Soal Puisi

Puisi saya kira memang perkara intuisi. Orangorang bilang soal rasa. Makanya tidak semua bisa bikin puisi. Karena itu puisi juga menjadi pekerjaan elitis. Soal ini, hanya disebabkan puisi punya cara lain kala menggunakan bahasa.

Pernah ada soal, apakah bahasa dalam puisi menjadi objek keindahan atau media keindahan. Yang pertama berarti di dalam puisi sudah mengandung keindahan, dan yang terakhir bahwa bahasa dalam puisi hanya mengantar orang kepada keindahan.

Kalau dicanggihcanggihkan, problem pertama dianut perspektif lirisme-ekspresivisme, sementara yang lain diacu oleh perspektif realisme. Problem ini juga semakin ribet akibat unsur politik begitu dominan menentukan perkembangan sastra.

Ini sempat terjadi di kisaran era 60-an, kala sastra mencatutcatit dimensi ideologis suatu pemikiran. Di era itu, sastra, termasuk puisi menjadi medan perseteruan kubukubu sastrawan dan pemikir intelektual. Akibatnya, perkembangan sastra terbelah jadi dua perspektif; humanisme universal dan sastra politik sebagai panglima. Pertama ditemui kubu Manifesto Kebudayaan (Manikebu), yang kedua adalah pandangan orangorang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Pernah juga ada trend di lingkungan sastrawan soal puisi gelap. Terutama juga seperti dalam aliran seni rupa; abstraksionisme. Saya kira, tulisan  Martin Suryajaya di website Indoprogress menulis jauh lebih lengkap ihwal abstraksionisme sebagai mazhab seni rupa, juga puisi.

Puisi gelap, seperti yang diidamkan beberapa penyair adalah pendirian keindahan kala makna sulit dipahami. Makna yang tersembunyi jauh di balik bahasa adalah keindahan itu sendiri. Begitu juga bahasa yang sulit dimengerti dianggap sepadan dengan keindahan sebagai nilai estetisnya.

Kecenderungan ini nampak benderang kalau ditemui pada puisi jenis lirisme. Bahasa tiada lain adalah perasaan itu sendiri. Prinsip ini, jiwa penyair belum nampak ketika belum berbahasa. Akibatnya, bahasa yang dipakai dalam puisi adalah jiwa yang tampak. Bahasa, bagi puisi lirisme hanya sematamata cermin perasaan penyair. Suatu pengganti perasaan yang tak tampak dalam jiwa.

Saya tak tahu apakah soal itu yang benar. Sebab, puisi juga bisa jadi mirip pamflet. Bahasa di puisi macam itu sarat muatan ideologis. Bahasa, bukan lagi sebagai media ekspresi jiwa, melainkan suara anjuran perubahan. Bahkan, puisi dalam koridor ini harus mampu menempatkan diri di dalam suatu jejaring sosial politik suatu masyarakat.  Puisi harus masuk meninggalkan “angkasa abstrak” yang sulit dipahami, menjadi bahasa yang dimengerti banyak orang.

Akhirnya, ini hanya soal pilihan. Saya kira satu hal yang samasama diperjuangkan dalam puisi; kebebasan. Entah dia mau menggunakan bahasa langit, ataupun bahasa suara orangorang kebanyakan. Puisi adalah puisi. Dia memang perkara intuisi, yang bergerak masuk keluar antara kenyataan yang diadapinya.