(Proses belajar mengajar belakangan ini, menimbulkan banyak keluhan para orangtua siswa dikarenakan proses belajar dari rumah tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Banyak orangtua siswa mengeluh, peralihan mengajar yang berpusat dari guru ke dan melalui screen gawai, menimbulkan masalah teknis berupa miskomunikasi, turunnya konsentrasi belajar, gaptek teknologi, dan bahkan ada yang mesti meminjam gawai tetangga agar dapat melaksanakan proses belajar mengajar. Ini hanya satu dari banyaknya masalah dalam bidang pendidikan saat ini. Mau tidak mau, sekolah dan konsep belajar hari ini mesti dievaluasi ulang untuk menemukan rumus yang pas agar menyelamatkan sekolah dari gulung tikar. Selain tulisan di bawah ini, di sini saya sertakan empat tulisan ringkas mengenai masalah pendidikan kontemporer: Esai Seri Kritik Pendidikan (1): Scola Materna, Esai Seri Kritik Pendidikan (2): Frantz Fanon, Luce si Murid Unggulan dan Sekolah Merdeka, Esai Seri Kritik Pendidikan (3): Nasib Kelas 4.0 dan Esai Seri Kritik Pendidikan (4): Sekolah Lewat Radio. Tulisan yang lebih panjang--masih menyoal pendidikan-- dapat dibaca di Pendidikan dan Aib: Takdir Hidup si Automaton. Untuk versi rekam-suaranya dapat didengarkan di Seri critical pedagogy)
KEHIDUPAN pasca modern adalah zaman simulakrum, begitu pendakuan Jean Baudrillard, sosiolog abad kini. Analisis Baudrillard ini ditandai oleh dua alasan. Pertama, di masa akan datang—yang artinya saat ini—kehidupan masyarakat akan banyak dimediasi perangkat berteknologi canggih, di mana salah satunya adalah alat komunikasi. Kedua, peralihan dari kehidupan modern ke pascamodern, akan berdampak kepada cara orang berkomunikasi melalui simbol, tanda, bahasa, dan kode yang mereduksi makna komunikasi itu sendiri.
Saat ini, Covid-19 belum mampu dienyahkan, dan membuat
banyak perubahan—atau memperdalam cara masyarakat melihat diri dan
masyarakatnya. Tidak cukup pergantian kalender, Covid-19 mengubah persepsi
tubuh manusia menjadi lebih kritis. Tubuh kali ini tidak lagi dibiarkan
bergerak bebas. Sekarang ia mesti disiplin dan tunduk pada protokol kesehatan.
Salah sedikit, suatu komunitas masyarakat bakal terancam.
Di bidang ekonomi, kebutuhan rumah tangga dan industri
sedang ditinjau ulang. Covid-19 bagai invisible
hand ala Adam Smith, yang mengatur atau mereset kebutuhan-kebutuhan primer,
sekunder, dan tersier yang selama ini salah diartikan saat kehidupan normal. Kelangkaan
dan distribusi barang, yang semula dihitung berdasarkan tingkat konsumsi suatu
kawasan, kini mesti mempertimbangkan unsur ketahanan pangan yang bakal
mempengaruhi pola konsumsi masyarakat.
Masyarakat benar-benar mesti mempertimbangkan matang-matang
menyangkut kebutuhan karsanya, mengingat meski di keadaan kenormalan baru, tren
penderita Covid-19 makin naik. Kegiatan-kegiatan semisal menonton film, kopi
darat, membaca buku, berdiskusi, ngopi di café-café, dan berbelanja di pusat
perbelanjaan harus diperhitungkan baik-baik. Jika kebutuhan ini masih bisa
dialihkan kepada kegiatan-kegiatan berskala rumah tangga, maka kegiatan macam
di atas lebih baik ditunda dulu.
Praktis kegiatan berbudaya seperti di atas, kini kembali ke
makna asalnya ”bercocok tanam mengolah tanah”. Cultura yang menjadi asal kata culture,
saat ini dipelipirkan di sebidang tanah di taman atau kebun belakang rumah.
Kegiatan bercocok tanam, entah itu berkebun atau merawat tanaman hias, jadi
gaya hidup baru menggantikan kegiatan pelesiran di atas.
Selain bidang-bidang kehidupan di atas banyak berubah,
pandemi saat ini mendorong timbulnya kebiasaan baru di bidang pendidikan dan
pemerintahan, yang mesti lebih akrab dengan teknologi komunikasi informasi.
Saat ini muncul kesadaran baru benda-benda teknologi gadget dan smartphone,
dapat juga dimanfaatkan lebih maksimal ke dalam dunia pendidikan dan
pemerintahan.
Perubahan semua gejala di atas, mempertajam kesadaran
masyarakat agar lebih intens menggunakan screen
gawai sebagai wakil kenyataan. Interaksi berskala besar yang membutuhkan
banyak waktu dan tempat, kini lebih mudah dimediasi layar smartphone, meski di
saat bersamaan ada reduksi kenyataan yang terjadi.
Seperti misal, dalam proses belajar mengajar belakangan ini,
yang menimbulkan banyak keluhan para orangtua siswa dikarenakan proses belajar
dari rumah tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Banyak orangtua siswa
mengeluh, peralihan mengajar yang berpusat dari guru ke dan melalui screen gawai, menimbulkan masalah teknis
berupa miskomunikasi, turunnya konsentrasi belajar, gaptek teknologi, dan
bahkan ada yang mesti meminjam gawai tetangga agar dapat melaksanakan proses
belajar mengajar.
Proses belajar mengajar yang diperantai gawai canggih,
setidaknya memerlukan dua persyaratan teknis bagi orangtua murid, yakni
kecakapan menggunakan smartphone, dan
kecakapan dalam mengajari anak sesuai instruksi guru. Yang pertama, tidak
sedikit orangtua murid yang masih gaptek memanfaatkan beragam aplikasi belajar
mengajar yang sarat isian dan pilihan menu yang tidak friendly dari segi interfacenya.
Toh, jika masalah ini dapat teratasi, banyak pula orangtua murid yang mengaku
butuh adapatasi untuk lancar menggunakan aplikasi belajar berbasis internet
ini.
Masalah kedua adalah kecakapan orangtua murid yang minim
atau tidak ada sama sekali dari segi pengalaman mendidik anak akibat
ketergantungan mutlak kepada institusi sekolah. Di lini masa media sosial,
banyak keluhan orangtua berupa kemarahan, kekecewaan, dan bahkan sampai ke
tingkat stress sekaligus depresi, akibat ripuh menghadapi anak di rumah.
Keluhan para orangtua ini cukup beralasan dikarenakan perubahan mendadak dari
pola asuh selama ini dititikberatkan kepada pihak sekolah, kini mesti
dibebankan kepada orangtua di rumah.
Masalah dihadapi orangtua ini, selain karena dalam hal
pengasuhan anak sangat bergantung kepada institusi sekolah, mengalami bias saat
mendefenisikan sekolah dan pendidikan. Sekolah dan pendidikan bukan hal identik
meski saling beririsan. Bagi orangtua, hanya sekolah satu-satunya lembaga yang
mampu memberikan pengasuhan dan pengajaran bagi anak-anak mereka. Terdidik
tidak terdidiknya anak mereka, sekolah-lah satu-satunya indikator mutlaknya.
Padahal dalam sejarahnya, malah sebaliknya terjadi. Sekolah
awalnya muncul dari pola pengasuhan keluarga yang memanfaatkan waktu luang demi
mengembangkan pemahaman dan wawasan. Kegiatan memanfaatkan waktu luang demi
ilmu ini oleh orang Yunani sebut sebagai skhole,
scola, scolae, atau schola, yakni
dengan cara mendatangi orang pandai yang dapat menjawab
permasalahan-permasalahan hidup mereka. Dari
sinilah kebiasaan itu dilakukan juga kepada anak-anak, agar kelak mampu
mengganti sang ayah atau ibu dengan cara menyerahkannya pada seorang cendekia
agar dilatih, bermain, dan belajar sesuatu dari apa yang mereka anggap penting.
Maka sejak saat itu telah beralih sebagian fungsi pengasuhan
berbasis ibu dan keluarga (scola matterna),
yang merupakan lembaga pertama dan tertua sosialisasi nilai-nilai, menjadi pola
pengasuhan anak di waktu senggang di luar rumah, sebagai pengganti ayah dan ibu
(scola in loco parentis). Kelak
institusi atau lembaga pengganti keluarga ini, karena berfungsi sama seperti
pola pengasuhan ibu, akan dinyatakan
sebagai alma matter (ibu yang memberikan ilmu).
Ulasan singkat ini menegaskan sekolah sebenarnya berakar
dari pola pengasuhan berbasis keluarga, atau perpanjangan tangan ayah dan ibu
untuk memberikan pemahaman kepada anak-anak mengenai apa saja berkaitan dengan
pertanyaan-pertanyaan penting dalam hidupnya. Itu artinya, selama keluarga pati
masih bisa melakukan fungsi-fungsi pengasuhan, mendidik, dan bermain, dan semua
itu dilakukan di saat waktu luang secara bebas dan kreatif, maka itulah sekolah
sebenarnya.
Pandemi korona meski banyak mendatangkan kerugian, di satu
sisi mengembalikan kegiatan-kegiatan ”kepublikan” menjadi kegiatan berbasis
”rumah tangga” yang memang dalam sejarahnya memerlukan ”keluarga” sebagai
fondasi utamanya. Bukan saja sekolah (scola),
tengoklah pengertian awal dari ekonomi (oikonomikos)
yang berarti tata kelola kebutuhan rumah-tangga yang bergantung pada
pengelolahan ladang, dan juga kegiatan budaya (cultura) seperti sudah disinggung sebelumnya.
Dari awal, Jean Baudrilard pernah merumuskan gejala-gejala
masyarakat pascamodern ke dalam situasi simulakrum yang mengandalkan simbol,
tanda, bahasa, dan kode sebagai pengganti kenyataan, di era pandemi ini, selain
mengalami situasi itu, masyarakat kembali ke era ketika keluarga menjadi
fondasi dari segalanya.
Dengan kata lain, kegiatan ekonomi, berbudaya, dan
berpendidikan di era sekarang ini sangat bergantung kepada ketahanan keluarga
sebagai modal sosial paling tua dan kuat ketika menghadapi cobaan dan ancaman.
Sebelumnya, keluarga sangat bergantung pada tatanana yang
lebih besar dari dirinya berupa komunitas, masyarakat, atau negara, agar ia bisa eksis
dan bertahan. Sekarang, karena korona semua berbalik. Struktur tatanan semacam
negara-bangsa sekalipun sangat bergantung kepada rumah tangga agar dapat
selamat dari krisis multidimensi seperti waktu kini.
Tayang pertama kali di Belopainfo.id