadi.
Politik malah diselenggarakan sebagai "institusi privat". Akibatnya,
negara menjadi wadah diskriminatif. Selain kasuskasus kebebasan beragama, penyingkiran
kaum papa akibat perampasan tanah, barubaru ini pelarangan berupa festival dan
pemutaran film menyeruak di lini masa dunia maya. Tanpa melupakan kasuskasus
yang tidak disebutkan, negara dalam hal ini persis seperti yang dibilang
Arendt; tiranis dan totaliter.
Horison pemikiran politik yang diajukan
Arendt setidaknya suatu alternatif buat bangsa yang banyak "membunuh"
aktivisme warganya yang membutuhkan ruang untuk bertindak. Indonesia masa kini
adalah negara dengan penyelenggaraan politik yang masih bergerak atas
sentimensentimen agama atau kepentingan ekonomi. Di situ, selama politik
diartikan sebagai laku saling jegal dan penyingkiran kelompok, maka Indonesia
dengan sendirinya mematikan "denyut" perkembangannya sendiri.
Saya kira, di suasana itulah
pemikiran politik Hannah Arendt menemukan konteksnya. Di saat itulah kita butuh
yang otentik, suatu politik yang lebih manusiawi.