Langsung ke konten utama

Postingan

Si Pengintip yang Genit dan Perkasa

Assikalaibineng: Kitab Persetubuhan Bugis Inninawa (2007) SAYA kira cukup mudah bagi kita menunjukkan keperkasaan. Apalagi jika anda seorang polisi, maka jauh lebih gampang lagi. Cukup memajang residivis kambuhan dengan tulang kering berlubang karena lahar panas. Setelah ditangkap diintai berhari-hari menggunakan mobil kijang tanpa nomor plat, segeralah ambil gambar. Di foto itu, bakal kelihatan siapa jagoan dan siapa bajingannya. Panorama ini lumayan intimidatif. Terutama bagi penjahat yang masih berkeliaran bebas. Coba bayangkan sebelum didiamkan di dalam sel, mesti foto bersama polisi-polisi berotot plus berambut gondrong. Saya yakin, si bajingan yang jadi bulan-bulanan nanti ini lumayan makan hati. Kecut nian perasaannya. Sudah dihadiahi pelor panas, dijadikan objek selfie-selfie pula. Entah semenjak kapan ada kebiasaan ini. Tapi begitulah ketika selfie jadi tren. Di tangan polisi-polisi berpenampilan preman, residivis kambuhan yang tidak punya daya apa-apa lagi ini...

Makassar Melawan Pembajakan Buku

BAJAK, di KBBI diartikan sebagai ”ambil alih secara paksa, disertai ancaman”. Definisi ini dibubuhi konteks lanjutan berupa ”(tentang pesawat dan sebagainya)”. Contoh ini mengingatkan saya kepada ”Air Force One” (1997), film aksi dibintangi Horrison Ford, orang yang juga sering kita saksikan memerankan Indiana Jones, seorang ahli arkeologi pemburu benda-benda kuno. Tak perlu panjang lebar, ”Air Force One” lumayan fenomenal. Film ini berkisah tentang pembajakan pesawat kepresidenan AS oleh segerombolan teroris. Di film ini Horrison Ford berperan sebagai orang nomor satu Amerika, sekaligus menjadi pahlawan penyelamat pembajakan pesawat. Di film ini, ia berjuang sendirian. Berjibaku melumpuhkan satu per satu pembajak secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Terkesan hiperbola memang, seorang presiden sebatang diri melawan gerombolan teroris bersenjata lengkap di dalam pesawat. Tapi, begitulah Hollywood. ”Air Force One” seringkali ditayang ulang di layar kaca. Sekaligus ja...

Laptop si Fulan

FULAN antusias menatap layar laptop. Matanya lekat. Jemarinya kikuk bergerak dari satu tombol ke tombol lainnya. Seolah-olah ada beban berat di setiap buku-buku jarinya. Tidak lama sebaris kalimat terpampang. Seketika ia hapus kalimat itu. Kemudian, ia kembali menulis kalimat lain. Tapi, untuk kedua kalinya ia hapus kembali. Bagai mesin karat, jemarinya tiba-tiba berhenti begitu saja. Seperti jemarinya, pikirannya ikut berhenti. Seketika, layar putih kembali kosong. Ia seperti sedang berhadapan dengan tembok tebal.... Ini kali pertama Fulan menggunakan laptop. Benda paling berpengaruh abad ini membuatnya nampak asing. Pengalaman ini tidak pernah ia alami sebelumnya. Di kampung halaman, ia akrab dengan layang-layang, sebidang kebun, sawah, persada luas, dan sepak bola. Jika masuk waktu salat, ia bergegas meninggalkan sungai tempatnya bermain. "Di sekolah kalau diberi tugas hanya pakai buku tulis. Tidak pakai laptop. Baru kali ini menggunakan laptop." Demikia...

Merebut Aku Otentik a la Soren Aabye Kierkegaard

Judul: Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri Penulis: Thomas Hidya Tjaya Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Edisi: Ketiga, April 2018 Tebal: XVII+ 178 halaman ISBN: 978-602-424-850-5 Orang-orang berpikir bahwa dunia ini membutuhkan republik, dan mereka berpikir bahwa yang dibutuhkan adalah tatanan sosial baru, dan agama baru—tetapi tak seorang pun pernah berpikir bahwa apa yang sekarang dibutuhkan oleh dunia, membingungkan tapi sebenarnya juga sudah banyak diketahui, adalah seorang Socrates. Anti-Climacus, The Sickness Unto Deatth, Appendix 223 SEANDAINYA Kierkergaard hidup di masa sekarang, ia bakal getol bersuara mengingatkan publik. Seluruh kritik filsafatnya menemukan momentumnya saat ini. Di ranah individu, manusia kehilangan orientasi didera krisis eksistensi. Di ranah sosial, masyarakat menjadi kerumunan. Kerumunan melenyapkan kepribadian individu yang khas, dinamis dan bebas.  Di ranah etika, manusia...

Tobat

Semalam Fulan bertanya: bagaimana niat salat tobat? Belum lama ia telaten menulis ulang di buku kecil catatannya. Setelah pulang dari masjid, ia duduk memunggungi daun pintu. Tepekur di atas sofa merekam apa pun. Apa saja ia temukan di mesin pencari. Kata-kata inspirasi, petuah-petuah moral, bacaan doa-doa salat, isi ceramah ustad Abdul Somad.... ....termasuk niat salat Tahajut. ”Niat itu sudah cukup dalam hati”. Saya menimpali. ”Ah...masa?” Ia sanksi. ”Kalau begitu silakan cari di google. Di sana banyak kok.” “Pokoknya, saya sudah memutuskan. Saya ingin tobat. Saya ingin berperilaku yang baik-baik saja.” ”Saya ingin salat tobat!!” Tanpa ada bertanya ia menyatakan sikap. Demikianlah. Tingkah polah Fulan bin Fulan, sebut saja begitu. Membuat saya menarik diri dari perbincangan tak terduga itu. Berusaha berpikir. Merenung. Kadang saya sulit menemukan jalan tengah. Petitih bilang: ” be your self ” jadilah dirimu sendiri. Al Qur'an mengingatka...

Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Peresensi

BELAKANGAN saya mulai menyadari keinginan menjadi peresensi buku. Walaupun niat ini akal-akalan saja, memang. Ya mau bagaimana lagi. Semangat membaca saya angin-anginan. Ini cara bulus belaka agar saya membaca buku. Zaman sekarang, kita harus hidup seperti pelari maraton yang diserang kehausan. Mesti lahap menepekuri buku-buku. Coba pikirkan setiap detik bermunculan penerbit-penerbit buku. Entah legal atau liar, mayor atau indie. Dari moncong mereka kertas-kertas berubah menjadi buku-buku. Puluhan, ratusan, ribuan…. Di gawai kita, buku elekronik lintas melintas. Dunia maya perantaranya. Bergiga-giga fisik buku menjadi sekotak layar smartphone. Pindah kirim mengirim. Dari gawai satu ke gawai lain. Namun, kecepatan perkembangbiakkan buku tidak semelimpah waktu membacanya. Seolah-olah kita dikutuk Tuhan mengalami dahaga berkepanjangan. Kita dikutuk agar mampu meneguk ”mata air” pengetahuan di buku-buku yang serba berlebihan itu. Mirisnya kita dikepung beragam kesibukan. ...